Ziarah Anggota Ikmal ke Cirebon
karena hidup itu adalah ziarah yang tak habis-habisnya. –Iwan Simatupang
oleh: E M. Divisi Perempuan Ikmal
Dan itu, saya simpulkan setelah ikut berziarah dengan rombongan satu bus penuh para anggota Ikatan Alumn Jamial Mustafa (IKMAL) pada Jumat 4 Mei 2019 lalu. Kami mengunjungi sebuah makam wali besar yang ada di Cirebon, Waliyullah Sunan Gunung Jati, atau juga dikenal dengan nama Pangeran Syarif Hidayatullah.
Perjalanan dimulai dari Jakarta, lalu kami dihadapkan dengan kejutan-kejutan kecil yang menyentuh kesadaran kita untuk dapat lebih sabar dalam mengelola waktu dan membuat perencanaan yang sungguh-sungguh matang. Benar, bahwa ziarah adalah perjalanan. Perjalanan ketika kita melakukan perjalanan ziarah, kita akan merasakan suatu kelahiran kembali dalam bentuk paling sederhana. Kita berhadapan dengan situasi-situasi baru. Hari berjalan lebih lambat, dan dalam sebagian besar perjalanan ini, kami bertemu dengan suasana dan keadaan baru, orang-orang baru dengan bahasanya masing-masing.
Beberapa tradisi ziarah banyak dilakukan dengan berjalan kaki. Jalan kaki itu menjadi semacam olah rasa. Filosofinya, manusia itu homo viator. Manusia yang berjalan (a man of wayfarer). Banyak cerita dari beberapa peziarah, mereka berjalan kaki untuk mencapai tempat peziarahannya. Olah rasa, olah raga dan olah jiwa ditemukan dalam berjalan kaki selama peziarahan. Ada pengalaman berbagi, ditolong dan menolong orang, diberi minum, diberi makanan, diusir, ditertawakan dan diejek.
Dari perjalanan ziarah, kita mengajak hati agar bisa jernih melihat dan memilah. Dan ketika sampai di tempat yang “disucikan”, di sana nazar ziarah itu terucap. Pengalaman yang dialami, disyukuri dan bersatu dengan niat dan cinta.
Kami tiba di Cirebon, kota bercuaca hangat itu, tepat setelah jam 14 siang. Disambut dan dijamu oleh Ustad Muhammad Al Kaf di kediaman beliau yang khas kota lama Cirebon, gaya rumah dan perabotan yang vintage. Usai makan siang yang terlalu sore itu, kami mampir sejenak ke Keraton Kasepuhan Cirebon dan Masjid Merah Pajunan. Masjid ini dibangun abad 15, berarsitektur unik perpaduan budaya Jawa, Arab dan Cina.
Jelang Magrib, kami beranjak menuju Astana, Gunungjati, melanjutkan misi utama perjalanan, yaitu berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Kali ini Ustad Abdullah Beik sudah bergabung bersama rombongan. Beliau merupakan sosok penting dalam sejarah berdirinya IKMAL, rombongan yag saya ikuti berziarah.
Sejatinya, mereka yang melakukan perjalanan ziarah adalah mereka yang mengikuti panggilan jiwanya. Mereka bisa berbagi kisah-kisah yang menjadi beban kepada mereka yang sama-sama melakukan perjalanan tanpa merasa khawatir dihakimi walau pun pasti mengalami. Kami tiba di lokasi makam setelah lewat magrib. Tampak di area pemakaman begitu lenggang. Para peziarah tak begitu membanjiri. Tetapi ketika memasuki ruang utama makam, terdapat serombongan besar peziarah sedang merapalkan dzikir dan tahlil. Kami mencoba bergabung di belakang mereka.
Adzan isya berkumandang, para peziarah selesai dan bergegas menuju masjid di area makam. Saat itu saya duduk di luar makam bersama beberapa peziarah yang baru datang dari luar. Suasana hening. Namun yang lebih sering adalah keheningan yang hadir di antara desau angin dan suara keheningan alam, seakan hal-hal itu lebih melarutkan kelelahan dan rasa pedih kami dalam kehidupan.
Perasaan ringan kami rasakan saat duduk melepaskan lelah di pendopo dekat makam. Di luar sana, bila kita berziarah ke tempat suci lain, mungkin kita dapat duduk bawah pohon di hutan atau tepi jalan atau bermalam di rumah orang yang tidak dikenal. Itu sebagian cerita dari para penziarah yang telah mlampah keberbagai tempat waliyullah yang sakral penuh karomah. Jiwa kering kami para peziarah terasa seperti dibasuh embun yang menyelimuti jalan-jalan setapak dan berdebu. Pertemuan dengan jiwa suci yang berada di dalam makam itu menjadi selaksa embun.
Dalam tradisi lain, seperti dalam tradisi Jawa, ziarah juga tak terlalu asing. Mereka menziarahi para leluhur dan orang suci adalah dalam rangka menziarahi diri untuk menemukan makna hidup pada hidup yang sesungguhnya mereka harus lalui, bukan hidup yang mereka inginkan. Inilah konsep ikhlas dan ridho (nrimo) dalam hidup.
Tradisi ziarah besar agama-agama ada dalam ziarah ke Mekah (berhaji), ke Karbala di Irak di mana terdapat makam Imam Husain, ke Mashad, ke Qum hingga ke Jerusalem makam Isa Al Masih, bahkan ke Santiago de Compostela di Spanyol yang menurut tradisi umat Katolik adalah tempat Bunda Maria dimakamkan.
Tak kuasa, jiwa ini sangat ingin dan terus-terusan melakukan penziarahan lagi. Pergi ke suatu tempat para manusia suci, menapaki jejak leluhur dan kehidupan jiwa sebelum terlahir dalam wadaq saat ini. Sebuah keinginan spiritual yang lahir karena cinta untuk selalu dapat berdekatan dengan para Waliyullah, para pemegang al Haq. Sebuah panggilan ruhani yang sejati.
Tetapi bukankah tiap detik adalah penziarahan? Berpindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Adakah kita telah mengambil makna dari sana?
Jakarta, 12 Mei 2019
dedy novi
3 December 2019 @ 11:46 pm
Salam..saya fans berst.. Ikmal online.com.. punya impian , suatu saat nanti Ikmal bisa bermetamorfosis menjadi or punya divisi radio streaming.
dedy novi
3 December 2019 @ 11:49 pm
JAYA SELALU IKMAL…