Pengajaran yang anti pendidikan
Di antara problem kebangsaan yang menuntut penyelesaian secara profesional, komprehensif dan berkesinambungan serta penuh amanah dari pemerintah dan rakyat negeri ini adalah pendidikan. Pendidikan adalah kunci kesuksesan sebuah bangsa dalam menghadapi tantangan-tantangan multidimensional di masa kini dan di masa yang akan datang. Bangsa yang akan jaya adalah bangsa yang memiliki program yang komprehensif, cermat, akurat, tajam dan profesional serta dijalankan dengan penuh amanah oleh para pemangku dan pelaksana kebijakan dalam bidang pendidikan.[1]
Pengalaman sejarah kontemporer mengajarkan bahwa hanya bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang tangguh yang bisa menjadi penggerak negerinya menjadi makmur, sejahtera dan memiliki peradaban yang bermartabat. Untuk memiliki sumber daya yang berwawasan, tangguh, ahli dan profesional dibutuhkan program pendidikan yang terbaik.[2]
Pengajaran hanyalah bagian kecil dari pendidikan. Dalam Islam pengajaran memiliki makna yang dalam tidak hanya memberikan atau mentranfer informasi tapi juga membantu murid agar dapat mengaktualkan potensi yang dimiliknya. Seorang guru tidak hanya bertindak sebagai guru saja tapi juga sebagai ayah, sebagai mursid, sebagai pemimpin kafilah ruhani yang memperisiapkan peserta didik jadi manusia.
Pengajar yang mati dan tidak kreatif membuat kelas menjadi penjara waktu yang memanggang anak didik dalam detik-detik waktu yang menjenuhkan. Konten yang diulang-ulang, argumentasi yang direpetisi dan kadang-kadang tidak akurat. Pembahasan yang tanpa perenungan yang mendalam. Guru-guru yang tidak suka melakukan telaah dan lebih banyak menggunakan orotitas strukturalnya bukan otoritas ilmiahnya. Kalaupun ada evaluasi sama sekali tidak mendalam dan hanya mengelaborasi lapisan linguistik semata-mata. Karena itu membunuh jiwa lebih berbahaya dari membunuh tubuh. Jiwa siswa-siswa yang dimatikan rasanya dan motivasi menjadi mati secara mengenaskan dalam ruang-ruang kelas yang tidak mengeksplorasi kebutuhan jiwa rasional mengelana di dunia ilmu yang tidak ada batasnya dan tidak membosankan.
Di tempat lain, pengajaran mengandung pendidikan namun pendidikan yang mengunci peradaban. Yaitu pendidikan yang memasung jiwa-jiwa rasional. Yang dihidupkan adalah ketundukan atas doktrin-doktrin yang dilestarikan lewat teologi horor (menakut-nakuti). Tuhan dijadikan sumber ancaman dan bukan kesadaran. Setiap bentuk pemikiran, evaluasi, kritis dan analisa segera dianggap subversi, anti mainstream, heterodox, bid’ah, zindiq, sesat dan sebagainya.
Mengutip Antonio yang mengatakan bahwa rejim kelas telah menguasai, menghegemoni sistem simbol dan makna, tafsir telah dihegemoni, karena kesadaran kritis telah ditundukan lewat pendidikan, tafsiran realitas dengan cara non ‘”non-coercive’ (tak memaksa namun yang dilumpuhkan adalah kesadaran kritis).
Teks secara verbatim dianggap satu-satunya penentu dogma-dogma. Peradaban memang butuh kepada teks yang disakralkan, dan tradisi yang disucikan tapi tidak bisa memasung akal, Karena seperti kata Ghazali, teks itu ibarat cahaya dan akal adalah mata. Teks hanya bisa dilihat oleh akal, dan begitu juga akal membutuhkan cahaya. Antara teks suci seperti al-Quran, hadis dan akal terjadi hubungan mutualisme. Teks tanpa akal akan menjadi sumber fragmentasi, disparitas, melahirkan rezim-rezim epistemologi yang otoriter. Sementara akal tanpa teks akan menumpulkannya; menggersangkan akal dalam kubangan rasionalitas yang hanya memuaskan syahwat kognisi an sich.
Di belahan lain, pendidikan direkonstruksi ideologi. Pendidikan menjadi bagian dari sistem politik dan ekonomi. Para ilmuwan alih-alih mengabdi kepada kebenaran malah menjadi agen salesman yang melimpah ruahkan laba bagi kaum pemodal nasional dan internasional. Riset yang dibiayai oleh sponsor-sponsor asing dan swasta nasional dalam berbagai bidang budaya, kearifan, prilaku sosial, trend sebagiannya adalah suatu cara untuk menyingkapkan kebiasaan, kecenderungan, kesukaan, tabiat, afiliasi sektarian, politik, cita-cita dan harapan dan sebagainya dari masyarakat dengan berbagai levelnya yang membantu para pemodal untuk memproduksi jasa atau komoditas tertentu disesuaikan dengan tabiat respondennya. Semakin banyak informasi tentang masyarakat manusia semakin terbuka lebar peluang bagi para pengusaha untuk mendesain produk, jasa layanan, service, hiburan, leisure, asesori, media dan seabreg produk-produk yang menggiring masyarakat untuk mengkonsumsinya.
Di tempat lain, pengajaran mengandung pendidikan namun pendidikan yang mengunci peradaban. Yaitu pendidikan yang memasung jiwa-jiwa rasional. Yang dihidupkan adalah ketundukan atas doktrin-doktrin yang dilestarikan lewat teologi horor (menakut-nakuti). Tuhan dijadikan sumber ancaman dan bukan kesadaran. Setiap bentuk pemikiran, evaluasi, kritis dan analisa segera dianggap subversi, anti mainstream, heterodox, bid’ah, zindiq, sesat dan sebagainya.
Mengutip Antonio yang mengatakan bahwa rejim kelas telah menguasai, menghegemoni sistem simbol dan makna, tafsir telah dihegemoni, karena kesadaran kritis telah ditundukan lewat pendidikan, tafsiran realitas dengan cara non ‘”non-coercive’ (tak memaksa namun yang dilumpuhkan adalah kesadaran kritis).
Teks secara verbatim dianggap satu-satunya penentu dogma-dogma. Peradaban memang butuh kepada teks yang disakralkan, dan tradisi yang disucikan tapi tidak bisa memasung akal, Karena seperti kata Ghazali, teks itu ibarat cahaya dan akal adalah mata. Teks hanya bisa dilihat oleh akal, dan begitu juga akal membutuhkan cahaya. Antara teks suci seperti al-Quran, hadis dan akal terjadi hubungan mutualisme. Teks tanpa akal akan menjadi sumber fragmentasi, disparitas, melahirkan rezim-rezim epistemologi yang otoriter. Sementara akal tanpa teks akan menumpulkannya; menggersangkan akal dalam kubangan rasionalitas yang hanya memuaskan syahwat kognisi an sich.
Di belahan lain, pendidikan direkonstruksi ideologi. Pendidikan menjadi bagian dari sistem politik dan ekonomi. Para ilmuwan alih-alih mengabdi kepada kebenaran malah menjadi agen salesman yang melimpah ruahkan laba bagi kaum pemodal nasional dan internasional. Riset yang dibiayai oleh sponsor-sponsor asing dan swasta nasional dalam berbagai bidang budaya, kearifan, prilaku sosial, trend sebagiannya adalah suatu cara untuk menyingkapkan kebiasaan, kecenderungan, kesukaan, tabiat, afiliasi sektarian, politik, cita-cita dan harapan dan sebagainya dari masyarakat dengan berbagai levelnya yang membantu para pemodal untuk memproduksi jasa atau komoditas tertentu disesuaikan dengan tabiat respondennya. Semakin banyak informasi tentang masyarakat manusia semakin terbuka lebar peluang bagi para pengusaha untuk mendesain produk, jasa layanan, service, hiburan, leisure, asesori, media dan seabreg produk-produk yang menggiring masyarakat untuk mengkonsumsinya.
Buku yang bagus adalah Practical Strategis for The Teaching of Thinking, cet. tahun 1987, Barry, k. Beyer, yang menginspirasi penidikan yang kreatif,
Murtadha Muthahhari, Dasar-dasar epistemologi Pendidikan Islam, 2011, Jakarta, Sadra Press