Asyura dalam Ucapan Maksumin a.s. (Bag. 2)
4- Asyura menurut Imam Sajjad
Imam Sajjad yang menyaksikan tragedi Karbala secara langsung dari dekat, tidak pernah melupakan peristiwa itu. Beliau selalu meneteskan air mata untuk peristiwa itu hingga akhir hayat beliau. Beliau juga mengajak orang lain untuk mengenang dan manangisi peristiwa itu. Setiap kali pandangan tertuju kepada makanan dan air, beliau selalu meneteskan air mata.
Suatu hari salah seorang pembantu beliau bertanya, “Apakah belum berakhir juga masa kesedihan dan kedukaan Anda hingga kini?”
Imam Sajjad a.s. menjawab, “Ketahuilah bahwa Nabi Ya’qub dahulu mempunyai 12 putra yang salah seorang di antaranya dijauhkan dan disembunyikan dari depan matanya oleh Allah. Mata Nabi Ya’quh hingga memutih karena kedukaan, sementara Nabi Yusuf masih hidup. Namun aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bahwa ayahku, saudaraku, pamanku dan 17 orang dari keluargaku serta para sahabat dan pengikut ayahku dibunuh, kepala mereka dipenggal. Bagaimana kesedihanku akan berakhir?”[1]
Selain itu, keluarga suci Ahlul Bait a.s. juga ditawan di Karbala sehingga kedukaan ini tidak akan pernah terlupakan.
Demikian pula diriwayatkan bahwa Imam Sajjad a.s. memandang Ubaidillah bin Abbas bin Ali dan meneteskan air mata sambil berkata, “Tiada hari yang lebih sulit dari hari di perang Uhud bagi Rasulullah ketika paman beliau Hamzah, singa Allah dan singa Rasulullah saw. syahid dan setelah itu tiada hari yang lebih sulit dari hari di perang Mu’tah ketika putra paman beliau Ja’far bin Abi Thalib syahid.”
Beliau melanjutkan, “Tiada hari seperti hari Imam Husain (hari Asyura), karena 30 ribu orang yang menganggap diri sebagai umat Nabi Muhammad saw. berkumpul dan mempersiapkan diri untuk membunuh putra Nabi saw. dengan niatan mendekatkan diri kepada Allah (qurbatan ilallah), sementara Imam Husain a.s. memberikan nasehat dan mengingatkan mereka, namun mereka tidak mendengarnya dan membunuh Imam Husain secara keji dan atas dasar permusuhan.[2]
Saat berbuka puasa di bulan suci Ramadhan, Imam Sajjad pun teringat hari Asyura dan berkata, “Oh Karbala, oh Karbala!” Beliau mengulang-ulang ucapan ini: “Putra Rasulullah terbunuh dalam keadaan mengenaskan! Putra Rasulullah terbunuh dalam keadaan kehausan!” Beliau menangis hingga baju beliau basah oleh air mata.[3]
5- Asyura menurut Imam Baqir a.s.
Kediktatoran (tirani) para penguasa Bani Umayyah sedemikian rupa sehingga Asyura pada masa Imam Baqir tidak diperingati secara terang-terangan, bahkan mereka terpaksa menyelenggarakan majlis duka dan peringatan Asyura dengan sembunyi-sembunyi dan dihadiri hanya oleh orang-orang tertentu saja. Imam Baqir a.s. selalu mengundang para penyair waktu itu, seperti Kumait bin Zaid Asadi (wafat 126 H) untuk membacakan syair-syair kedukaan dan musibah Ahlul Bait.
Malik Juhni berkata, “Imam Baqir a.s. berkenaan dengan Asyura berkata, “Selenggarakanlah majlis duka untuk Imam Husain pada hari Asyura, menangislah selalu atas musibahnya bersama-sama anggota keluarga, tampakkanlah kedukaan dan kesedihan untuknya dan ucapkanlah belasungkawa kepada sesama dengan ucapan: “Semoga Allah mengagungkan pahala kami atas duka kami untuk Al-Husain dan menjadikan kami dan kalian sebagai orang-orang yang menuntut balas darahnya bersama Imam Mahdi dari keluarga Muhammad sebagai wali darahnya.[4] Barangsiapa yang melakukan itu aku jamin untuknya pahala di sisi Allah sebanyak 2 ribu haji, umrah, dan jihad bersama Rasulullah saw dan para imam suci.”[5]
Dalam salah satu majlis duka yang dihadiri oleh Imam Baqir a.s., Kumait membacakan syair hingga sampai pada bait berikut:
Antara hiruk pikuk massa dan makanan
Dan korban pembunuhan di Thaff yang begitu saja telah ditinggalkan
Imam Baqir menangis dahsyat, lalu berkata, “Bila aku memiliki sesuatu yang lebih sebagai imbalan syair Kumait, niscaya kami akan berikan kepadanya, namun sebagai imbalanmu cukup doa yang pernah diberikan oleh Rasulullah saw kepada penyair terkenal Hassan bin Tsabit pada awal mula Islam, yaitu senantiasa memperoleh pertolongan dan perlindungan dari malaikat Ruhul Qudus karena pembelaan terhadap kami Ahlul Bait.”[6]
Dalam hadis lain dari beliau disebutkan, “Ayahku Imam Ali Zainal Abidin setiap kali memasuki bulan Muharram tidak pernah terlihat senda tawa beliau dan beliau senantiasa berada dalam kesedihan dan kedukaan yang mendalam hingga sampai pada hari Asyura sebagai puncak segala musibah, tangisan, kesedihan dan kedukaan beliau.”[7]
Imam berkata kepada Alqamah, “Sebisa mungkin engkau tidak keluar dari rumah untuk menunaikan kebutuhanmu pada hari itu (Asyura), karena hari itu adalah hari nahas dan keperluan manusia tidak akan terpenuhi. Bila sampai terpenuhi pun, tidak akan membawa kebaikan dan keberkahan. Di hari ini pun jangan sampai engkau menyimpan makanan karena bila engkau sampai menyimpannya tidak akan memiliki kebaikan dan keberkahan.”[8]
Syeikh Thusi berkata bahwa Imam Baqir a.s. telah menjelaskan kewajiban kita pada hari Asyura demikian: “Bagi orang yang berada jauh dari Karbala, untuk berziarah cukup dengan menghadap ke arah Karbala, mengucapkan salam dan shalawat, melaknat para pembunuh syuhada Karbala, kemudian shalat dua rakaat. Amalan ini hendaknya dikerjakan sebelum matahari tergelincir, lalu mengumpulkan seluruh anggota keluarga untuk menyelenggarakan majlis duka dan semuanya menangis untuk Imam Husain.”
====================================
[1] Manaqib Ibnu Syahr Asyub, jilid 4, halaman 180, Fashl Fi Kar’ihi Wa Habrihi Wa Bukaihi.
[2] Bihar Al-Anwar, jilid 44, halaman 298.
[3] Manaqib Ibnu Syahr Asyub, jilid 4, halaman 180.
[4] “اعظم اللّه اجورنا بمصابنا بالحسین(ع) و جعلنا و ایّاکم من الطّالبین بثاره مع ولیّه الامام المهدی من آل محمّد”.
[5] Kamil Az-Ziyarat, halaman 174, Bab ke-71, Tsawab Man Zara Al-Husain Fi Yaum Al-‘Asyura’; Mishbah Al-Mutahajjid, halaman 731.
[6] Mishbah Al-Mutahajjid, halaman 713.
[7] Ibid, 731.
[8] Bihar Al-Anwar, jilid 44, halaman 283.