Tuntasnya Peran Semua Imam Ahlul Bait termasuk Imam Husain AS
Memahami peran dari masing-masing Imam dan mengaktualisasikan hal itu dalam konteks kekinian secara proporsional adalah hal yang sangat penting. Hal ini membutuhkan telaah serius dan rinci serta objektif. Begitu juga ketika ingin menawarkan nilai-nilai Asyuro kepada kalangan generasi milenial.
Kejadian Asyuro dengan pengorbanan cucu Nabi, keluarga dan sahabat adalah salah satu peran dari peran-peran yang dilakukan, peran Imam Husain dan juga masing-masing Imam adalah peran yang saling melengkapi, peran penting yang mereka lakukan sesuai kondisi zaman para maksumin tersebut. Masing-masing dari mereka adalah satu rangkaian yang tidak terpisahkan, peran yang akan disempurnakan nantinya oleh Imam Mahdi Afj.
Imam Husain dengan perannya sebagai seorang syuhada sudah tuntas seratus persen sehingga peran itu tidak perlu lagi dilakukan oleh Imam-imam setelahnya. Jadi tidak tepat ketika memperbandingkan peran masing-masing Imam. Antara yang terjun ke medan laga dan melakukan perundingan damai, antara yang melakukan ini dan itu. Semua sudah dilakukan sesuai kondisi dengan seadil-adilnya, sesuai apa yang diperintahkan Allah SWT kepada mereka.
Generasi milenial cukup berminat mengulik sejarah sampai ke detail cerita yang ada, ketika seorang pembaca maqtal atau maktam berkata, Ali Akbar telah membunuh 70 puluh tentara, generasi milenial segera bertanya-tanya apakah mungkin orang dengan kondisi lemah kehausan bisa membantai sebanyak itu, apakah sekali menebaskan pedang lima orang musuh memberikan lehernya untuk dipenggal tanpa memberikan sedikit pun perlawanan, atau pedang Ali Akbar sangat besar sebagaimana pedang-pedang yang digunakan para tokoh anime. Sudah bisa meluluhlantakkan musuh sebelum pedang itu menyentuh tubuh. Apakah orang ahlul bait malu jika Ali Akbar hanya membunuh lima orang atau sepuluh orang saja ketika bertempur ke medan laga, menjadi tidak seru, dan tidak heroik ketika Ali Akbar hanya membunuh 5 orang saja.
Kadang seorang pembaca maktal berkata, “Enam ratus pucuk panah telah menembus tubuh Al Husain AS”, seorang milenial ketika mendengar perkataan ini bukan menjadi histeris dan masuk kedalam kesedihan sebaliknya malah membuat mereka berpikir, luas tubuh seorang manusia itu berapa senti meter sehingga bisa menampung 600 panah dalam waktu yang sama.
Generasi milenial itu detail dan kritis, maka seyogyanya materi yang disampaikan dalam ceramah, maktal, maupun maktam harus disinkronkan dengan narasi sejarah Asyuro yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Tidak perlu malu mengatakan Imam Husain hanya membunuh 10 orang dari tentara bengis Yazid bin Muawiyah, hal itu tidak menurunkan kepahlawanan dan heroisme Imam Husain. Inti dari Asyuro yang perlu disampaikan adalah ketaatan Imam Husain kepada Allah SWT, kesetiaan para sahabat dan ketaatan mereka kepada imam Zamannya.
Generasi milenial, sebagai generasi kekinian, dalam menerjemahkan semua itu tentu butuh kecakapan dan kejelian. Berbagai subhat seputar Imam Husain harus mampu dijawab dengan cara sederhana namun mendarat dalam pada tujuan.
Era baru memperlihatkan suatu fenomena pergeseran budaya yang sangat drastis bahkan dramatis. Bisa jadi generasi kita yang dunianya adalah teknologi informatika canggih dan dipercanggih secara eksponensial dalam waktu yang sangat singkat. Justru hal itu bisa mengancam generasi muda muslim secara cepat atau perlahan. Dalam pembahasannya mengenai “Asyura Kontemporer; Refleksi Nilai Asyura bagi Generasi Milenial”,. Beliau mengenalkan bahaya baru yang menggerus akidah umat Islam secara umum. Generasi milenial tanpa sadar sedang diseret ke dalam ateisme baru. Kepercayaan bahwa kebertuhanan perlu ditolak, atau merdeka untuk menolak konsep kebertuhanan atas nama gaya model baru, gaya semau gue, dan berbagai hal yang dilabeli sedang hits, sedang viral dengan semua bumbu penghiasnya. Menghadapi kenyataan pahit ini maka sangat diperlukan kebangkitan baru yang merefleksikan proses pendalaman semangat generasi milenial era kebangkitan Imam Husain as. Asyura sebagai transformasi pengetahuan dan sikap. Jadi generasi milenial memiliki ketahanan ideologis yang memadai dengan mengambil pelajaran dari Asyuro Husaini.
Poin penting terkait generasi milenial adalah adanya demoralisasi, upaya pemunduran kebudayaan dan moral generasi milenial, menjauhkan generasi keemasan ini dari sumber-sumber utama dengan berbagai cara.
Mengusung tokoh-tokoh muda yang memerankan peran masing-masing secara sempurna secara proporsional tidak terkesan dibuat-buat, tampak apa adanya akan lebih menarik, sebuah gambaran kejujuran sejarah sebagaimana posisi sejarah yang sebenarnya, menuturkan apa yang memang benar-benar terjadi sebelumnya di hari Asyura.
Para pemuda dengan moral luar biasa baik, bersih, taat kepada imam zamannya, pemuda yang mengutamakan kehidupan akhirat dari dunia. Pemuda yang tidak tertipu oleh gemerlap dunia, tidak hanya fokus mengejar perubahan status dari jomblo menjadi berpasangan tidak sah (pacaran).
Bagaimana membangun semangat itu sehingga para pemuda generasi milenial atau yang lebih muda bisa memilih secara bijak menghadapi era digital yang semakin lama semakin pelik, usungan budaya main game yang sangat masif di medsos dan dunia internet, game-game yang mengatasnamakan e-sport, menghabiskan waktu di “dunia maya” tanpa mengenal batas tempat dan waktu.
Rasa malu, rasa bersyukur, rasa kepeduliaan terhadap sesama, rasa kepedulian terhadap kaum lemah, kemauan untuk menjaga kesucian. Semua itu dalam ambang bahaya ketika tidak memiliki bekal cukup, bekal yang sebenarnya bisa diambil dari pemuda-pemuda yang ada di medan Karbala.