Al-Husein Bangkit dan Menuju Karbala
Di bagian kisah sebelumnya saya menceritakan gejolak politik kekuasaan yang menjadi sebab awal kebangkitan Al-Husein. Sebuah pengkhianatan dinasti Umayyah terhadap Keluarga Nabi, dimana ayahnya Ali ibn Abi Thalib dibunuh dan kakaknya Al-Hasan diracun, semakin kuat alasan Al-Husein untuk bangkit melawan Yazid. Al-Husein mengetahui betul sifat arogan Yazid, sebagai manusia yang amoral dan penguasa yang lalim. Bagi Al-Husein tidak ada pilihan lain selain bangkit melawan untuk menampik keinginan Yazid mendapatkan baiat darinya.
Al-Husein menolak untuk membaiat kepada Yazid, si koruptor lalim yang telah merampas kekuasaan. Yazid memulai membangun propaganda untuk mengintimidasi dan mengancam dengan kekerasan terhadap Al-Husein dan pengikutnya. Pengaruh alkohol membuat Yazid semakin emosi melihat sikap Al-Husein yang tidak patuh terhadapnya. Ia menyuruh pasukannya untuk terus memantau gerakan Al-Husein dan mengancam siapapun yang mendukungnya.
Dengan keadaan hidupnya dibawah ancaman, Al-Husein mencari perlindungan bersama keluarga dan beberapa pengikut setianya di kota Mekkah (baca: Saudi Arabia saat ini), dengan harapan orang-orang Yazid menghormati kota suci tersebut. Ia selama tinggal di Mekkah menggunakan waktu itu untuk merencanakan langkah selanjutnya, dan untuk mengumpulkan dukungan dari masyarakat Mekkah dengan mengingatkan mereka akan kewajiban moral dalam memerangi korupsi.
Dalam sebuah riwayat ditulis Al-Husein masuk dari pintu ke pintu di kota Mekkah mengajak penduduk untuk bergabung bangkit melawan Yazid yang lalim.
“Aku tidak dibesarkan untuk menyebarkan kejahatan atau untuk bangga terhadap kepemimpinan, atau karena menyebarkan amoralitas atau penindasan… aku hanya ingin menyebarkan nilai-nilai luhur, dan mencegah kejahatan,” begitu ajakan Al-Husein kepada setiap orang yang ada di kota tersebut.
Salah satu kerabatnya mendesak Al-Husein untuk membatalkan kepergiannya, tetapi Al-Husein berkata:
“Aku berangkat bukan karena ambisi, bukan untuk berbuat zalim atau untuk menimbulkan kerusakan. Aku berangkat untuk mendatangkan kemaslahatan pada umat kakekku. Aku ingin memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.”
Yazid dan Muawiyyah ayahnya dikenal di kota itu sebagai pemimpin yang zalim, dan tidak segan membunuh orang yang tidak sejalan dengannya. Masyarakat mengetahui ajakan Al-Husein semakin membuat mereka ketakutan dan justru ajakan Al-Husein dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat disana. Namun sebagian kecil dari mereka yang mengetahui kemuliaan Al-Husein sebagai cucu Nabi, setia kepadanya, walau pun nyawa taruhannya.
Sementara isu mengenai kebangkitan Al-Husein mulai tersebar dan pesan dukungan membanjiri ke seluruh penjuru kepemimpinan yang berkuasa waktu itu, terutama dari sebuah kota bernama Kufah (baca: Irak saat ini). Kufah memegang peranan penting sebagai salah satu kota terpenting dalam kekhalifahan umat Islam.
Ribuan surat yang menyatakan dukungan dikirim ke Al-Husein dari Kufah, kemudian ia mengirim sepupunya bersama penasihat dekatnya, Muslim ibn Aqil dan Hani bin Urwah, ke Kufah untuk melihat seberapa besar dukungan dan situasi disana.
Yazid menyadari kebangkitan Al-Husein dan mengenai dukungan orang-orang Kufah untuknya. Menanggapi hal itu, Yazid mengutus seorang gubernur Kufah, Ibnu Ziyad, untuk secara brutal menindak setiap orang yang tidak tunduk kepada Yazid. Ancaman dikeluarkan bagi siapa saja yang menunjukkan dukungan untuk Al-Husein, dan kemudian Muslim ibn Aqil bersama Hani bin Urwah ditangkap dan dipenggal kepalanya di hadapan masyarakat Kufah.
Setelah mendengar ancaman dari Yazid dan melihat pemenggalan kepala Muslim ibn Aqil dan Hani bin Urwah, sebagian besar masyarakat semakin ketakutan dan menarik janji dukungan mereka terhadap kebangkitan Al-Husein. Sementara Ibnu Ziyad mempersiapkan 1000 pengendara kuda dan menyerahkan komando pasukan tersebut kepada Al-Hurr Ar-Riyahi untuk menyusul rombongan Al-Husein.
Sementara itu, Al-Husein dan rombongannya telah meninggalkan kota Mekkah dan memulai perjalanannya menuju Kufah. Al-Husein telah mendengar bahwa antek-antek pemerintah sedang dalam perjalanan untuk memaksanya mengambil sumpah setia untuk Yazid dengan ancaman mati. Al-Husein memenuhi panggilan orang-orang Kufah karena enggan melihat pertumpahan darah terjadi di kota suci Mekkah. Sedangkan orang-orang Kufah sudah termakan ancaman Ibnu Ziyad.
Al-Husein didampingi oleh keluarga dan kelompok pendukung yang ikut bersamanya. Selama dalam perjalanannya, Al-Husein berhenti dari kota ke kota untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar, namun tak ada satu pun yang ingin bergabung dengannya.
Saat Al-Husein mendekati Kufah, rombongannya dihadang oleh satu batalyon tentara ke sebuah daratan yang bernama Karbala. Ibnu Ziyad memerintahkan secara tegas kepada sang komandan untuk menghalangi kepulangan Al-Husein ke kota Madinah dan memaksanya menyerahkan diri kepada penguasa Kufah. Tentara tersebut diperintahkan untuk melarang Al-Husein pergi lebih jauh lagi dari daratan tersebut.
Al-Husein meninggalkan Mekkah bersama keluarga dan pengikutnya, pada saat ia tiba di Karbala, dengan mendapatkan sedikit pendukung. Dalam riwayat ditulis, pendukung Al-Husein hanya 72 orang bersama anak-anak dan perempuan. Mereka adalah orang-orang pemberani yang mencintai Tuhan dan Rasul-Nya. Sedangkan kebanyakan orang terlalu takut untuk bersama dengan kebenaran dan ada pula karena ingin mendapatkan keuntungan dari sistem pemerintahan dinasti Umayyah yang korup.
Bersambung….