Misi Kemanusiaan Kenabian Hingga Kekinian (Bag. 2)
Dalam artikel sebelum dijelaskan bagaimana seorang nabi menjalankan misi kemanusiaan dengan membawa ajaran monotheisme. Dengan keyakinan tersebut meyakinkan orang lain bahwa setiap manusia adalah ciptaan-Nya yang patut disadari dalam konteks kekinian. Sebelum masuk pada dekade terakhir, mari kita runut kembali bagaimana misi kemanusiaan yang dibawa oleh para pegiat kemanusiaan melawan kebatilan di era pasca kenabian.
Di era pasca lahirnya Nabi Isa as dibentuk Konsili Nicea pada tahun 325 Masehi untuk menghimpun para uskup Kristen oleh Kaisar Romawi Konstantinus I. Konsili Nicea ini merupakan upaya mencapai konsensus dalam Gereja melalui suatu sidang yang mewakili seluruh dunia kekristenan dengan tujuan menyelesaikan hal-hal yang diperdebatkan. Penggagas Konsili Nicea ini dibentuk oleh umat Trinitarian dengan doktrin Trinitas yang ingin menguasai konsep seluruh dunia theologi kristen dari Unitarian. Sedangkan Unitarian adalah doktrin theologi kristen mematuhi monotheisme dengan ketat. Dalam doktrin Unitarian meyakini bahwa Yesus sebagai seorang Nabi dan Rasul yang memiliki berbagai mukjizat serta dimuliakan oleh Tuhan. Doktrin ini pula yang mempunyai kesamaan dengan Islam yang meyakini 12 murid pilihan.
Setelah Konsili Nicea, yang merupakan titik tolak pertentangan antara Unitarian dan Trinitarian yang mana kemudian dimenangkan oleh Trinitarian, maka aliran Unitarian tersebut dianggap sebagai aliran sesat. Termasuk diantaranya salah satu tokoh Unitarian, Arius yang kemudian dihukum dianggap sesat dan diekskomunikasikan oleh gereja saat itu hingga dia wafat. Ajaran Unitarian ini pun makin berkembang dari dimana tempat kelahiran Isa Almasih di bumi Palestina dan sekitarnya. Dari para pegiat ajaran ini meyakini datangnya seorang nabi setelah Isa as, dengan membawa misi kemanusiaan ajaran kenabian dan untuk menyempurnakan akhlak manusia, yaitu Muhammad.
Konflik dalam ajaran Muhammad pun terjadi. Disaat perjalanan Haji Wada’, Rasul telah mengutus pemimpin umat Islam setelahnya agar dapat menjaga titah Tuhan dengan pedoman Al-Qur’an dan Ahlul Bait (Sunnah Kenabian). Setelah Rasul meninggal berkembang ajaran Khilafah. Ajaran ini menganut ajaran monotheisme namun berseberangan dengan Sunnah Kenabian yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad. Para pegiat ajaran Sunnah Kenabian dipelopori langsung oleh Amirul Mukmini Ali Ibn Abi Tholib. Ia sebagai keluarga terdekat Nabi terpilih mendedikasikan ajaran tersebut penuh dengan kasih sayang dengan adab suci kenabian demi kepentingan umat semata. Berbeda dengan ajaran Khilafah yang berkembang khususnya yang diusung oleh HTI dan ISIS saat ini yang sudah familiar di kalangan masyarakat dunia. Tujuan ajaran ini tidak jauh berbeda dengan ajaran Trinitarian yang ingin mengusai seluruh dunia theologi Islam dari sang pembawa titah Kenabian dan Ketuhanan yang diusung oleh Amirul Mukminin.
Misi kemanusiaan setelah pasca Nabi Muhammad hingga ke era Napoleon Bonaparte terus berkembang masa demi masa. Banyak kemiripan walau berbeda agama namun misi kemanusiaan yang diusung mempunyai nilai yang sama, yaitu memperjuangkan keadilan sosial di muka bumi. Sama seperti ajaran para nabi sebelumnya yang diusung oleh Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa as.
Luasnya kekuasaan Romawi hingga ke Eropa Timur yang berpusat di Konstantinopel, menjadikan pengaruh sistem hukum romawi tidak terkikis kendati Kerajaan Romawi telah runtuh, bahkan menjadi sumber kodifikasi hukum Eropa Kontinental, yang dikenal dengan sebutan Common Law. Semangat rasionalisme yang menyebabkan revolusi Perancis, membawa negara tersebut sejak 21 Maret 1804 menjadi peletak tata hukum baru melalui diterbitkannya Code Civil yang merupakan bagian dari Codex Napoleon, yakni kaidah-kaidah hukum Napoleon Bonaparte yang terkodifikasi. Code Civil inilah yang membentuk sistem hukum Civil Law yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat dibanding kepentingan penguasa yang mengadopsi sistem hukum Common Law. Misi kemanusiaan yang diperjuangkan oleh Napoleon Bonaparte ini merambat keseluruh antero dunia demikian Indonesia pun kuat mengadopsi sistem hukum ini dengan Pancasilanya.
Di tempat lain, Pendeta Martin Luther King, Jr. sebagai aktivis HAM warga Amerika-Afrika, mempunyai perjuangan yang sama dengan memperjuangkan warga kulit hitam Amerika untuk mendapatkan kesetaraan hak sipilnya. Amerika yang masih kental dengan doktrin hukum Common Law dari budaya Anglo-Saxon, kakek bunyut dari keluarga kerajaan Romawi sampai ke Inggris sekarang, Martin menjadi ancaman bagi mereka. Mimpi seorang Martin menyetarakan kulit hitam dan kulit putih di negara tersebut dengan menghapus penindasan, diskriminasi dan intimidasi terhadap kulit hitam. Misi kemanusiaan Martin menjadi sejarah besar AS dalam sejarah non-kekerasan, anti-rasisme pada zaman modern, dan dianggap sebagai pahlawan, pencipta perdamaian dan martir oleh banyak orang di seluruh dunia. Satu setengah dekade setelah pembunuhan terhadapnya pada tahun 1968, Amerika Serikat menetapkan hari libur untuk memperingatinya, Hari Martin Luther King.
Pada beberapa dekade terakhir, misi yang sama terjadi ditengah peradaban Timur Tengah, dipusat jalur sutra teluk Persia menjadi pusat perdagangan terbesar di daerah tersebut. Saat negeri itu dibawah kekuasaan Mohammad Reza Pahlevi sistem pemerintahan monarki diadopsi dari sistem kerajaan Inggris yang sekaligus menjadi kaki tangan negeri sisa-sisa kerajaan Anglo-Saxon tersebut. Kekayaan negeri yang digadaikan ke negeri penguasanya dan demi menjaga kekuasaan, membuat rakyat kecil semakin miskin dan terlantar. Para pegiat kemanusiaan yang dipelopori oleh Ayatullah Ruhullah Khomaini mengajak rakyat kejalan untuk melakukan demonstrasi pada bulan Februari tahun 1979 dengan menuntut rezim Syah Reza Pahlevi turun dari tahta kekuasaannya. Demontrasi itu merupakan revolusi Islam Iran yang mengubah sistem pemerintahan Iran dari sistem monarki menjadi republik Islam pertama di dunia. Revolusi itu juga dikenal sebagai revolusi besar ketiga dalam sejarah, setelah Perancis dan Revolusi Bolshevik.
Hikmah dari revolusi itu menyebar ke seluruh wilayah di Timur Tengah. Termasuk pembebasan tanah Palestina yang dipelopori langsung oleh Ruhullah Khomaini agar terlepas dari penjajahan Israel yang mengadopsi paham Zionis. Paham ini muncul pada akhir abad ke-19 di Eropa tengah dan timur sebagai gerakan kebangkitan nasional untuk membentuk sebuah negara di tanah suci Palestina, itu terbukti saat semakin luasnya wilayah Israel di Palestina. Mereka merampas daerah itu dengan kekerasan dan menjadikan hak prioritas agama Yahudi-Zionism dengan tidak manusiawi. Apapun yang mengancam paham ini akan dibinasakan dan dihancurkan tanpa melihat dampak sosial yang akan terjadi. Berbeda dengan penjajahan Belanda di Indonesia karena pengaruh doktrin Kristen yang lebih manusiawi.
Pertarungan antara kebenaran dan kebatilan akan terus berlanjut hingga pada masanya akan datang dimana semua manusia akan dikembalikan pada asalnya menjadi tanah. Namun perjuangan melawan kazaliman di muka bumi akan terus berlanjut berasama keyakinan monotheisme yang dipelopori oleh para nabi pendahulu. Manifestasi Habil dan Qabil selalu abadi dan dapat menjadi modal kita menjalankan misi kemanusiaan untuk menjunjung tinggi keadilan.
Oleh: H. A. Shahab
Pengamat Politik dan Budaya