Politik Ulama dan Ulama Politik
Abdullah Beik, MA
Selasa 22 Juli 2014 Pukul 20.00 adalah sebuah momentum yang sangat ditunggu dan mendebarkan hati lebih dari 130 juta orang, bagaimana tidak? Momentum yang akan menentukan nasib bangsa dan negara paling tidak selama lima tahun mendatang. Terdapat beberapa perbedaan yang menjadi ciri khas Pilpres 2014 dan membedakan dengan Pilpres sebelumnya, diantaranya adalah keterlibatan hampir seluruh tokoh ulama bertaraf nasional secara langsung dalam berbagai kegiatan politik praktis baik dalam deklarasi pencalonan, kampanye dan debat. Bahkan secara resmi menjadi ketua atau anggota team sukses.Coba kita renungkan preseden baru di negri ini, apakah hal itu adalah sebuah perkembangan yang positif ataukah sebaliknya? Tentu kita perlu juga memahami pandangan agama atas seorang ulama ideal yang merupakan pembimbing, pemimpin dan berada di garis terdepan dalam semua permasalahan keumatan.
Sejak lama kita mengenal adanya diskursus keterlibatan ulama dalam dunia politik. Sebagaimana juga keterlibatan agama itu sendiri dalam ranah politik. Paling tidak kita dapati ada dua kelompok ekstrim yang berada pada dua kutub berseberangan. Pertama adalah mereka yang meyakini, bahwa Islam adalah sama dengan yang diyakini oleh umat Kristen tentang agama mereka yang hanya mengatur urusan personal setiap individu dengan Tuhannya dan sama sekali Tuhan tidak turut dalam ranah social dan komunal. Kelompok ini biasa diistilahkan dengan sekuler
Sementara kelompok ke dua adalah yang meyakini bahwa agama mencakup segala sesuatu lini kehidupan, karenanya ulama sebagai orang yang berdiri terdepan dalam mengemban amanat agama dan pelanjut Nabi menjadi keniscayaan untuk terlibat dalam semua hal termasuk politik. Kelompok ini biasa disebut dengan Teokrasi, walaupug n secara definisi mungkin masih diperdebatkan.
Terlepas dari dua cara pandang itu, Indonesia sebagai sebuah negara yang menganut prinsip kenegaraan lebih khas, memiliki cara pandang yang berbeda sebab tidak masuk pada kedua-duanya, namun di pilpres yang terakhir ini sejumlah tokoh berusaha untuk menerapkan model kedua walaupun juga tidak utuh dan serba intsan. Sebab harusnya yang dicalonkan sebagai pemimpin harusnya sosok ulama, namun itulah kenyataan yang ada dan masih banyak di negri ini yang selalu menggunakan pribahasa, tiada rotan akar pun jadi dalam semua masalah.
Pesta demokrasi telah usai, pemenangnya pun telah diumumkan, pertanyaan yang harus kita renungkan, apa yang bisa diambil sebuah pelajaran dari pengalaman yang telah lewat itu, sebagai bekal ke depan sebagaimana firman Allah SWT ya ayyuhalladziyna amanuttaqullaah wal tandzur nafsun maa qaddamat li ghadin. (Wahai orang-orang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap jiwa menyaksikan apa yang telah diperbuat demi (kebaikan) hari esok)
Dalam hadits Imam Ali bersabda Maa aktsaral ‘ibar wa aqallal I’tibar (Alangkah banyaknya pelajaran namun sangat sedikit orang yang mau mengambil pelajaran darinya)
Yang pasti di antara pelajaran penting itu, sejumlah tokoh akan kehilangan kepercayaan dan kapabilitasnya, padahal sebagai tokoh dan pemimpin umat hal itu adalah sangat penting. Ia menjadi unsur fundamental dalam setiap masyarakat. Karena itulah para Nabi yang diutus oleh Allah SWT selalu memiliki sifat mulia dan jauh dari berbagai sifat nista atau yang disebut dengan kemaksuman.
Di sisi lain keterlibatan langsung seperti itu adalah menyisakan sebuah konskuensi bahwa yang semestinya seorang ulama adalah milik semua, dia harus menjadi representatif kepentingan agama dan umat, namun kita sudah masuk dalam dukung-mendukung sebuah partai atau calon, maka berarti dia telah mempersempit dirinya sebagai representatif partai dan yang didukungnya. Memang dalam dunia demokrasi seperti ini tidak bisa dihindari.
Coba renungkan lebih dalam, apa bedanya dengan seorang ustadz yang menjadi bintang iklan sebuah produk tertentu? Maka secara otomatis dia tidak lagi mewakili ajaran agama, ia hanya menjadi jubir perusahaan yang membayarnya. Bukankah demikian? Memang tidak sama seratus persen, karena sebagai jurkam dan tim sukses bisa saja pertimbangan dan yang diperjuangkan nilai-nilai transcendental, namun tetap saja tidak mewakili semua.
Apalagi jika kemudian harus berpindah dari sebuah partai kepada partai lainnya atau dari sebuah pasangan kepada pasangan lainnya, tanpa adanya dasar dan pondasi nilai dan lebih banyak didasari oleh sikap praktis dan kepentingan sesaat.
Lalu bagaimana solusinya apakah kembali ke opsi tinggalkan politik dan hal-hal yang berbau kekuasaan, kursi dan dunia? Biarkan mereka diraup orang-orang yang menginginkan kepentingan dirinya di tempat yang basah itu? Dan kita lepaskan hal itu dari peran ulama? Tentu tidak!
Mungkin ada alternatif lain yang bisa diambil dan lebih selamat menjaga kekudusan para pengemban amanah agama dan umat, yakni memiliki konsentrasi dan mencerahkan umat akan kesadaran politik yang bersih sesuai dengan nilai-nilai agama namun pada saat yang sama tidak perlu terlibat langsung menjadi ulama politik. Seorang ulama seperti seorang Nabi yang disebutkan dalam hadits laksana seorang ayah untuk umat ini, yakni mengayomi dan mengarahkan semua.
Berpolitik tidak meniscayakan keterlibatan dalam kampanye dan menjadi tim sukses, namun melaksanakan tugas keulamaan seperti ceramah, khotbah jumat, menulis, menyampaikan ceramah dalam seminar memimpin doa dan ritual keagamaan adalah bisa menjadi aktifitas yang tentu tidak bisa dilepaskan dari politik itu sendiri, namun sekali lagi tidak harus menjadi “ulama politik”. wallahu a’lam.