Dahsyatnya Revolusi Mental di Bulan Ramadhan

puasa dan revolusi mental
Allah Swt berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (al Baqarah, 2/186)
Sebagian sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, bagaimana kita memanggil/menyeru Allah? Apakah Tuhan begitu dekat dengan kami sehingga kita cukup menyerunya dengan suara pelan/berbisik atau Dia jauh sehingga kita perlu berteriak untuk memanggil-Nya? Lalu ayat ini pun turun untuk menjawab pertanyaan mereka tersebut.
Ya, Allah Swt begitu dekat dengan hamba-hamba-Nya tapi kedekatan-Nya di bulan Ramadhan begitu spesial. Tamsilnya adalah bila di sebelas bulan lainnya, pohon itu harus dipanjat atau menggunakan tangga untuk mendapatkan buahnya tapi di bulan suci Ramadhan pohon ini mendekat (memendek) dan begitu pendek hingga nyaris menyentuh tanah sehingga siapapun yang ingin menikmati buahnya, ia tidak perlu memanjat dan mencari tangga. Inillah “pohon cinta”;” pohon rahmat; pohon maghfirah (ampunan) yang hanya ada di bulan Ramadhan.
Ayat di atas adalah satu-satunya ayat dalam al-Qur’an yang Allah menggunakan tujuh (7) kata ganti dalam satu ayat secara beruntun. Barangkali pesan yang ingin disampaikan oleh ayat ini adalah meskipun Allah mengabulkan doa kapanpun dan dimanapun—sesuai dengan penggunakan kata “ujibu” yang mengisyaratkan makna dawam dan kontinu, namun doa dan permohonan di bulan Ramadhan—utamanya di malam-malam seribu bulan (lailah al-qadr)—lebih menjanjikan untuk dikabulkan. Di sini Allah ‘Azza wa Jalla ingin menegaskan bahwa kasih, rahmat dan ampunan-Nya telah diturunkan di atas atap rumah kita. Yang perlu kita lakukan adalah membuka pintu dan jendela rumah kita hingga kasih, rahmat dan ampunan-Nya tersebut memasuki rumah kita.
Ayat lain yang menegaskan perihal kedekatan Allah adalah:
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. [Qaff : 16]
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ
Dan Kami lebih dekat kepadanya dari kamu. [Al-Waqi’ah : 85]
Lalu mengapa kita tidak merasakan kedekatan dan keintiman dengan Allah Yang Mahadekat hingga ia mendengar bisikan kita? Mengapa kita menganggap Tuhan itu begitu asing dan nun jauh di sana hingga tidak terlihat? Dosa adalah penghalang dan hijab akbar (tirai besar) yang menutup penglihatan kita, hingga kita buta dan tidak mampu menangkap aura dan cahaya Ilahiah. Dan yang buta bukan mata kepala kita, namun mata hati kita sebagaimana difirmankan:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj/46).
Ramadhan adalah kesempatan emas untuk melakukan revolusi mental alias tazkiyah nafs (pembersihan diri dari sifat-sifat tercela). Ramadhan adalah bak madrasah paripurna yang menyediakan seluruh sarana kemudahan yang diperlukan untuk kesuksesan proses belajar siswa-siswanya. Dan hanya di bulan Ramadhan salik (pejalan spiritual) berkesempatan untuk melakukan mi’raj ruhani (perjalanan spiritual) secepat kilat hingga hatinya mencapai “tambang kebesaran” dan ruhnya “bergelantungan” di kemuliaan kesucian Ilahiah. Revolusi jiwa terjadi karena cukup dengan perjalanan spiritual satu malam di malam lailah al-qadar maka sang salik mampu mengubah perjalanan hidupnya selama satu tahun.
Auliyaullah melakukan revolusi mental di bulan Ramadhan dan mereka berinvestasi besar di bulan Ramadhan dan mereka menghimpun modal sebesar mungkin selama satu bulan yang penuh berkah ini. Contohnya, as-Sayyid al-Habib Allamah Husain Thabathaba’i terkenal bahwa setiap datang bulan Ramadhan, beliau tidak pernah tidur malam dan menghabiskan malam-malam Ramadhan untuk shalat malam (tahajud), membaca Al-Qur’an, muthala’ah (menelaah kitab) dan berdoa serta bermunajat.
Salah seorang pemuda berusia 22 tahun menulis surat kepada Allamah dan meminta solusi untuk mengatasi hawa nafsu? Beliau menjawab supaya pemuda tersebut melakukan taubat, muraqabah (kewaspadaan) dan muhasabah (internal audit). Caranya adalah setiap waktu subuh datang, hendaklah kamu berazam dan berniat sungguh-sungguh bahwa dalam setiap perbuatan yang engkau lakukan hendaklah engkau mencari dan menjaga ridha Allah Swt.
Lebih jauh, Allamah mengatakan: Dan setiap hendak mengerjakan suatu perbuatan maka hendaklah engkau mempertimbangkan kemanfaatan/kemaslahatan akhirat. Bila memang ia membawa manfaat ukhrawi maka lakukanlah dan bila tidak maka tinggalkanlah. Dan lakukan hal seperti ini sampai malam. Dan bila malam tiba, hendaklah engkau berpikir dan merenung selama empat (4) sampai lima (5) menit. Dan bila engkau dapati perbuatan hari itu sesuai dengan ridha Allah maka bersyukurlah dan bila engkau melanggar/bermaksiat maka lakukanlah istigfar. Dan sebelum tidur kalau bisa, hendaklah Anda membaca surah-surah musabbihat, yakni surah al-Hadid, al-Hasyr, Shaff dan Jum’ah dan Taghabun. Dan bila tidak mampu, paling tidak bacalah surah al-Hasyr. Demikian jawaban singkat dan padat Allamah.
Sayyid Thabathaba’i mengajarkan bagaimana cara praktis melakukan revolusi mental kepada pemuda tersebut. Dan program spiritual seperti ini sangat pas bila kita lakukan di bulan Ramadhan. Tentu bulan Ramadhan adalah saat yang tepat untuk melakukan muraqabah dan muhasabah. Dengan memanfaatkan aroma kedekatan dan keintiman Ilahiah, salik akan lebih optimal dalam perjalanan suluknya dan ia akan mampu mengubah diri yang takabur menjadi diri yang tawaduk; diri yang jahil menjadi diri yang alim; dan diri yang pemarah menjadi diri yang penyayang serta diri yang intoleran menjadi toleran.