Populisme Islamis Khomeini: Inspirasi Revolusi dari Lokal ke Global
Annisa Eka Nurfitria,Lc,M.Sos___ Reaksi Barat terhadap Revolusi Islam Iran tahun 1979 bisa digambarkan sebagai campuran antara ketakutan yang berlebihan dan sikap meremehkan. Namun, banyak analis mengabaikan satu elemen penting dari revolusi ini: konteks sejarah dan politiknya. Ideologi yang dibawa oleh revolusi memang memiliki dampak signifikan, tetapi kemampuan Teheran untuk mengoperasionalkan revolusi ini adalah hasil langsung dari kerangka politik dan historis tempat revolusi tersebut muncul.
Revolusi ini terjadi di Iran, sebuah negara non-Arab dengan warisan sejarah yang kaya, ambisi universal, dan ekonomi politik yang memungkinkan realisasi ideologinya.
Iran Sebagai Kekuatan Baru di Bawah Shah
Untuk memahami dampak Revolusi Islam, kita perlu melihat kembali Iran di bawah kekuasaan Shah pada 1960-an dan 1970-an. Pada masa itu, Iran dianggap sebagai kekuatan baru yang sedang tumbuh, sering dibandingkan dengan keberhasilan ekonomi Jepang. Iran memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk cadangan minyak terbesar keempat dan cadangan gas terbesar kedua di dunia.
Shah Mohammad Reza Pahlavi memiliki visi ambisius untuk membawa Iran menuju “peradaban besar” pada pergantian milenium. Dengan kekayaan minyak yang melimpah, terutama setelah lonjakan harga minyak pada 1973, Iran tampak bergerak menuju visi tersebut. Negara ini mulai mengembangkan basis industri yang kuat, sistem kesejahteraan yang murah hati, angkatan bersenjata yang modern, dan bahkan program nuklir yang dikagumi banyak negara.
Namun, meskipun ekonomi Iran berkembang pesat, Shah gagal melakukan reformasi politik yang tulus. Ketidakpuasan terhadap kurangnya demokrasi terus tumbuh, meski banyak pihak, termasuk para diplomat Eropa, percaya bahwa perubahan politik akan mengikuti transformasi ekonomi. Namun, kenyataannya, faktor-faktor seperti emosi manusia, kesombongan, dan ketidakpedulian Shah terhadap protes rakyat menjadi penyebab kejatuhannya.
Revolusi Islam: Awalnya Bukan untuk Mendirikan Teokrasi
Awalnya, revolusi ini tidak dimaksudkan untuk mendirikan sebuah teokrasi Islam. Revolusi ini lahir dari koalisi berbagai kelompok yang bersatu melawan Shah, termasuk liberal sekuler, nasionalis, komunis, dan Islamis-Marxis. Namun, keunggulan Islamis yang setia kepada Khomeini terletak pada akses mereka terhadap jaringan masjid dan institusi keagamaan yang luas di seluruh negeri.
Sementara kelompok sekuler dipaksa bergerak di bawah tanah oleh rezim Shah, saat kaum ulama dan pendukung Khomeini mampu mengontrol narasi revolusi. Pada Oktober 1978, Khomeini pindah dari pengasingan di Irak ke pinggiran kota Paris, memberinya platform internasional untuk menyebarkan pesan revolusi.
Revolusi Islam Iran bukanlah bentuk imperialisme, melainkan sebuah gerakan global yang berupaya membela kaum tertindas (mustadh’afin) di seluruh dunia. Meski muncul dari akar budaya dan tradisi Syiah, revolusi ini memiliki visi universal yang melampaui batas-batas nasional dan sektarian, menjadikan Islam sebagai inspirasi utama bagi perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan. Dalam konteks ini, Revolusi Islam menggabungkan nilai-nilai spiritual dan material, menciptakan sebuah narasi perjuangan yang menghubungkan sejarah panjang perlawanan Islam dengan semangat pembebasan global.
Klaim bahwa Revolusi Islam memiliki dimensi imperialistik sering kali muncul dari kesalahpahaman atau bias tertentu dalam melihat ambisi universal revolusi tersebut. Padahal, tujuan utamanya adalah menciptakan tatanan dunia yang lebih adil, berdasarkan nilai-nilai Islam, dengan memperjuangkan kedaulatan bangsa-bangsa dan melawan dominasi kekuatan imperialis yang merugikan masyarakat global.
Revolusi ini juga membangkitkan solidaritas di kalangan gerakan-gerakan pembebasan dunia, termasuk di negara-negara yang sedang berjuang melawan kolonialisme dan kapitalisme global. Dengan pendekatan ini, Revolusi Islam Iran lebih tepat dipahami sebagai sebuah misi transformatif untuk mewujudkan keadilan global daripada sebagai proyek dominasi atau ekspansi.
Populisme Islamis Khomeini
Salah satu tokoh intelektual penting yang membantu membentuk ideologi Revolusi Islam adalah Ali Shariati, seorang cendekiawan yang mendapat pendidikan Barat. Terinspirasi oleh karya-karya para pemikir Marxis dan anti-kolonialis seperti Franz Fanon, Shariati berupaya mengharmoniskan elemen Marxisme dengan Islamisme untuk menciptakan sebuah ideologi revolusioner yang mampu menggulingkan monarki Pahlavi sekaligus membebaskan Iran dari cengkeraman pengaruh imperialisme Barat. Meski Shariati wafat sebelum Revolusi Islam terjadi, gagasan-gagasannya tetap hidup dan memberikan landasan penting yang kemudian dimanfaatkan oleh Khomeini dalam merumuskan apa yang sering disebut sebagai populisme Islamis.
Untuk memahami ideologi Revolusi Islam, penting untuk mengenali perpaduan pemikiran antara kelompok kiri sekuler dan kanan religius yang bersatu dalam perjuangan melawan rezim Syah. Syah sendiri menyebut fenomena ini sebagai “aliansi tak suci” antara “yang hitam dan yang merah.” Meski terdengar peyoratif, istilah ini menunjukkan bagaimana kolaborasi lintas ideologi tersebut mampu menciptakan kekuatan revolusioner yang signifikan. Aliansi tersebut tak hanya relevan dalam konteks domestik Iran, tetapi juga memiliki daya tarik universal, yang oleh sebagian kalangan ideolog kiri di Barat dipandang sebagai manifestasi dari perlawanan ‘dunia ketiga’ terhadap kolonialisme dan kapitalisme global.
Misalnya, dalam artikel New York Times berjudul “Trusting Khomeini” yang diterbitkan dua hari setelah kemenangan Revolusi Islam, penulis Richard Falk — yang kelak menjadi pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki — memuji Khomeini sebagai figur yang berpotensi memberikan “model pemerintahan manusiawi yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara dunia ketiga.” Bahkan, pada masa itu, ada pejabat Amerika yang menyebut Khomeini sebagai “Gandhi-nya Iran.”
Seperti ideologi revolusioner lainnya, Revolusi Islam juga mengklaim keberpihakannya pada kaum tertindas (mustadh’afin) di seluruh dunia. Hal ini tercermin dalam pernyataan Pemimpin Tertinggi Iran saat ini, Ayatollah Seyed Ali Khamenei, yang menghubungkan gerakan Occupy Wall Street pada 2011 dengan nilai-nilai Revolusi Islam. Ia juga menganggap bahwa Arab Spring yang dimulai pada 2010 merupakan gema dari Revolusi Islam yang terlambat di dunia Arab. Klaim tersebut menegaskan bagaimana Revolusi Islam tak hanya menjadi peristiwa nasional, tetapi juga membawa pengaruh dan inspirasi lintas batas, terutama bagi gerakan yang melawan ketidakadilan dan dominasi global.