Pesta Kepemimpinan Nasional Rakyat Indonesia!
Ir. Mujtahid Hashem
Pemilu legislatif yang dihelat tanggal 9 April 2014 telah usai. Spanduk dan gambar para caleg telah diturunkan, ada yang kecewa dan tentunya ada juga yang girang. Kecewa karena perolehan suara kecil sehingga mimpi ke Senayan menjadi pudar, atau yang sedikit idealis harapan berbakti lewat legislasi, budgeting dan mengawasi eksekutif mesti ditunda lagi. Senang karena impian duduk di kursi terhormat wakil rakyat sebentar lagi tiba atau jika dengan niat yang benar kesempatan menjadi penyambung impian rakyat tentunya lebih terbuka.Pemilihan wakil rakyat atau yang sering kita dengar dengan pesta demokrasi bertujuan menseleksi kepemimpinan nasional untuk memenuhi amanat konstitusi negera ini. Sebuah tujuan yang mulia, meskipun terus menyisakan pertanyaan filosofis demokrasi liberal yang bebas nilai ini. Sebuah pertanyaan klasik namun sampai sekarang tidak pernah bisa dijawab dimana demokrasi liberal bebas nilai mengharuskan menerima meskipun kucing yang ditutupi karung dipilih rakyat sebagai presiden. Demokrasi Pancasila yang mengharuskan hikmah dan kebijaksanaan memimpin perwakilan rakyat dikesampingkan dengan alasan susah dioperasionalkan atau sengaja dipinggirkan karena jika hikmah dan kebijaksanaan menjadi acuan mereka akan tersingkir dari gelanggang.
Jika kita bandingkan dengan pemilu setelah 1999, 2014 dan 2009 maka tingkat partisipasi dan harapan rakyat akan hasil pemilu 2014 semakin menurun. Turunnya tingkat partisipasi ini karena rakyat apatis terhadap pemilu atau ekpektasi akan perubahan kehidupan yang lebih adil hilang dengan memperkirakan output pemilu kali ini. Realitas serangan fajar dan money politic ketika kampanye begitu vulgar sebelum pemilihan yang di-amini oleh rakyat, caleg dan media menjadi bukti akan bobroknya sistem pemilu yang berjalan. Sebuah relaitas yang wajar jika kapital menjadi panglima dalam perebutan kepemimpinan nasional. Rezim, KPU, media dan pemegang modal telah gagal meyakinkan rakyat bahwa pemilu kali ini menjadi harapan satu-satunya akan perubahan.
Satu hal yang menjadi instrumen dominan dalam pemilu 2004, 2009 dan puncaknya pemilu 2014 adalah media dan lembaga survey. Media dan lembaga survey menjadi andalan satu-satunya alat utama yang dimiliki oleh kontestan pemilu untuk merubah persepsi publik, mengarahkan persepsi publik atau memanipulasi opini publik sesuai dengan pesan pemilik modal. Persepsi umum harus diciptakan media sehingga gerilya serangan fajar dan menipulasi di KPU bisa selaras.
Bagi yang mencermati perjalanan sejarah manusia, pertarungan kebenaran dan kebatilan dengan melibatkan ‘media’ untuk mempengaruhi opini dan persepsi publik, maka fenomena yang ada sekarang ini bukanlah hal yang baru. Korporasi kejahatan berusaha menutupi kebenaran dengan memainkan isu, sedangkan aliansi kebaikan berusaha membuka tabir kebaikan sehingga masyarakat awam sadar dan tercerahkan. Yang berbeda adalah kualitas dan kwantitas media yang digunakan. Ketika nabi mengajarkan Al-Quran pada sekelompok masyarakat, pada saat yang sama orang-orang yang membenci Nabi memainkan genderang, musik dan membacakan syair sehingga konsentrasi massa terpecah. Atau ketika orang-orang jahat memegang tampuk kekuasaan maka mereka menggunakan masjid dan manipulasi hadis sebagai media merubah persepsi masyarakat untuk menutupi kejahatan penguasa. Begitu juga dengan dunia saat ini media; musik, film, tv, sosial media, laporan tahunan, polling, survey, dan lainnya menjadi instrumen yang sangat penting untuk membentuk opini publik.
Pada dasarnya media adalah sesuatu yang netral, bisa digunakan oleh siapapun. Perang antara kebaikan dan keburukan saat ini semuanya akan memainkan simbol kebaikan dan kebenaran. Bagi ideolog, media akan digunakan untuk mengantarkan simbol kepada makna sedangkan kejahatan hanya akan memainkan simbol kebaikan tanpa mengantarkan kepada makna yang sebenarnya atau dengan bahasa lain mereka memainkan simbol kebaikan untuk tujuan kejahatan.
Jika kita meyakini kejahatan dan kegelapan akan sirna dengan hadirnya cahaya kebaikan, dan jika kita meyakini bahwa manusia dengan pengetahuannya akan terus bergerak menuju kepada kesempurnaan, maka tugas penyeru kebaikan dan keadilan adalah terus tanpa lelah menggalang konsolidasi kebaikan. Meskipun seakan masyarakat apatis, lelah dan lemah mereka masih menyimpan energi kebaikan untuk keadilan, mereka masih terus menungu untuk memberikan energinya siapa diantara mereka orang-orang yang akan mengantarkan simbol kepada makna. Dan merekalah pemenang yang sebenarnya dan merekalah yang akan dicintai oleh rakyatnya.
Sihir Jokowi dan Prabowo
Jika kita mau mencoba mengoreksi perjalanan pemilu presiden tahun 2004 dan 2009 yang mengantarkan SBY menjadi presiden dua kali periode maka kita dihadapkan fenomena yang sama pada saat ini. Dalam pemilu 2004 dan 2009, SBY menjadi bintang dari hasil operasi opini yang digalang media dan lembaga survey. SBY menjadi harapan satu-satunya ekpektasi publik dan akhirnya SBY menjadi bahan olok-olok termasuk rakyat yang dulu mereka menaruh harapan. Ingatan kita masih segar bagaimana komentar negatif terhadap SBY di era 2004 dan 2009 di media akan memunculkan ratusan komentar pembelaan. Fenomena yang hampir sama saat ini yang dinikmati oleh Jokowi. Maka tentunya rakyat akan semakin cerdas melihat fenomena ini dan bisa memprediksikan kira-kira apa yang akan terjadi.
Jika pada pemilu 2004 dan 2009 rakyat dihadapkan bahwa SBY sebagai satu-satu harapan, maka pada pemilu kali ini rakyat dihadapkan pada dua pilihan sekaligus Jokowi dan Prabowo sebagai pembawa perubahan. Jika salah satunya memimpin negeri ini, apakah mereka akan mampu membuat perubahan, apakah mereka mampu menyelesaikan pelbagai problem yang menimpa bangsa ini? Dengan mengacu pada harapan rakyat pada SBY pada pemilu sebelumnya dan harapan itu saat ini ditumpahkan pada Jokowi dan Prabowo maka dipastikan tidak akan terjadi perubahan sebagaimana ekspektasi rakyat. Kenapa?
Pertama; Sistem yang berjalan saat ini sama dengan sistem yang berjalan sebelumnya. Dengan kepemimpinan sekelompok elit pemilik kapital yang men-drive ekonomi nasional. Dengan anasir-anasir yang begitu kentara dimata publik yang terlibat dalam proses politik saat ini maka jerat pada lembaga kepresidenan sulit dihindarkan. Kedua; Tidak adanya upaya tegas para kandidat calon presiden yang muncul yang berusaha memotong kekuatan elit ekonomi menunjukkan kelemahan dan ketakutan akan hilangnya dukungan mereka akan posisinya sebagai calon presiden. Ketiga; Tidak adanya posisi idelologis yang jelas pada pemihakan ekonomi nasional ditengah globalisasi ekonomi, liberalisasi perdagangan dan penguasaaan segelintir orang atas mayoritas aset nasional membuat harapan sebagian besar rakyat yang terus terpinggirkan menjadi nihil. Keempat; Tidak adanya kandidat yang mengkampanyekan format ulang sistem ekonomi, politik dan kebijakan nasional yang mengacu pada Pancasila dan UUD 1945. Seperti, presiden adalah mandataris MPR dan ada pertanggungjawabannya diakhir periode. Dalam era reformasi kita hanya menyaksikan Presiden Habibie yang mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dalam sidang MPR. Dalam praktek demokrasi saat ini ibarat rakyat memberikan cek kosong pada calon presiden dan presiden bebas menuliskan apa yang dia inginkan tanpa pertanggungjawaban.
Partisipasi publik yang terus menurun dalam proses politik bisa menjadi indikator bahwa sebenarnya rakyat tidak apatis dan tidak bodoh, namun mereka masih menyimpan energi untuk mendukung kekuatan perubahan yang menawarkan gagasan dan mendorong lahirnya kepemimpinan nasional yang menjamin hak-hak mereka sebagai manusia dihormati dan diperjuangkan. Sebuah model kepemimpinan yang melihat rakyat sebagai manusia menjadi acuan dalam menyusun agenda dan kebijakan nasionalnya. Sebuah kepemimpinan yang mengusung arah kebijakan nasional yang bisa menjamin distribusi kekayaan nasional lebih merata dan adil. Sebuah kepemimpinan yang bergantung pada dukungan rakyat dan nilai-nilai universal sebagai acuannya dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Insya Allah.