Asyura dalam Ucapan Maksumin a.s. (Bag. Terakhir)
6- Asyura menurut Imam Shadiq a.s.
Berkenaan dengan pentingnya Asyura, kesedihan, kedukaan, dan tangisan pada hari itu, Imam Shadiq banyak menyinggungnya, seperti beberapa contoh berikut ini:
Abdullah bin Sinan berkata, “Pada hari Asyura aku menghadap Imam Shadiq a.s. yang aku saksikan dalam keadaan bersedih dan berduka hingga air mata beliau menetes seperti butiran mutiara. Aku bertanya, “Wahai putra Rasul! Semoga Allah tidak menjadikan mata Anda selalu menangis. Gerangan apa yang menyebabkan Anda menangis?”
Imam Shadiq menjawab, “Apakah engkau lalai akan pentingnya hari ini? Apakah engkau tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada hari seperti ini?”
“Tuanku! Apa yang Anda katakan terkait puasa pada hari ini?” tanyaku
Beliau menjawab, “Berpuasalah pada hari ini dengan tanpa niat, akan tetapi jangan dilanjutkan hingga akhir, artinya berbukalah dengan air satu jam sebelum maghrib, karena pada saat itu peperangan dan fitnah besar sedang menimpa keluarga Rasul…”
Rawi berkata, “Setelah menjelaskan hal tersebut, Imam Shadiq a.s. menangis dahsyat hingga janggut beliau basah.””[1]
Abdullah bin Fadl Hasyimi juga berkata, “Aku menghadap Imam Shadiq a.s. dan bertanya, “Wahai putra Rasul! Kenapa hari Asyura disebut sebagai hari kesedihan, kedukaan, dan tangisan? Mengapa pentingnya kedukaan untuk Imam Husain pada hari ini tidak dimiliki oleh hari wafatnya Nabi, syahadahnya Ali, Fatimah, dan Imam Hasan Mujtaba?”
Imam Shadiq a.s. menjawab, “Bahwa hari (syahadah) Imam Husain merupakan musibah terbesar dibandingkan seluruh hari lainnya.[2]
Wahai Abdullah! Ketahuilah bahwa Ahlul Kisa’ ada 5 orang. Ketika Nabi saw wafat, orang-orang menyampaikan belasungkawa kepada 4 orang sisanya. Ketika Fatimah syahid, belasungkawa disampaikan kepada Imam Ali, Hasan, dan Husain. Ketika Imam Ali syahid, belasungkawa diberikan kepada Hasan dan Husain. Setelah syahadah Imam Hasan, belasungkawa ditujukan kepada Imam Husain. Namun ketika Imam Husain menemui syahadah, seolah-olah seluruh Ahlul Kisa’ menemui syahadah bersama-sama pada saat itu, kerena Imam Husain adalah satu-satunya yang tersisa dari mereka. Oleh karena itu, keagungan kedukaannya lebih besar.”[3]
Zainab pun menyinggung hal ini pada hari Asyura, “Pada hari ini (dengan syahadah Imam Husain) datukku Rasulullah, ayahku Ali, ibuku Fatimah, dan saudaraku Hasan meninggal dunia.”[4]
Dari Zaid Syaham juga dinukil, “Aku bersama sekelompok orang dari penduduk Kufah menghadap Imam Shadiq a.s. Salah seorang penyair Arab bernama Ja’far bin ‘Ifal datang. Imam Shadiq menghormatinya dan mempersilahkan duduk di dekat beliau. Beliau berkata, “Wahai Ja’far! Aku mendengar engkau menggubah syair-syair tentang Husain.”
Ja’far menjawab, “Aku menjadi tebusan Anda! Benar, tuanku.”
“Bacakanlah syair-syairmu itu!” seru Imam Shadiq.
Ja’far pun membacakan bait-bait syair dan membuat Imam dan orang-orang yang hadir menangis hingga tetesan air mata mengalir di pipi dan janggut beliau. Kemudian beliau berkata, “Wahai Ja’far! Malaikat hadir di tempat ini dan mendengar suaramu. Sedemikian rupa kita menangis hingga mereka pun ikut menangis, bahkan melebihi tangisan kita. Dengan ini Allah swt mewajibkan surga bagimu dan mengampunimu.”[5]
7- Pentingnya Asyura menurut Imam Musa Al-Kadhim a.s.
Periode Imam Musa Al-Kadhim merupakan periode penuh tekanan dan pengawasan Bani Abbas. Oleh karena itu, hidup beliau lebih banyak habis di tahanan. Majlis-majlis duka tidak begitu banyak terlaksana. Meskipun demikian, Imam Kadhim menampakkan kesedihan dan kedukaan beliau saat tiba hari-hari Asyura dan menyebut hari itu sebagai hari berkabung.
Imam Ridha a.s. berkata, “Dengan datangnya bulan Muharram, ayahku Musa bin Ja’far tidak menampakkan wajah ceria karena kesedihan menyelimuti seluruh jiwa beliau.”[6]
“Hari itu adalah hari musibah, kesedihan dan tangisan beliau.”[7]
8- Pentingnya Asyura menurut Imam Ali Ar-Ridha a.s.
Imam Ridha a.s. berkata, “Barangsiapa yang pada hari Asyura tidak melakukan pekerjaan-pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhannya, Allah akan memenuhi kebutuhan dunia dan akhiratnya dan juga bila seseorang menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kedukaan, Allah swt akan menjadikan hari kiamat sebagai hari kebahagiaan dan kegembiraannya, matanya akan berbinar menemui kami di surga. Akan tetapi bila seseorang menjadikan hari Asyura sebagai hari penuh berkah, mata pencahariannya, dan menyimpan sesuatu di rumahnya, niscaya apa yang ia simpan tidak akan membawa berkah.”[8]
Di’bil Khaza’i, salah seorang penyair besar masa itu dan pencinta Ahlul Bait Nabi saw pada tahun 198 H menghadap Imam Ridha di kota Marw. Di’bil berkata, “Aku menghadap Ali bin Musa Ar-Ridha di kota Marw ketika sahabat-sahabat beliau sedang duduk berkeliling. Tampak jelas terlihat kesedihan dan kedukaan di wajah beliau. Saat aku masuk, beliau berkata, “Berbahagialah wahai Di’bil karena engkau telah menolong kami dengan tangan dan lidahmu!”
Lalu beliau menghormatiku secara khusus dan mempersilahkanku duduk di dekat beliau sambil berkata, “Aku ingin mendengar bait-bait syair darimu. Hari-hari ini adalah hari kesedihan dan kedukaan kami Ahlul Bait dan hari kegembiraan musuh kami, terutama Bani Umayyah.”
Lalu Imam Ridha a.s. membentangkan tirai penghalang supaya keluarga beliau dapat hadir dalam majlis duka kakek beliau Imam Husain. Beliau berkata kepadaku, “Wahai Di’bil! Lantunkanlah sajak sedih. Selama engkau masih hidup, engkau akan selalu menjadi penolong dan penyanjung Ahlul Bait Nabi saw.!”
Aku pun menangis hingga buliran air mataku mengalir di wajah dan aku lantunkan syair berikut ini:
افاطم لو خلت الحسین مجدلا و قد مات عطشاناً بشط الفرات
Wahai Fatimah! Bila engkau bayangkan Husain terjatuh
Dan sungguh dalam keadaan kehausan di tepi sungai Efrat Husein terbunuh
Imam Ridha a.s. menangis bersama keluarga dan putra-putri beliau.[9]
9- Takziah Imam Jawad, Imam Hadi, Imam Hasan Al-Askari, dan Imam Mahdi a.s. untuk Imam Husain a.s.
Majlis duka untuk Imam Husain a.s. pada masa Imam Jawad diselenggarakan secara terang-terangan di rumah-rumah para pengikut Ahlul Bait, namun setelah Mu’tasim Abbasi, yaitu masa para khalifahnya, melarang penyelenggaraan majlis takziah, bahkan melarang untuk menziarahi makam para imam dan syuhada Karbala.
Sementara Imam Hadi a.s. juga hidup dalam tekanan. Mutawakkil Abbas, penguasa waktu itu memiliki permusuhan spesial dengan para imam dan Alawiyyin. Ia bahkan melakukan hal-hal yang sangat buruk, yaitu menghancurkan makam Imam Husain dan melenyapkan jejak-jejaknya.[10]
Abul Faraj Isfahani berkata, “Mutawakkil sangat mempersulit keluarga Abu Thalib dan selalu mengintai perilaku dan perbuatan Alawiyyin. Ia memendam berbagai kedengkian di dada terhadap mereka. Oleh karena itu, ia melontarkan berbagai tuduhan keji terhadap mereka.
Perlakuan Mutawakkil sedemikian buruk, bahkan tidak pernah dilakukan oleh para khalifah sebelumnya. Makam Imam Husain dihancurkan dengan perintahnya sehingga tidak tersisa jejak-jejaknya. Sepanjang jalur makam dibangun pos-pos penjagaan sehingga siapa saja yang pergi berziarah ke makam Imam Husain segera ditangkap dan dihukum.[11]
Kondisi ini berlanjut hingga masa Imam Hasan Al-Askari a.s. Kaum Syiah dan Alawiyyin tidak pernah gentar dan takut. Sepanjang sejarah mereka selalu melakukan perlawanan dan perjuangan menghadapi para tirani Umawiyah dan Abbasiyah dengan berbagai bentuk; dengan perlawanan langsung, dengan menziarahi makam para imam, dengan melaknat para pembunuh mereka, atau dengan menyelenggarakan majlis takziah dan ratapan tangis untuk kemazluman mereka, khususnya para syuhada Karbala.
Tidak diragukan lagi bahwa Imam Mahdi melanjutkan sirah ayah dan datuk-datuk beliau untuk mengagungkan dan mensyiarkan Asyura. Beliau menangisi datuk beliau Imam Husain siang dan malam sebagaimana disebutkan dalam ziarah Nahiyah Muqaddasah:
“لاندبنك صباحاً و مساءً ولابکین علیك بدل الدموع دماً”
“Aku akan meratapimu pagi dan petang dan menangisimu dengan air mata darah.”[12]
Sumber: www.hawzah.net
============================
[1] Mishbah Syeikh Thusi, halaman 724.
[2] “انّ یوم الحسین (ع) اعظم مصیبةً من جمیع سایر الایّام”.
[3] Bihar Al-Anwar, jilid 44, halaman 269.
[4] “الیوم مات جدّی و ابی و امّی و اخی”.
[5] Ibid, jilid 44, halaman 284; Tarikh An-Niyahah ‘Ala Al-Husain a.s., halaman 160.
[6] “فاذا کان الیوم العاشر منه کان ذلك الیوم، یوم مصیبته و حزنه و بکائه”.
[7] Bihar Al-Anwar, jilid 44, halaman 283 – 284; Amali Syeikh Shaduq, Majlis ke-27.
[8] ‘Uyun Akhbar Ar-Ridha dengan menukil dari kitab Asynaey Ba Qeble-ye Haftom, Emam-e Hasytom (Mengenal Kiblat ke-7, Imam ke-8), halaman 69 dan kitab Asynaey Ba Hosein (Mengenal Imam Husain), halaman 220.
[9] Bihar Al-Anwar, jilid 45, halaman 257; Tarikh An-Niyahah ‘Ala Al-Husain, halaman 164.
[10] Kamil Ibnu Atsir, jilid 5, halaman 287; Zendegi-ye Tahlili-ye Pisyvayan-e Ma (Analisa Kehidupan Para Imam Kita), halaman 256.
[11] Maqatil Ath-Thalibin, Abul Faraj Isfahani, halaman 478.
[12] Bihar Al-Anwar, jilid 98, halaman 320.