Mengenang Syahadah Imam Ali as
Irwan Kurniawan
Suatu hari, Imam Amirul Mukminin as menatap kedua putranya, Imam Hasan dan Imam Husain, dengan tatapan kasih dan kelembutan, sambil menengadah seolah membaca tulisan di langit tentang berbagai tragedi yang akan menimpa mereka. Termasuk di antaranya, tragedi yang akan menimpa dirinya. Sungguh menakjubkan, Imam sudah memprediksi di tangan siapa kesyahidannya akan terjadi. Dialah orang yang pernah bekerja padanya, Abdurrahman bin Muljam.
Pada 19 Ramadan 40 AH, seperti hari-hari biasanya, Imam Ali as pergi ke masjid di Kufah untuk shalat subuh. Seperti telah mendapat firasat, Imam meminta kedua putranya, Imam Hasan as dan Imam Husain as, untuk melaksanakan shalat subuh mereka di rumah saja, padahal biasanya mereka menyertai sang ayah shalat berjamaah di masjid.
Sebelum terjadinya tragedi besar yang menimpa kaum Muslim, khususnya pengikut Ahlulbait Nabi Saw, Imam Ali bin Abi Thalib as telah menubuatkan kepergiannya dari dunia yang fana ini. Saat Imam beranjak keluar dari rumahnya, terdengar kicauan burung-burung yang sangat nyaring. Lalu seorang pembantu Imam mencoba mengusir mereka, namun Imam melarangnya. “Biarkan mereka! Mungkin saja kicauan mereka merupakan ratapan firasat atas kematianku,” kata Imam as.
Bahkan jauh-jauh hari, Nabi Muhammad Saw telah menubuatkan kesyahidan Imam as. Kala itu, Nabi Saw bersabda, “Wahai Ali! Kulihat di depan mataku janggutmu memerah tercelup darah.”
Tiba di masjid, Imam membangunkan beberapa orang yang tidur di sana, lalu melantunkan azan. Di antara mereka yang dibangunkan oleh Imam adalah Abdurrahman bin Muljam. Ia tidak segera bangun ketika Imam membangunkannya dan berusaha menyembunyikan sesuatu di balik bajunya. Maka, ketika Imam hendak mulai mengimami shalat, Ibnu Muljam berpura-pura ikut shalat dan berdiri tepat di belakang Imam. Lalu ketika Imam sedang bersujud, Ibnu Muljam menarik pedang beracun dari balik bajunya dan memukulkannya tepat mengenai kepala Imam.
Abdurrahman bin Muljam sebenarnya pernah dipekerjakan oleh Imam sebagai pembantunya. Suatu saat, Imam pernah berkata kepadanya, “Hai Ibnu Muljam, akhir hidupku adalah di tanganmu.” Pada kesempatan itu, Ibnu Muljam berkata, “Jauhkanlah hal itu dariku, wahai Imam! Lebih baik tanganku lumpuh daripada aku harus melakukan tindakan seperti itu.”
Ibnu Muljam kemudian meminta agar ia dihukum mati, tapi Imam menolak. “Bagaimana aku harus menjatuhkan hukuman mati padamu, sementara kamu tidak melakukan kejahatan. Zalimlah aku jika aku memenjarakanmu atau membunuhmu, sementara kamu belum berbuat kesalahan,” jawab Imam.
Imam pun bersimbah darah di tempat sujudnya, lalu dibawa ke rumah dan dirawat sebagaimana mestinya. Namun, meski dalam penderitaannya, Imam selalu menunjukkan teladan suci Ahlulbait as. Imam senantiasa memberikan nasihat dan petunjuk ke arah kebenaran dan kebajikan, dan mengajak pada ketaatan kepada Allah.
Imam selalu menunjukkan akhlak mulianya. Ketika diberi semangkuk susu untuk menetralkan racun di tubuhnya, Imam hanya meminum setengahnya. Lalu beliau berkata, “Berikan susu ini kepada orang asing di penjara. Perutnya kosong.” Seseorang bertanya, “Siapa orang asing di penjara itu, wahai Imam?” Beliau menjawab, “Orang yang telah berusaha membunuhku. Ibnu Muljam.”
Selama kekhalifahannya yang berlangsung hampir empat tahun sembilan bulan, Imam Ali as selalu berpegang pada Sunnah Rasulullah Saw, serta melakukan berbagai gerakan spiritual dan pembaharuan. Beliau mulai melakukan reformasi di sana-sini. Tentu saja reformasi yang dijalankannya banyak yang bertentangan dengan kepentingan pihak-pihak tertentu yang telah menikmati keuntungan pribadi. Akibatnya, pihak-pihak tersebut bereaksi keras dan melakukan penentangan, bahkan pemberontakan dengan berbagai dalih.
Memang dalam masa imamahnya, Imam tidak mampu menegakkan kestabilan di seluruh dunia Islam, tapi beliau berhasil menorehkan prestasi di berbagai bidang. Keadilan dan sikap istikamahnya merepresentasikan keindahan akhlak Nabi Muhammad Saw dan Islam, terutama bagi generasi muda. Sebagai pemimpin, hidupnya sangat bersahaja dan rendah hati, serta jauh dari kemegahan dan kemewahan. Beliau tidak pernah mendukung teman atau relasi dan keluarganya yang merugikan orang lain.
Meski kesulitan dan beban berat mesti dihadapi sepanjang hidupnya, namun Imam meninggalkan harta berharga dan warisan intelektual bagi umat Islam. Hampir 11.000 kata bijaksana dalam berbagai tema, baik intelektual, keagamaan, maupun sosial, yang telah dicatatkan. Beliau menggagas kaidah-kaidah tatabahasa Arab dan meletakkan dasar bagi sastra Arab. Beliau adalah orang pertama dalam Islam yang menyelesaikan masalah-masalah metafisika dengan menggabungkan kekuatan intelektual dan demonstrasi logis. Beliau juga dipandang sebagai guru, baik bagi kalangan ulama fikih maupun kaum sufi, dan guru pertama dalam teologi, serta tafsir dan qira’at Al-Quran.
Tiga hari Imam as terbaring dan sakitnya semakin parah. Akhirnya, pada Jumat 21 Ramadhan 40 H, ruh sucinya meninggalkan jasad ragawi untuk bertemu dengan Kekasih Sejati yang selalu dirindukannya. Setelah dimandikan dan dikafani oleh kedua putranya, jenazah pemimpin kaum miskin itu dibawa ke Al-Ghari di Najaf dan dikuburkan di sana.
Sesuai dengan wasiatnya, pemakaman dan kuburan Imam dirahasiakan karena khawatir musuh-musuh yang membencinya akan berbuat zalim terhadap jasadnya. Orang-orang yang mengantar pun segera menghapus jejak mereka.
Selama beberapa abad, kuburan Imam Ali as tetap menjadi misteri hingga akhirnya Imam Ja’far al-Sadiq as menunjukkan di mana lokasi persisnya. Sejak saat itu, kaum Muslim, khususnya pengikut Ahlulbait, mulai ramai berziarah ke sana.
Mari kita sampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada Imam Zaman as. Ya Allah, tolonglah kami agar mampu meneladani kehidupan Imam Ali as!