Tsudoku Ilmu-Ilmu Ahlul Bait
Era gencar-gencarnya persaingan antar penerbit buku sudah semakin surut. Banyak penerbit yang gulung tikar, toko-toko buku juga mengikutinya satu demi satu, kondisi penerbit yang masih bertahan hingga 2020 sebagian sudah diambang napas penghabisan, omset menurun tajam seiring perubahan jaman, perubahan gaya hidup yang dialami konsumen para pemburu buku.
Dalam sejarah penerbitan buku di Indonesia, penerbit sekaligus percetakan yang pertama kali muncul ternyata dibangun oleh orang Tionghoa dan Melayu. Jelas keberadaannya lebih demi melancarkan kepentingan mereka, bukan untuk kebutuhan orang-orang pribumi dalam menata peradaban di negerinya. Hal Ini terjadi pada awal abad 19.
Sebelum itu, orang yang pertama membawa mesin ketik adalah pihak penjajah kolonial belanda, penjajah juga butuh pendataan yang rapi dan terperinci, sehingga mereka rela memboyong alat paling modern kala itu ke tanah-tanah jajahan mereka. Balai Pustaka adalah salah satu peninggalan dari mereka walau sekarang dioperasikan dengan manajemen dan tujuan yang berbeda. Menjadi salah satu cagar warisan budaya bangsa Indonesia.
Di tahun 1950-an, banyak muncul penerbitan di pulau Jawa yang didirikan oleh pribumi. Dimana ini menjadi awal sejarah penerbitan buku di Indonesia, Kala itu tema yang diusung pun masih berbau idiologis dan membahas seputar politik, belum terlalu beragam seperti sekarang ini.
Penerbit Ahlul Bait pun tidak kalah, Ahlul Bait sebagai madzhab abnau dalil jelas turut serta dalam arena ini. Beberapa penerbit pun turut meramaikan pasar, bahu membahu menyebarkan ajaran mulia ahlul bait Alaihimus salam, dari materi aqidah, akhlak, fikih, tematik seputar Quran, seputar puasa, seputar haji bahkan materi seputar filsafat dan Irfan. Buku yang ditulis langsung atau merupakan buku hasil terjemah dari bahasa arab, inggris, atau persia.
Ciri khas dari madzhab ahlul bait ketika menulis buku, setiap menukil hadis setelahnya pasti disertakan dengan sumber-sumber rujukan aslinya[1], bahkan rujukan asli pun diutamakan dari buku-buku rujukan tingkat satu, yakni buku terbitan pertama dan buku yang ditulis paling dekat dengan masa kehidupan maksumin. Sedikit berbeda dengan beberapa penerbit muslim lain, yang hanya menyertakan “dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, dirawikan oleh Baihaqi dll”, tanpa mencantumkan dimana alamat hadis itu, sehingga tidak bisa atau sulit dicek kebenaran keberadaannya.
Buku-buku bertemakan ahlul bait sangat banyak bermunculan hingga tahun 1997. Sampai masa-masa ini, generasi milenial adalah beberapa kelompok orang yang mungkin sekali menjadi seorang Tsudoku[2], disini jelas tsudoku yang penulis maksud adalah atas buku-buku bertemakan ahlul bait.
Tsudoku tidak hanya terjadi pada buku cetak, bahkan juga buku-buku digital. Buku yang berupa e-book, dikumpulkan dan dikoleksi dalam folder-folder dan tidak atau jarang sekali dibuka.
Tsudoku dalam kacamata orang jepang adalah tindakan yang tidak mulia, dinilai berlebih-lebihan atau israf. Dalam Islam pun tidak jauh beda, perbuatan israf juga bagian dari tindakan tidak terpuji. Wala tusyrifu. Janganlah berlebih-lebihan.
Satu hal yang terlewatkan oleh sebagian orang adalah bahwa barang secara umum akan mengalami penurunan nilai fisik setelah dibeli, akibatnya di berbagai perpustakaan untuk menjaga kualitas fisik buku saja dana yang dianggarkan cukuplah besar. Selain itu juga terjadi penurunan kualitas isi, bisa jadi isi dari buku yang ditulis sudah tidak relevan lagi dengan kenyataan seiring terus berjalannya waktu. Sudah muncul teori-teori baru, penemuan-penemuan yang fresh from the oven.
Tsudoku jelas akan merugikan, terlebih untuk buku-buku ringan, bukan buku-buku rujukan. Buku yang ditulis up to date, jelas ketika ditimbun akan menjadi tidak up to date lagi.
Berbicara tentang buku ahlul bait jelas sedang berbicara seputar ilmu ahlul bait. Belajar dari nasihat yang disampaikan Ulama besar, Ayatullah Bahjat ketika beliau dimintai nasihat, beliau menjawab ringkas, “Kerjakan yang wajib, tinggalkan yang mungkar.”
Masyarakat awam umumnya berpikir bahwa dengan berlomba-lomba melakukan amalan sunah maka dirinya lebih terjamin. Jika kesibukan dalam mengerjakan yang sunah mengorbankan hal-hal yang wajib maka jelas ini adalah sebuah musibah. Inilah inti pesan dari Ulama Irfan dan ilmu akhlak ini. Menunaikan tuntas hal yang wajib dan meninggalkan yang haram dulu, baru beranjak ke hal-hal yang sunah.
Dari sini, sifat Tsudoku semestinya menjadi perhatian bersama, tidaklah perlu menghamburkan uang untuk membeli buku bacaan atas nama haus ilmu untuk menumpuk pahala. Tapi membeli buku bacaan selanjutnya setelah buku bacaan sudah dibeli, tuntas dibaca, baru kemudian membeli lagi. Apalagi dengan konsep mengamalkan dulu ilmu yang sudah diambil dari buku baru membeli lagi setelah ilmu yang dimiliki selesai diamalkan.
Kenyataannya untuk berbuat baik jelas tidak selalu perlu mengkonsumsi berjilid-jilid buku, satu buku saja sudah bisa dijadikan panduan untuk berbuat baik, memberi kemanfaatan kepada orang lain, sebagaimana nasihat Ayatullah Bahjat beliau menyampaikan inti dari fikih, paling inti adalah wajib dan haram.
Mahatma Ghandi berkata, “Biarlah semua orang tertawa ketika kita menangis saat lahir ke dunia, biarkan semua orang menangis sedih karena kita meninggal tapi kita pergi dalam keadaan tertawa.”
Jadi menjadi makhluk yang bermanfaat atau setidaknya tidak merugikan orang lain.
[1] KH Jallaluddin Rackhmat.
[2] Tsudoku adalah bahasa jepang, kata ini bermakna kegemaran seseorang untuk mengumpulkan buku tapi tidak membacanya.