(2) Prof Hamka: “Saya tidak Bermazhab Syiah, tetapi Saya Cinta Al-Husain”
Rasulullah saw mempunyai mukjizat yang luas dan dibukakan Allah baginya berbagai rahasia zaman yang akan datang (sebagai contohnya, hadis riwayat Bukhari di atas tentang Imam Hasan bahwa) Telah kejadian pada tahun 40 hijriyah, tatkala Hasan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah dan tahun penyerahan kuasa itu dinamai orang: Âmul jamâah -tahun bersatu kembali.
Tetapi tidaklah bertemu satu riwayat bahwa Nabi saw pernah menceritakan apa yang akan terjadi pada Husain. Bukan karena Nabi saw tidak tahu. Tetapi adalah amat seram kalau hal demikian beliau ceritakan pula, yang dapat menggoncang orang banyak. Cukup beliau bayangkan saja bahwa sepeninggal beliau wafat kelak, akan banyak fitnah besar terjadi.
Ada juga riwayat menyatakan Nabi saw ada membisikkan kepada Asma… bahwa al-Husain itu akan mati terbunuh. Tetapi Nabi memesankan kepada Asma supaya perkataan menyedihkan itu ditutup rapat. Sebab menyeramkan..
Dalam kitab (maksudnya, buku al-Husain bin Ali Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya, karya Sayid H. Muhammad Husin al-Hamid al-Husaini) itu dan judul seperti itu pengarang telah mengarang sejarah al-Husain bin Ali menuntut haknya menjadi khalifah kaum Muslimin. Sebab Hasan bin Ali menyerahkan jabatan itu, dahulunya kepada Muawiyah adalah dengan pengertian bahwa kalau Muawiyah meninggal, kaum musliminlah yang berhak menentukan siapa akan gantinya. Tetapi yang licin dan licik agar yang akan gantinya kalau Muawiyah meninggal hendaklah putranya, Yazid bin Muawiyah. Untuk itu Muawiyah berani bertabur uang, menyebar pengaruh ke sana-sini menimbulkan publik opini, pendapat umum, agar Yazid putranya itulah penggantinya kalu dia meninggal, sampai ada seorang propagandis menjentik pedang dekatnya dan berkata sambil menyentak pedang itu, Khalifah ialah ini! (Lalu ditunjuknya dengan pedangnya itu Muawiyah yang sedang duduk di singgahsana). Kalau Muawiyah meninggal akan digantikan oleh ini! (Lalu diacungkannya pedangnya).
Orang banyak diam, tidak ada yang bersuara untuk membantahnya. Maka meninggallah Muawiyah bin Abi Sufyan pada tahun 60 hijriyah (680 M), dan naiklah Yazid menggantikan ayahnya. Di waktu itu pulalah penduduk Irak mengirim surat kepada Husain agar dia bergerak menentang kekuasaan Yazid dan orang Irak itu berjanji hendak membantu. Husain bin Ali menerima ajakan itu, meskipun beberapa orang yang berpengalaman, di antaranya Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar, keduanya sependapat melarang. Karena menyangka tidak akan berhasil. Hanya Abdullah bin Zubair saja yang menyatakan setuju, yang kemudian ternyata karena diapun ingin pula mendakwakan diri jadi khalifah Hejaz (Mekah).
Husain pun berangkat dengan kaum; keluarganya terdekat (dan para sahabatnya,-penukil), menuntut haknya, berpuluh orang, tidak sampai seratus.
Setelah Yazid menerima berita itu dikirimnya tentara tidak kurang dari 4000 orang di bawah pimpinan Abdullah bin Ziyad. Maka terjadilah peperangan hebat di padang Karbala di antara dua kekuatan tidak seimbang, di antara puluhan anak-anak dan perempuan pengiring setia Husain dengan 4000 tentara Yazid dari Damaskus, yang bagaimanapun gagah perkasa perlawanan Husain, perlawanan yang hancur, dan yang kacau, beliau sendiri mati terbunuh, kepalanya dipotong dan dibawa oleh Abdullah bin Ziyad menghadap Yazid bin Muawiyah.
Cinta Al-Husain
Abbas Mahmud Akkad pengarang Mesir terkenal (wafat 1964) mengarang buku tentang Husain Sayidusy syuhada ini, menerangkan bahwa inilah satu perjuangan mencapai syahid yang sangat berhasil, karena meskipun telah 14 abad berlalu sampai sekarang, namun kesannya sangat besar dalam dunia Islam sampai sekarang ini. Pada tiap-tiap bulan Muharam diadakanlah oleh kaum Syiah perayaan besar memperingati kematian Husain di Karbala, satu-satunya perayaan berurai airmata karena kematian. (Tetapi bukan karena kematian, tetapi kesyahidan dan pengorbanan Imam Husein demi tegaknya Islam, agama yang dibawa oleh datuknya, Rasulullah saw kepada umatnya,-penukil).
Seketika saya datang ke Irak yang mula-mula (Oktober 1950), dalam perjalanan ke Najaf (pusara Sayidina Ali) dan ke Karbala (pusara Sayidina Husain), muzawwir bertanya, saya datang dari mana. Saya jawab, dari Indonesia. Dia tanya mazhab, saya jawab Syafii. Lalu penunjuk jalan itu berkata, Mazhab Syafii adalah mazhab yang paling dekat kepada Syiah, dan paling cinta kepada Husain!.
Maaf, jawab saya. Saya tidak bermazhab Syiah, tetapi saya mencintai Husain.
Setelah ziarah tahun 1950 itu saya telah ziarah lagi pada tahun 1968. Jalan sudah lebih teratur. Najaf dan Karbala telah mudah dihubungi dari Baghdad, demikian juga ke negeri Samarra! Di sanalah ghaib Imam yang ke 12, dan di sana pula ditunggu (muntazhar), karena dia akan datang kembali ke dunia ini membawa keadilan dan kebenaran. Demikian kepercayaan orang Syiah.
Dari semua ziarah itu bertambahlah teguh rasa cinta saya kepada kedua cucu Rasulullah saw. Hasan dan Husain, di samping bertambah teguh keyakinan saya dalam mazhab Sunni. Sebab cinta lain dan pendirian agama lain pula.
Ketika orang beryanya kepada saya berpihak kemana saya hal pertentangan yang terjadi di zaman dahulu itu, saya menurut saja akan pendirian ulama dahulu-dahulu, sebagai imam Abu Hanifah, Hasan Bashri dan Umar bin Abdul Aziz. Di antara mereka berkata: ذلك دماء طهر الله منها يدي فلا احب ان اخضب بها لساني; “Itulah darah-darah yang telah tertumpah, yang Allah telah membersihkan tanganku daripada percikannya, maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku.”