Napak Tilas Kehidupan Srikandi Karbala, Zainab al-Kubro (Bag-3)
Dalam artikel ini masih melanjutkan kedua artikel sebelumnya, berkaitan dengan kehidupan dan keagungan Srikandi Karbala, Sayidah Zainab al-Kubro.
Kekasih Allah (Waliyatullah)
Zainab al-Kubro as adalah wanita mulia yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga mulia, Ahlul Bait Nabi para kekasih Ilahi. Beliau besar dalam lingkungan para urafa’ utama yang menjadi kiblat semua urafa’ yang ada. Maka bukanlah suatu hal yang mengherankan jika beliau pun akhirnya menjadi seorang arifah tangguh yang memiliki makrifat yang begitu tinggi. Sebagaimana yang telah diketahui, tujuan utama irfan adalah menyatu (fana’) dengan Sang Kekasih Sejati, pencipta alam semesta. Itulah puncak irfan yang didamba oleh setiap manusia sempurna kekasih Ilahi.
Salah satu bukti tingkatan makrifat agung yang dimiliki oleh Zainab as adalah beliau selalu pasrah dan ikhlas terhadap apapun yang dikehendaki oleh Alloh Swt, Kekasih Sejatinya. Pecinta sejati adalah pribadi yang selalu ‘sehati’ dan ‘serasa’ dengan kekasihnya, meskipun apa yang dikehendaki oleh Sang Kekasih sekilas begitu pahit, namun seorang pecinta akan rela menerima kepahitan tersebut sebagai bukti cinta kasihnya terhadap Sang Kekasih Sejati. Inilah yang dilakukan Zainab as terhadap Kekasih Sejatinya dalam tragedi Karbala. Kendati beliau harus kehilangan imam yang dicintainya, anggota keluarga, sanak famili dan sahabat-sahabat setianya namun pada tragedi Karbala yang sangat memilukan hati itu, Zainab as berkata, “Ya Allah, hamba bersabar atas segala ketentuan-Mu.” Sayidah Zainab as menerima dengan penuh keikhlasan qadha dan qadar Allah Swt ini.
Berbekal makrifat yang begitu tinggi, Zainab as yakin bahwa Sang Kekasih adalah Dzat yang maha benar, bijak, indah dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Segala sesuatu yang dirasa dan dilihat oleh beliau di alam semesta merupakan perwujudan dari sifat-sifat dan nama-nama Sang Kekasih. Semua tidak akan lepas dari Sang Kekasih karena Ia adalah maha pencipta.
Keberaturan alam yang kadang diwarnai dengan pahit dan getir kehidupan merupakan konsekuensi alam materi yang telah disifati dengan alam yang penuh gesekan (alam tazahum). Namun semua gesekan tadi meniscayakan keteraturan yang indah dan sesuai dengan hikmah Ilahi, Sang Kekasih Sejati. Oleh karena itu, ketika menyaksikan tragedi Karbala yang menyayat hati itu Zainab as masih sempat berkata, “Tidaklah aku lihat (semua musibah ini ) melainkan sesuatu yang indah.”
Kesyahidan Imam Husein as dengan cara yang sangat tragis itu adalah kehendak Ilahi yang selalu sesuai dengan hikmah Ilahi dan keteraturan alam semesta. Inilah perwujudan dari iman terhadap takdir Ilahi. Tentu keyakinan ini tidak akan menjerumuskan manusia kepada keyakinan determinisme (Jabriyah), sebagaimana yang telah banyak disinggung dalam kajian teology (kalam) Syiah Imamiyah. Makrifat Ilahi telah mampu menghantarkan beliau pada tingkatan manusia sempurna (insan kamil). Cinta Ilahi telah menggelora di dalam hati Zainab as. Cinta murni yang suci dan tulus itu mampu membakar segala cinta kasih terhadap selain-Nya. Kecintaan itu telah ditukar dengan berbagai kecintaan-kecintaan lainnya. Zainab as rela kehilangan saudara tercintanya (Abul Fadh Abbas), keponakan kesayangannya (Ali Akbar), sanak famili, kerabat dan sahabat lainnya demi keridhoaan Ilahi, Sang Kekasih Sejati.
Bukan hanya itu, beliaupun rela mengorbankan imam yang merupakan al-Quran berbicara (al-Quran an-Nathiq) dan sekutu al-Quran yang diam (al-Quran as-Shamith) yang keduanya sangat dicintai dan ditaati beliau sebagai penerus tongkat estafet kepemimpinan Ilahi di muka bumi. Itu semua direlakan oleh Zainab as demi keridhoan Sang Kekasih Ilahi. Oleh karena itu, setelah kesyahidan Imam Husein as beserta pasukannya yang berjumlah sangat sedikit itu dan rombongan tawanan akan diarak ke Kufah, beliau sempat berkata kepada Sang Kekasih sejatinya dengan ungkapan, “Ya Allah, terimalah persembahan ini dari kami.”
Ungkapan ini menunjukkan betapa tingginya makrifat Zainab as dan makrifat ini telah menghantarkan beliau kepada cinta Ilahi yang mampu menghilangkan ketergantungan kepada kecintaan manapun. Dengan bekal kecintaan sejati inilah akhirnya beliau sampai pada derajat fana’ (menyatu) dengan Allah. Menyatu dalam ridho dan cinta-Nya, sehingga akhirnya beliau mendapat gelar kekasih sejati Allah (waliyatullah).
Banyak Beribadah (‘Abiidah)
Maqam penghambaan merupakan salah satu kedudukan tertinggi seorang mukmin sejati. Al-Quran sendiri telah menjelaskan bahwa salah satu falsafah penciptaan manusia dan jin adalah agar manusia dan jin mencapai maqam ubudiyah, “Dan tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin melainkan untuk menyembah-Ku.”
Perwujudan penghambaan dan penyembahan Allah Swt ialah melalui ibadah, baik ibadah dalam makna khusus atau dalam makna umum. Ibadah dalam makna umum adalah melakukan segala perbuatan dengan niat karena Allah Swt. Sementara ibadah dalam arti khusus adalah melakukan ritual-ritual agama tertentu baik yang bersifat wajib maupun mustahab (sunah). Sejarah telah mencatat ibadah beliau lakukan, baik ibadah wajib maupun nafilah yang tidak pernah beliau tinggalkan meskipun dalam kondisi sulit. Bahkan pada malam Asyuro beliau menghabiskan waktunya dengan shalat malam dan bermunajat kepada Kekasih Sejatinya, Allah Swt.
Ketika menggambarkan maqam ubudiyyah Zainab as, Imam Ali Zainal Abidin as berkata, “Sesungguhnya bibiku Zainab telah mendirikan shalat wajib dan nafilahnya dalam keadaan berdiri. Namun kadang-kadang di sebagian rumah beliau lakukan dalam keadaan duduk. Ketika aku menanyakan sebabnya beliau menjawab: Aku melaksanakan shalat sambil duduk karena rasa lapar dan lemah yang amat sangat. Sebab selama tiga malam aku telah memberikan bagian makananku kepada anak-anak. Dalam sehari semalam, mereka hanya memakan sepotong roti.”
Peristiwa ini terjadi ketika Zainab as berada dalam kondisi tertawan dan diarak dari Kufah menuju menuju Syam. Teriknya matahari dan dinginnya malam telah menyiksa beliau dan rombongan tetapi beliau tidak meninggalkan shalat malamnya dalam kondisi sesulit itu.
Orator Ulung (kata-katanya sangat indah dan sesuai dengan kondisi audiens)
Hal ini dapat kita lihat dalam khutbah beliau baik yang disampaikan di Kufah maupun di hadapan Yazid bin Muawiyah di Syam. Ketika beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan penduduk Kufah, khutbah beliau mengingatkan orang-orang akan ayahnya, Imam Ali as. Mereka melihat seakan-akan Imam Ali as sendiri yang sedang berkhutbah. Kata-katanya yang indah dan isinya yang begitu mengena sehingga para pendengar menangis dan hanyut dalam kesedihan setelah mendengarnya. Lihatlah khutbah beliau yang disampaikan di hadapan masyarakat Kuffah saat para tawanan digiring dari Karbala menuju Kuffah. Begitupula khutbah beliau di hadapan Yazid bin Muawiyah di Syam yang mampu mengubah opini umum tentang Ahlul Bait as.
Para audiens terpesona dengan khutbah-khutbah yang disampaikan Zainab as, baik dari sisi tata bahasa maupun muatannya. Khutbah-khutbahnya sangat fasih dan baligh. Seorang yang ahli bahasa Arab yang menelaah khutbah-khutbah Zainab as pasti akan memahami dan menikmati keindahan bahasa beliau. Kelebihan beliau dalam kefasihan dan kebalighan ini diwarisi dari kedua orang tua beliau, Imam Ali as dan Sayidah Zahro as.
Itulah di antara keagungan-keagungan Srikandi Karbala, Zainab al-Kubro. Sebenarnya masih banyak hal yang dapat kita kaji tentang kehidupan beliau yang dapat menjadi teladan bagi kita kaum muslimah. Namun, kajian-kajian tersebut insyallah dapat menjadi pembuka bagi kita, untuk lebih mendalami sisi-sisi kehidupan perempuan agung dan tangguh ini, di masa yang akan datang. Dengan belajar pada kehidupan dan perjuangan Zainab al-Kubro, akan muncul srikandi-srikandi masa kini yang tak gentar dalam menyampaikan kebenaran, yang mampu memberikan peran besar terhadap perkembangan agama Islam.
[Sumber; ‘Muslimah Idol’; Napak Tilas para Perempuan Teladan, Euis Daryati MA]