Sebuah Pembahasan tentang Niat
Niat, dalam teologi adalah keinginan (irâdah) berbuat dari si pelaku, dan berbeda dengan azm (kemauan kuat) yang didahului dengan kebimbangan. Irâdah dalam arti niat tidak berlaku bagi Tuhan. Tidaklah dikatakan Allah swt berniat, tetapi berkehendak.
Di dalam fikih, niat adalah keinginan mewujudkan perbuatan yang diinginkan secara syari karena Allah.
Sehubungan dengan amal ibadah, niat itu diharuskan. Dalilnya, pertama akal. Beberapa alasan yang disampaikan dalam ar-Risalah Fakhriyah fi Marifati an-Niyah, dua di antaranya ialah bahwa perbuatan itu:
1-Merupakan ketaatan ataukah kemaksiatan tak ada bedanya melainkan dengan niat.
2-Umum sifatnya mencakup bentuk ketaatan, juga riya` dan lainnya. Tetapi menjadi khas sifatnya dengan niat.
Alasan lainnya bahwa keinginan menjadi syarat, karena kemampuan di posisi antara melakukan dan meninggalkan perbuatan.
Adapun dalil naql, ialah firman Allah swt: وَما أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصينَ ; “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya..” (QS: al-Bayinah 5)
Sabda Nabi saw: “Sesungguhnya amal perbuatan itu dengan niat..” (Sahih Bukhari- Muslim).
Makna Niat
Syahid Muhammad Shadr dalam Fiqh al-Akhlaq menjelaskan makna-makna niat sebagai berikut:
1-Niat verbal; terkadang diucapkan ketika hendak masuk shalat atau di sebagian amal haji.
2-Niat konsepsional; menghadirkan kandungan niat verbal tanpa pengucapan.
3-Maksud; yakni mengetahui apa yang diperbuat. Sekiranya ditanya (sedang apa) seseorang dapat menjawabnya. Makna ini mencakup semua perbuatan ikhtiari. Dalam arti inilah hadis semua amal dengan niat.
4-Tujuan (target); apa yang menjadi tujuan di dalam perbuatan. Jika tujuannya baik maka dikatakan niat yang baik, dan jika buruk maka dikataka niat yang buruk. Dalam arti ini, dikatakan dalam hadis: Setiap orang memiliki apa yang dia niati, yakni, yang dia tuju. Jika kebaikan yang dia tuju, ia akan mendapati kebaikan, dan jika keburukan, maka ia akan mendapati keburukan kembali kepada yang punya niat.
5-Batin atau jiwa atau hati seseorang; jika bersih maka niatnya bersih, dan jika kotor maka niatnya kotor. Dalam arti ini, dalam hadis diterangkan: Niat orang mukmin lebih baik dari amalnya, dan niat orang fasik lebih buruk dari amalnya.
Keharusan Niat dalam Ibadah
Di dalam Durus fil Fiqh al-Istidlali karya Abdul Karim Al Najaf (juz 1, hal 32) diterangkan, argumen fuqaha atas keharusan niat dalam ibadah, selain dalil naql seperti di atas dan ijma, bahwa:
-Kebenaran melaksanakan perintah Allah, taat dan beribadah kepada-Nya bergantung pada niat.
-Perintah ikhlas dalam ibadah di dalam Alquran dan hadis meniscayakan wajib niat, dan ikhlas adalah bagian dari niat. Sekiranya tidak harus niat, maka ikhlas pun tidak harus.
Diterangkan pula dalam Durus Tamhidiyah fil Fiqh al-Istdlali karya Syaikh Baqir Irwani (juz 1) mengenai syarat wudu, bahwa niat dalam arti seseorang bermaksud melakukannya dengan motifasi melaksanakan perintah Allah- diharuskan karena:
-Konsekuensi dalam ibadah (lâzimul ibadiyah). Karena itu, riya membatalkan wudu dan semua amal keibadahan, juga diharamkan dan termasuk dosa besar karena merupakan syirik. Sementara syirik adalah haram yang meniscayakan pembatalan amal keibadahan.
-Dalil beberapa riwayat, di antaranya:
لو أن عبدا عمل عملاً يطلب به وجه اللّه والدار الاخرة وادخل فيه رضا احدٍ من الناس كان مشركا
Artinya (kira-kira), “Sekiranya seorang hamba melakukan suatu amal dengan mengharap Allah dan hari akhirat, lalu dia masukkan di dalamnya kerelaan manusia, maka dia musyrik.” (Wasail asy-Syiah, bab 11, Muqaddimat al-Ibadat, hadis 11)
Dalam hadis 16 –dengan referensi yang sama- diterangkan:
فكيف يخادع اللّه؟ قال : يعمل بما امره اللّه ثم يريد به غيره. فاتقوا اللّه فى الرياء فإنه الشرك باللّه
Nabi saw ditanya: “Bagaimana menipu Allah?” Beliau menjawab: “Melakukan apa yang Allah perintahkan, lalu dengan demikian menginginkan selain-Nya. Maka, takutlah kepada Allah terkait riya, karena riya itu menyekutukan Dia.
Keibadahan Wudu
Dua masalah sebagai bagian akhir makalah ini; yang pertama mengenai keibadahan wudu. Terlontar soal dari Syaikh Baqir Irwani, bahwa wudu merupakan ibadah, mengapa?
Jawaban beliau dengan sirah mutasyarriah. Bahwa, yang terlintas dalam benak semua pelaku syariat -yang tua maupun yang muda dari mereka, yang laki maupun yang perempuan- ialah wudu merupakan ibadah. Keterlintasan ini tak mungkin muncul begitu saja, karena mustahil suatu akibat muncul tanpa sebab. Diyakini bahwa sebabnya tiada lain kecuali sampainya keterlintasan itu secara estafet dari seorang mashum.
Masalah kedua terkait niat, apakah niat itu bagian dari ibadah, ataukah merupakan syaratnya?
Abu Hanifah berpendapat tidak ada keharusan niat. Sedangkan kaum Hanabilah mengatakan bahwa niat merupakan syarat, bukan kewajiban. (al-Fiqh ila al-Madzahib al-Arbaah 1/58, cet. Darul Kutub al-Ilmiyah)
Sebagaimana penjelasan di atas, kalau di dalam wudu, niat menjadi syaratnya. Sedangkan di dalam shalat, niat merupakan rukunnya, bahwa -tanpa niat atau- pelanggaran niat dengan ataupun tanpa sengaja, membatalkan shalat dan wajib diulangi.