Seni Memimpin ala Sufi (Bagian Pertama)
Sahabat Umar bin Khattab tercengang dan terharu serta menangis ketika melihat kesederhanaan hidup Rasulullah saw yang duduk beralaskan tikar sembari berkata:
کسری و قیصر فی فرش الحریر و الدّیباج و فی نعیم الدّنیا و أنت رسول الله(ص) و خیرته من خلقه، علی ما أری.
Raja Kisra dan Kaisar duduk beralaskan sutera dan kain berharga yang halus serta mereka merasakan kenikmatan dunia, sedangkan Anda adalah utusan Allah dan manusia pilihannya tetapi hidup begitu sederhana seperti yang aku lihat.
Mendengar keprihatinan sahabat Umar tersebut, Rasul saw menjawab:
أفی شکٍ أنت یا عمر؟ امّا ترضی ان تکون لهم الدنیا و لنا الآخره
Apakah engkau ragu hai Umar? Apakah engkau tidak rida bagi mereka pesona dunia dan bagi kita pesona akhirat.
Sufi dan kegiatan sufistik seringkali dikaitkan dengan keterasingan dari kegiatan sosial dan urusan duniawi. Sufi hanya sibuk mengurusi masalah ukhrawi dan konsentrasi membina diri. Sufi tidak peduli dengan apa yang terjadi; yang penting dirinya suci dan tidak ternodai oleh karat dosa dan jebakan setan.
Pandangan di atas tidak selalu benar. Paling tidak, ada sebagian sufi yang tidak berpikir dan bersikap demikian. Tasawuf tersebut bukanlah praktik tasawuf yang komprehensif. Tasawuf yang benar justru mengajarkan kepada si sufi untuk hidup di kota metropolitan dan bergaul dengan pelbagai masyarakat serta di saat yang sama ia mampu mempertahankan derajat keimanan dan keyakinannya.
Sufi yang update adalah seseorang yang secara zahir tidak menampakkan kezuhudan dan kefakiran—paling tidak dilihat dari penampilan dan gaya hidup yang dijalaninya, namun sejatinya ia adalah hamba Allah yang zahid dan fakir (fakir spiritual).
Meskipun sebagian besar sufi memilih untuk menghindari jabatan dan maqam yang disodorkan padanya, namun sedikit dari mereka yang justru menerima kedudukan dan jabatan publik dan justru mencapai ketinggian suluk melalui jabatan, apapun namanya.
Inilah sufi modern yang luar biasa yang justru menjalankan kesufian di tengah gemerlap dunia. Dan pesona harta, tahta dan wanita tidak mampu memperdaya imannya. Sebab, kesalehan individualnya mampu mengatasi hawa nafsu hayawaniahnya dan kemuliaan dirinya dapat mengimunisasinya dari kehinaan dosa. Ia berada di jantung kota dan secara zahir berurusan dengan kemewahan dunia namun secara batin hatinya tertuju pada al Haqq.
Lalu bagaimana gaya kepemimpinan sufi yang memilih untuk terjun ke dunia politik? Seni kepemimpinan yang biasa diterapkan kaum sufi adalah sebagai berikut:
1-Memimpin dengan basirah
Seorang sufi terkenal dengan kepemilikan basirah yang bening dan tajam. Basirah ini mampu menjaga sufi dari tindakan ceroboh dan salah kaprah, sehingga ia tidak mengandalkan para pembisik di sekitarnya, namun basirah yang dipunyainya mampu menuntunnya menuju pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Dan basirah yang dimilikinya memudahkannya untuk memetakan siapa kawan dan siapa lawan.
2-Memimpin dengan hati
Kepemimpinan sufi mengandalkan hatinya. Bagi sufi, suara hati adalah suara Tuhan. Sebab, hati sufi begitu peka saat bersinggungan dengan kebatilan dan kezaliman, utamanya bila korban ketidakadilan ini adalah rakyat pinggiran dan kaum papa. Kepekaan hati terhadap dosa dan penderitaan orang lain dibahasakan dengan istilah nafs lawwamah (jiwa yang mencela) dalam Alquran. Alih-alih sang sufi berbuat dosa, begitu ada keinginan untuk bermaksiat saja, nafs lawwamah langsung memberontak dan menegurnya, sehingga ia meninggalkan dosa dan tidak jadi melaksanakannya. Adapun selain sufi, terkadang dosa itu tampak begitu biasa dan bahkan sebagian orang sampai pada tahapan bahwa dosa itu begitu sedap dan mengasyikkannya.
Ya, saking sensitifnya perasaan dan hati sufi sehingga ia tidak mau mengkonsumsi makanan dan minuman yang lebih enak dan lebih baik daripada yang biasa dimakan dan diminum oleh rakyat yang dipimpinnya.
3-Memimpin dengan akal
Sufi sejati tidak dikuasai oleh perasaan dan emosinya, namun ia senantiasa mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang rasional dan proporsional. Karena tasawuf yang hakiki berdasarkan tafakur dan tadabbur, maka pemimpin yang sufi akan selalu mengambil kebijakan sosial dan politiknya berlandaskan tafakur atau perenungan yang mendalam serta melihat persoalan dari seluruh aspek (memiliki pandangan yang utuh dan komprehensif dalam mencermati suatu fenomena). Karena seorang sufi mampu mengelola ghuwwah ghadabiyyah (daya emosinya, tidak mengikuti ajakan dan rayuan ghuwwah nafsiyyah sabu’iyyah (kekuatan hawa nafsu yang buas), dan tidak terseret oleh arus ghuwwah wahmiyyah (daya imajinasi) yang parsial dan sempit serta tunduk pada petunjuk dan kesimpulan ghuwwah ‘aqilah (daya rasional) yang universal dan proporsional maka pola pikir dan pola sikapnya begitu anggun, elegan, dan penuh keteladanan.
4-Memimpin dengan cinta
Karena ibadah yang dilakukan oleh sufi berdasarkan cinta, bukan hasrat akan surga dan takut akan neraka, maka cinta menjadi dasar dan pijakan aktifitas dan kebijakan politik sufi. Pemimpin yang notabene sufi tidak akan pernah menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk memenangkan dirinya, apalagi sampai membeli suara. Luberan cinta membuatnya mudah mengumbar senyum, bahkan lawan-lawan politiknya justru merasa aman dari makar dan tipu dayanya karena mereka sadar bahwa si sufi mustahil untuk melakukan tindakan tidak manusiawi. Sang sufi yang merupakan ejawantah dari cinta Ilahiah akan berusaha menyebarkan dan mengampanyekan cinta sebagai ciri khas dan basis kepemimpinannya. Sehingga negeri yang dipimpin seorang sufi sejatinya adalah negeri cinta alias daulah al-mahabbah.
Di negeri yang dipimpin oleh sufi ini, nyaris tidak ada lagi anak-anak nakal dan berandalan yang lapar cinta. Semua anak-anak bangsa mendapatkan asupan cinta yang cukup. Di negeri idaman ini, nyaris tidak terdengar kampanye kebencian, karnaval permusuhan dan festival kebodohan.
Bersambung
Syekh M. Ghazali
Pemerhati Sosial_Keagamaan