Argumen Tauhid Ibnu Sina
Argumen adalah senjata para filsuf dalam menjustifikasi penemuan-penemuan filosofis mereka. Argumen itu memiliki posisi yang penting tanpa itu klaim-klaim metafisika menjadi berantakan. Irving membagi argumentasi menjadi deduksi dan induks dengan perbedaan deduksi mengantarkan pada kepastian, sementara induksi relasi antara premis dan konklusi yang dibangun tidaklah pasti. Jika tidak bisa dianalisa dari aspek materi, Irving menawarkan format-format deduksi yaitu diantaranya (1) mengandung premis matematis, (2) premisnya dibangun dengan definisi. Sementara format induksi, yaitu (1) premisnya berupa prediksi dari masa lalu ke masa datang, (2) generalisasi, dan (3) analogi.
Kemampuan merumuskan argumen dilalui setelah mengetahuai beberapa pengantar tentang logika baik dari sisi konsep atau proposisi. Logika Islam menata konsep-konsep dan proposisi keilmuan agar logis, konsisten dan selaras dengan premis-premisnya. Namun yang lebih penting lagi wawasan keilmuan yang menjadi premis-premisnya yang kemudian bisa disimpulkan menjadi konklusi. Wawasan keilmuan itu harus berkualitas, mendalam dan luas yang melibat berbagai ilmu hakiki dengan variasi metodenya. Tanpa wawasan ini seorang filsuf tidak akan bisa melahirkan, menemukan dan menjustifikasi teori-teori yang baru
Ibnu Sina salah satu filsuf yang terkenal dengan argument-argumen dalam memnjustifikasi teori baik itu dalam kontek justikasi atau kontek penemuan (discovery). Di antara yang paling menarik adalah bagaimana Ibnu SIna menjustifikasi keesaan Tuhan, dengan analisa nalarnya. Ibn Sina mengatakan demikian :
Jika Allah itu tidak tunggal maka berarti lebih dari satu, dan jika lebih dari satu, maka berbeda satu dengan yang lain, dengan perbedaan yang total (bi tamâmi dzat), perbedaan secara partikular (juz`iyat), atau aksidental (‘ardh).[1] Sebab jika tidak ada perbedaan maka berarti sama alias satu kesatuan, atau itu-itu juga.
Di sini Ibn Sina ingin mengkritik asumsi akan ketidaktunggalan Tuhan dengan menggunakan ketidakvalidan konsekuensinya. Mungkin saja orang yang mengklaim Tuhan itu banyak tidak melihat konsekuensinya, yaitu jika banyak maka akan demikian dan demikian yang pasti ditolak olehnya, dan karena itu mau tidak mau akan menerima ketunggalan Tuhan. Namun bagaimana jika mereka juga balik menyerang Ibnu Sina dengan menggunakan argumen yang sama, jika Tuhan itu tunggal maka konsekuensinya misalnya semua harus dilakukan oleh Tuhan, sementara selain Tuhan juga punya peran? Atau dengan mengatakan jika Tuhan satu, maka mengapa banyak keburukan yang mengalahkan kebaikan? Tetapi segera kita mengetahui kelemahan-kelemahan asumsi seperti itu karena ketunggalan Tuhan tidak menafikan kausa-kausa lain yang subkausa prima,seperti kausa material (ilat madi`ah), dan ilat-ilat lainnya.
Lebih lanjut lagi menurut Ibn Sina :
Jika kedua Tuhan yang diasumsikan itu satu sama lain berbeda secara total, berarti yang satu bukan Tuhan, karena yang berbeda secara total dengan wajibul wujud pasti non wajibul wujud,[2]
Dan karena Ibnu Sina tidak menuliskan konsekuensi dari asumsi yang pertama. Para filsuf menyatakan bahwa perbedaan adalah konsekuensi dari keragaman, karena jika tidak berbeda maka itu satu, jadi jika dikatakan Tuhan itu ada dua, atau lebih berarti tidak akan disebut dua jika memiliki kesamaan, misalnya dikatakan jika ada dua entitas, yang sama dari berbagai sisi. Tetapi bagaimana jika ada yang mempersoalkan anggaplah ada dua entitas yang dari berbagai sisi sama, apakah itu harus disebut satu entitas? lalu mengapa disebut dua, tapi dalam kehidupan sehari-hari kita bisa menyebutkan misalnya ada dua dan bukankah bukan mustahil secara akal jika ada dua hal yang sama tapi dikatakan dua, misalnya dua malaikat, yaitu satu species yang bisa menggandakan dirinya, menjadi dua, tiga dan seterusnya? species itu menjadi dua, tiga, empat dan seterusnya tanpa merasa berbeda satu sama lain, bentuknya, substansinya, sifatnya dan segala hal baik yang esensi atau yang aksiden, mungkinkah dapat kita bayangkan seperti itu? ! jika ada seperti itu kira-kira apa yang akan dikatakan oleh Ibn Sina, Mungkin ia akan menyatakan bahwa itu adalah satu species dengan variasi aktifitas. satu species yang aktualitiasnya bervariasi, atau satu spesies dengan beragam manifestasi.
Asumsi lain yang disodorkan oleh Ibn Sina adalah :
Jika yang membedakan antara wajibul wujud satu dengan (wajibul wujud) yang lain itu faktor eksternal. sehingga kalau tidak ada faktor dari luar maka salah satunya tidak menjadi wajibul wujud. Sementara dalam tesis dijelaskan bahwa wajibul wujud itu wajib dalam segala aspek bahwa yang wajibul wujud karena faktor yang lain, itu bukan wajibulwujud. Dalam definisi dikatakan wajibul wujud lidzatihi bi dzatihi, yaitu wajibul wujud yang tidak memerlukan sebab (ilat) dan juga bukan kelaziman dari wajibul wujud yang lain seperti entitas atas yang mewajibkan adanya entitas yang bawah, jadi entitas bawah itu merupakan keniscayaan dari entitas atas, sebab tidak dikatakan atas jika tidak ada bawah. jadi entitas yang bawah itu wajibul wujud karena konsekuensi dari yang lain. jadi ia menjadi wajibul wujud bidzati tapi juga sekaligus menjadi wajibul wujud bighayrihi, (butuh kepada yang lain) dan ini kontradiksi..[3]
Kesimpulan
Argumen adalah senjata para filsuf dalam menjustifikasi, dan menemukan teori-teori filsafat. Argumen ini berdasarkan kepada premis-premis yang bervariasi yang lahir dari berbagai wawasan keilmuan. Dan berkat argumen Ibnu Sina juga dapat menjustifkkasi seacara rasioanl dan logis, tidak hanya eksistensi Tuhan tapi juga ketunggalannya. Argumen tauid ini pada gilirannya yang akan memperkuat keyakinan-keyakinan teologis.
(Nano Warno, Ph.D)
[1] Ilahiyat Syifa, bab wajibul wujud wahidun
[2] Ibnu Sina, Ilahiyat Syifa, bab wujud wahid
[3] Ibn Sina, Ilahiyat Syifa, bab al-Wujud Wahidun,