Ritme Kehidupan
Ada rasa senang ada juga rasa sedih. Setiap orang sangat wajar jika merasa senang dengan berita-berita yang baik atau kejadian-kejadian yang disukainya, dan siapapun akan merasa sedih dengan hal-hal yang tidak diharapkan yang terjadi dalam hidupnya. Seorang yang beriman menurut al-Quran memiliki perasaan yang tidak berlebihan dengan apapun yang menimpa dirinya. Ia tidak akan mengalami kegembiraan yang ekstrem dan juga tidak akan mengalami kesedihan yang berlebihan.Kedua perasaan itu jika terjadi sewajarnya dirasakan. Ketika mengalami hal-hal yang disukai atau mendapatkan kabar-kabar gembira ia menerimanya dengan penuh rasa syukur dan tidak terlalu memikirkan berlebihan sampai mengganggu tidur dan mengganggu konsentrasinya.
Tetapi di atas kesenangan, ada kebahagiaan yaitu ketentraman hati, di dalam hadis dikatakan bukanlah kaya yang hakiki itu dengan memiliki harta yang banyak tapi sesungguhnya kaya yang hakiki itu adalah kaya hati.Kesenangan dan kebahagiaan sama-sama dirasakan oleh hati, bedanya kesenangan menggelisahkan, membuat ketagihan dan kadang-kadang bisa memperbudak dan membutakan hati,tetapi ketentraman dirasakan oleh hati, sifatnya tidak pernah menggelisahkan malah menyebarkan kebaikan demi kebaikan, menumbuhkan rasa syukur dan keyakinan, menambah iman dan kebahagiaan.
Semakin seseorang diberi peluang untuk senang, semakin terpecah-pecah hatinya, semakin menjadi lupa daratan. Berkecimpungan dan mencari kesenangan-kesenangan bukanlah perbuatan yang bijak, karena akan membelit dirinya dan semakin mengikatkan dirinya dengan hal-hal yang rendah.
Ketentraman adalah kemuliaan sebab tidak lagi terikat dan terpikat dengan hal-hal yang di luar dirinya. Semua kebahagiaan menyatu dengan dirinya. Tetapi kesenangan selalu berhubungan dengan yang di luar dirinya, ia tidak merasa nyaman dengan apa yang sudah ada. Ia ingin menambah dan terus menambah; semakin banyak yang disenangi semakin tinggi pula hasrat kesenangan.
Seseorang yang mencintai Allah dengan ikhlas, tidak hanya akan mengorbankan harta benda,uang,tanah,rumah,tenaga dan waktu bahkan juga─ yang sebetulnya sederhana tapi karena telah menjadi bagian dirinya sehingga sangat berat untuk dikorbankan─yaitu perasaan dirinya.
Keinginan mungkin bisa ditunda atau ditahan tetapi kalau sudah menjadi bagian dari dirinya, atau sudah mengalami apa yang pernah diinginkan itu, maka menjadi berat bagi dirinya melepaskan, sebab ia adalah perasaan itu dan perasaan itu adalah ia sendiri.
Seseorang yang benar-benar menghinakan dirinya baik secara sengaja atau tidak,akan merasa terhormat dengan hal-hal yang sebetulnya biasa-biasa saja. Karena itu jangan terlalu menyepelekan diri sehingga kehilangan rasionalitas diri, kehilangan keyakinan dan kehilangan kewajaran. karena kemuliaan orang yang mulia bukan dimuliakan dengan hal-hal yang rendah. Ia sudah sedemikian mulia sehingga tidak lagi mengharapkan kemuliaan dari manusia. Ia hanya mengharapkan kemuliaan dari Allah swt semata-mata. Mengapa seseorang mau menghinakan dirinya, padalah ia telah dimuliakan oleh Allah? Ia menempatkan diirnya secara materi. Ia melihat ketidak berdayaan dirinya karena tidak bisa mengumpulkan materi secara cepat dan secara banyak?!.
Kemarahan, kekesalan, kekecewaan, kecemasan, kekisruhan dan segala perasaan negatif biasanya selalu mengiringi seseorang yang menyerahkan dinamika hidup dari yang terkecil hingga yang terbesar pada dirinya sendiri? Apakah mampu seorang manusia─ yang sangat memuja perasaan dan begitu mudah terganggu emosinya─ menanggung dan menghadapi semua hal yang tidak sesuai dengan harapannya? Manusia sepintar dan secerdas apapun tidak ada bedanya dengan anak kecil, selalu ingin dimanja oleh kehidupannya.
Ukuran kematangan atau kedewasaan tidaklah diukur oleh seberapa banyak bacaan yang dilahapnya, seberapa luas wawasan yang dimilikinya, tidak diukur oleh seberapa hebat dalam meraih jaringan sosial, sejauh mana wibawa dan pengaruh yang dimilikinya. Yang penting adalah keluwesan, kematangan stamina spiritual yang menggelegak, kecerdasan emosional dan spiritual yang memungkinkan dirinya tidak terpengaruh sedikitpun oleh hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Kematangan jiwa itulah yang menciptakan kebahagiaan sepanjang waktu dan sepanjang hidup, siang dan malam, dalam keadaan miskin dan dalam keadaan susah.
Jiwa biasanya tidak siap menghadapi hal-hal yang tak terduga, jiwa tidak siap menghadapi tekanan-tekanan yang berat, beruntun,
Kehidupan memiliki ritme sendiri yang kadang-kadang sulit untuk diprediksi; Suatu saat apa yang direncanakan dan apa yang diinginkan bisa saja tidak bisa dijalankan. Semua pintu seperti tertutup rapat-rapat. Kita melihat ada kebaikan-kebaikan dan peluang tapi tetap saja rintangan menghalangi prosesnya. Hati menjadi bingung, ngenes dan ingin menjerit-jerit; sebetulnya hanya sedikit yang harus dilakukan, tapi alangkah lamanya dan banyak memakan proses yang berliku-liku; Setiap liku mengandung lagi banyak masalah yang harus diurai satu persatu dan masing-masing memerlukan waktu dan biaya yang cukup lumayan.
Kadang-kadang ketertundaan mengandung rahasia yang sangat besar bagi perkembangan spiritual. Setiap manusia dalam mengais rezeki tidak selalu mulus mempertahankan roda ekonominya sepanjang zaman. Saat jalan jalan menuju pintu rejeki yang dianggap mapan itu sulit diraih sebenarnya tuhan akan menyediakan jala-jalan lain yang lebih abadi dan lebih baik, hanya saja ego manusia masih meragukan kebenaran tersebut. Mengapa tidak segera kembali kepada tuhan setiap saat. Kembali atau taubat tidak harus karena dosa.
Dalam kitab Syarh al-Asmâ : Syarh du’a Jausyan al-kabîr disebutkan tentang jenis-jenis taubat. Taubat peringkat bawah adalah taubat orang-orang awam yaitu taubat dari maksiat. Taubat peringkat kedua yaitu taubat para nabi yaitu taubat dari meninggalkan hal-hal yang paling utama dan ketiga yaitu taubat Rasulullah yaitu taubat dari memikirkan selain Allah swt.