Ayatullah Agung Abdulkarim Musawi Ardebili
Pagi tanggal 13 Bulan Rajab tahun 1344 Hijriah Qamariah (tanggal 8 Bulan Bahman tahun 1304 Hijriah Syamsiah), bertepatan dengan peringatan ulang tahun kelahiran Ali bin Abi Thalib a.s., Ayatullah Agung Sayid Abdulkarim Musawi Ardebili lahir di kota Ardabil di tengah keluarga ruhani yang miskin. Ayahnya seorang ruhaniawan bernama Sayid Abdurrahim, dan ibunya wanita salehah yang bernama Sayidah Khadijah. Dia anak yang kedelapan dan terakhir, dia juga merupakan satu-satunya anak lelaki di keluarga itu.
Status keluarga yang ruhani dan juga situasi politik kerajaan saat itu yang tunduk di hadapan Inggris telah mencekam kondisi masyarakat setempat, sehingga sangat jarang famili atau teman yang berani datang ke rumah mereka. Semua ini membuat perekonomian mereka jadi lebih terpuruk, bahkan seringkali mereka harus melewati siang dan malam dengan kelaparan.
Sejak usia enam tahun, Ayatullah Agung Musawi Ardebili sudah mulai belajar Alquran dan kitab-kitab penting lainnya. Pada tahun 1318 HS, dia mempelajari Bahasa Arab dan kemudian pada tahun 1319 HS, dia melanjutkan pendidikan agama di Hauzah Ilmiah Mulla Ibrahim. Dia menuntut ilmu agama di sana pada saat kebanyakan orang sama sekali tidak berminat untuk itu, bahkan pelajar Hauzah Ilmiah Mulla Ibrahim tidak lebih dari empat orang. Dia berhasil menempuh kurikulum Hauzah tersebut sampai tahun 1322 HS.
Setelah itu, tepatnya pada Bulan Ramadan, dia berhijrah ke Kota Qom untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hanya tiga tahun sekian bulan dia tinggal di kota suci itu, tapi banyak sekali buku-buku induk dan mata pelajaran yang sudah dikuasainya, antara lain al-Lum‘ah al-Dimisyqiyyah, Rasâ’il, al-Makâsib, Kifâyah al-Ushul, kuliah usul fikih tingkat tinggi, tafsir Alquran dan filsafat. Bahkan dia juga mulai beraktifitas sebagai guru.
Di sana dia belajar dari guru-guru besar seperti Ayatullah Agung Sayid Muhammad Reza Gulpaigani, Ayatullah Agung Sayid Ahmad Khansari, Ayatullah Syekh Murtadha Ha’iri, Ayatullah Sultani, Ayatullah Mirza Mahdi Mazandarani, dan Ayatullah Sayid Muhammad Husain Thaba’thaba’i.
Di tahun terakhir, situasi kota Qom agak kacau balau karena imbas situasi politik Iran, pada umumnya, yang sedang diserbu oleh kekuatan-kekuatan asing. Bersamaan dengan itu, pasukan Rusia menyerbu Azarbaijan, sehingga pelajar-pelajar asal Azarbaijan tidak lagi menerima kiriman uang, sandang atau pangan dari pihak keluarga mereka.
Beda kondisinya dengan Hauzah Ilmiah di Najaf. Saat itu lingkungannya sangat mendukung untuk aktifitas belajar dan mengajar. Itulah sebabnya Ayatullah Agung Musawi Ardebili yang betul-betul haus ilmu dan sedang mencari lingkungan pendidikan yang kondusif memandang kota suci Najaf paling tepat untuk dituju.
Akhirnya, dia berangkat dari kota suci Qom pada 16 Aban 1324 HS/ 1 Dzulhijjah 1364 H menuju kota Najaf di Irak. Menurutnya, itulah saat-saat terindah dia dalam pengalaman intelektulnya; lingkungan yang aman, tenteram dan mendukung sekali bagi setiap pelajar, sehingga mereka tidak lagi berkesibukan selain belajar, mengajar dan melakukan penelitian. Maka dari itu dia sangat menghargai kesempatan dan peluang emas itu dengan cara menggunakannya secara maksimal untuk menyerap ilmu dari guru-guru besar Hauzah Ilmiah Najaf saat itu dan juga melakukan penelitian mendalam seputar persoalan-persoalan ilmiah yang populer.
Guru-guru besar dia di sana antara lain adalah Ayatullah Agung Khu’i, Ayatullah Agung Hakim, Ayatullah Agung Abdulhadi Syirazi, Ayatullah Agung Milani, Ayatullah Agung Muhammad Kadzim Syirazi, Ayatullah Agung Muhammad Kazim Al Yasin, dan guru besar Sadra Badkubi.
Meskipun masa tinggal Ayatullah Agung Musawi Ardebili di Najaf Asyraf terbilang singkat dan tidak lebih dari tiga tahun, akan tetapi karena guru-guru Hauzah Ilmiah Najaf pada masa itu terhitung tokoh-tokoh terkemuka fikih, usul fikih, dan filsafat di abad-abad belakangan sejarah Syiah, otomatis masa pendidikan yang singkat itu sangat membuahkan hasil yang berharga, kepiawaian dan ketelitian mereka dalam mengajarkan ilmu-ilmu itu berpengaruh sekali dalam membangun kepribadian Ayatullah Agung Musawi Ardebili. Bahkan, Ayatullah Agung Khu’i sampai menyayangkan kepulangan tiga pelajar Qom dari Najaf yang salah satunya adalah Ayatullah Agung Ardebili.
Sebab kepulangan dia ke Iran adalah kerusuhan yang mulai terjadi di sepenjuru Irak, masyarakat berontak menentang pemerintah yang tiada lain merupakan anak buah kerajaan Inggris. Pemberontakan yang memanas bahkan telah menyebabkan pertumpahan darah di berbagai kota, termasuk Najaf itu pada akhirnya berhasil menggulingkan Saleh Jabir dari kekuasaan dan dibentuklah pemerintahan baru oleh Sayid Muhammad Sadr. Di tengah situasi yang genting itu, sampailah surat dari tanah air kepada Ayatullah Agung Ardebili yang memberitakan keadaan ayahnya yang sedang sakit. Maka, meskipun dia masih ingin sekali melanjutkan kegiatannya di Najaf, terpaksa dia meninggalkan kota suci itu dan pulang ke tanah air.
Ketika itu tahun 1327 HS sengaja dia tinggalkan barang-barang pribadinya di kota Najaf, karena memang dia bermaksud pulang sebentar untuk menjenguk orangtuanya. Tapi ternyata takdir berbicara lain, ketika dia mendapat berita bahwa ayahnya telah sembuh dari penyakitnya, maka dia ingin sekali mengetahui perkembangan Hauzah Ilmiah Qom. Berbulan-bulan dia tinggal di sana dan keasyikan dengan kuliah rutin fikih tingkat tinggi yang disampaikan oleh Ayatullah Agung Burujerdi, kuliah usul fikih Ayatullah Damad, dan kuliah filsafat Allamah Thaba’thaba’i.
Baru setelah itu dia pulang ke kota Ardabil dan menemui orangtuanya. Ayah menyampaikan keinginannya untuk menghabiskan sisa umurnya di kota suci Najaf atau Qom, namun karena tidak ada bekal yang memadai untuk pergi sekeluarga ke Najaf, maka sama-sama mereka pergi ke Qom, mereka tinggal di rumah kecil yang sangat sederhana. Selang berapa waktu saja ayahnya sudah tidak tahan dengan kehidupan yang serba sulit di sana, itulah sebabnya kemudian dia kembali ke Ardabil dan meninggal dunia pada tahun 1330 HS.
Sejak tahun 1327 HS, seluruh kegiatan ilmu, tablig, budaya, sosial dan politik Ayatullah Agung Musawi Ardebili terpusat di kota Qom. Sampai kemudian pada tahun 1338 HS, dia sakit berat dan para dokter menyarankan agar dia pindah tempat tinggal serta mengurangi kesibukan. Dengan berat hati dia meninggalkan Qom dan bermaksud menjalani liburan musim panas tahun 1339 Hs. di Ardabil. Dia menyelenggarakan majlis-majlis ilmu dan nasihat di Masjid Mir Saleh, di samping memperbarui bangunan masjid itu dia juga memperbaiki bangunan Madrasah Mulla Ibrahim yang bersebelahan dengan masjid tersebut.
Tak terasa musim panas telah berlalu, dia ingin sekali kembali ke kota suci Qom, tapi baik ulama maupun masyarakat setempat mendesak dia agar tetap tinggal di sana minimal sampai akhir tahun ini, dan ternyata berbagai proyek yang telah dimulainya menyebabkan rencana tinggal sebentar itu berlarut-larut sampai tahun 1347 HS.
Selain kegiatan ilmiah dan budaya, dia juga melakukan pembangunan ekonomi rakyat di sana. Terinspirasi oleh rekan lamanya, Imam Musa Sadr yang mendirikan sebuah lembaga di Lebanon dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan membela kaum tertindas, Ayatullah Agung Musawi Ardebili menciptakan berbagai peluang kerja di Ardabil dengan tujuan yang serupa. Tak lama setelah yayasan bakti sosial yang didirikannya berkembang pesat, rezim dinasti Pahlevi merasa terancam dan segera mereka menutupnya serta menahan Ayatullah Agung Ardebili di rumah tinggalnya, bahkan mereka mengancam siapa saja yang masih berusaha untuk membantu yayasan itu akan dipenjara dan disiksa.
Gerakan politik Ayatullah Agung Musawi Ardebili bukan hal yang asing lagi, melainkan bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari kegiatan dia, bahkan percakapan, pidato dan tablig dia terwarnai dengan gagasan-gagasan politiknya, antara lain pidato berapi-api dia yang rutin selama tujuh tahun di kota Urumiah. Itulah kenapa dia sering menjadi sasaran ciduk-siksa aparat pemerintahan Pahlevi yang mencurigai semua gerak-gerik dia bahkan murid-murid madrasah yang dikelolanya.
Contoh konkrit lain perjuangan dia melawan pemerintahan Pahlevi terkait dengan perang Uni Arab dan Israel yang berlangsung sekitar enam hari. Di saat semua media massa menyerukan dukungan terhadap Israel dan kecaman terhadap negara-negara Arab, Ayatullah Agung Musawi Ardebili secara tegas dan berani menyampaikan sikap dukungannya terhadap muslimin serta negara-negara Arab, akibatnya dia diciduk oleh aparat dan hendak diasingkan ke kota Tabriz. Melihat kebrutalan aparat tersebut, para ulama dan imam jamaah kota Ardabil serempak berunjuk rasa dan menuntut agar jangan sampai dia diasingkan. Pemerintah pun takut dan mengurungkan niatnya mengasingkan dia ke Tabriz.
Lambat laun, pengawasan terhadap rumah tangga Ayatullah Agunhg Musawi Ardebili dan sekelilingnya diperketat oleh aparat keamanan pemerintah Pahlevi, bahkan sampai-sampai dia kehilangan ketenangan dan keamanan di dalam rumahnya sendiri. Akhinya dia berkonsultasi pada Imam Khomaini ra. akan keterpaksaannya meninggalkan kota Ardabil. Secara umum, Imam tidak setuju dengan kepergian para tokoh agama meninggalkan kota tinggal mereka, tapi mengingat kondisi lingkungan Ayatullah Agung Ardebili yang betul-betul mendesak, maka imam menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada dia yang tentu lebih mengetahui situasi dan kondisi di sana.
Tidak mudah pergi begitu saja, Ayatullah Agung Musawi Ardebili harus mengalihkan perhatian mereka terlebih dulu untuk membuka peluang pergi meninggalkan kota itu. Ketepatan sekali gempa melanda kawasan Masyhad, pihak pemerintah pura-pura peduli terhadap korban gempa demi menarik simpati rakyat, tapi rakyat bisa membedakannya dengan bantuan tulus para sukarelawan dan khususnya dari kalangan ruhani atau ulama. Kejadian itu menjadi momentum yang tepat bagi Ayatullah Agung Ardebili untuk keluar dari kota Ardabil dengan dua maksud menyampaikan bantuan masyarakat yang dia kumpulkan di masjid kepada korban gempa dan menghindari penjagaan ketat aparat keamanan.
Setelah menuntaskan bakti sosialnya terhadap korban gempa Masyhad, dia pergi menuju Ibukota Tehran dan sampai di sana tepatnya pada tahun 1347 HS. Selang berapa hari saja dia berhasil mendirikan shalat jamaah di Masjid Amirul Mukminin as. yang berlokasi di Jalan Nusrat. Tidak lama kemudian dia mempersiapkan rumah di sekitar sana dan menempatkan keluarganya di sana.
Selain rutinitas mengimami shalat jamaah dan berpidato di masjid, dia juga membuka kuliah tingkat tinggi fikih bab khumus dan filsafat kitab asfar. Setelah berapa waktu, dia dan rekan-rekannya yang lain seperti Syahid Behesyti, Syahid Mutahari, dan Syahid Mufattih memulai kajian Ulumul Qur’an secara mendalam. Aktifitas itu menjadi motivasi pembangunan perpustakaan spesialis di bidang ilmu-ilmu Alquran.
Ayatullah Agung Musawi Ardebili merasa semua itu tidak cukup, apalagi dengan merebaknya pemikiran ateis dan pandangan dunia materialis di tengah masyarakat. Untuk mengimbanginya, dia membangun Masjid dan Yayasan Tauhid di jalan Parcam dengan program kelas-kelas yang menerangkan ajaran agama, ideologi, dan budaya yang diisi oleh berbagai guru besar dan tokoh pemikir religius. Kegiatan-kegiatan yang dimulainya itu kemudian diasuh oleh yayasan pusat yang bernama Yayasan Khairiah Maktab Amirul Mukminin as. dan berlangsung sampai tahun 1357 Hs.
Situasi dan kondisi yang muncul pada tahun-tahun pertama Revolusi Islam, tepatnya dari tahun 1357 HS sampai dengan tahun 1368 HS membuat dia harus membagi waktunya menjadi dua bagian besar, yang pertama untuk kegiatan-kegiatan ilmu dan budaya, sedangkan yang kedua untuk aktifitas politik dan pemerintah.
Ternyata, aktifitas politik dan pemerintah Ayatullah Agung Musawi Ardebili telah mewarnai kegiatan ilmu dan budayanya. Kesibukan baru dia pada awal kemenangan Revolusi Islam adalah menyusun buku undang-undang hukum pidana, perdata, dan acara dengan standar syariat atau hukum Islam. Mengingat bahwa hukum yang berlaku pra-Revolusi adalah turunan dari hukum Barat, maka penyusunan undang-undang berdasarkan hukum Islam merupakan pekerjaan yang berat sekali dan menyedot banyak waktu dan tenaga. Untuk itu dibentuklah komisi yang terdiri dari para mujtahid dan ahli hukum yang dibantu juga oleh para tokoh pemikir, sehingga lahirlah undang-undang baru yang disusun berdasarkan hukum Islam. Sudah barang tentu hasil tersebut bukan maksimal dan masih perlu penyempurnaan, apalagi ketika muncul persoalan-persoalan baru di pengadilan yang belum pernah terduga oleh undang-undang tersusun itu. Memang benar, berdasarkan pasal 167 UUD, dalam kondisi seperti itu hakim berkewajiban untuk memutuskan hukum berdasarkan sumber-sumber otentik Islam dan fatwa-fatwa yang berlaku, tapi tidak semua hakim mampu melaksakan kewajiban itu, khususnya tentang persoalan baru yang hukumnya belum pernah dijelaskan oleh buku-buku fikih yang ada. Dalam situasi seperti ini, salah satu kegiatan Ayatullah Agung Musawi Ardebili adalah membimbing dan menyimpulkan hukum Islam tentang masalah baru yang muncul di pengadilan.
Problem lain yang muncul di dewan pengadilan adalah penggantian para jaksa yang pensiun atau tersaring dengan jaksa-jaksa baru yang relatif belum akrab dengan administrasi. Selain itu, salah satu syarat menjadi hakim dalam pemerintahan Islam adalah mencapai tingkatan ijtihad di bidang fikih dan ushul fikih, maka mau tidak mau sebagian pelajar agama Hauzah Ilmiah ditugaskan di kursi pengadilan, tapi sehubungan mereka pada umumnya lebih banyak menggeluti pasal ibadah seperti bab shalat, puasa, dan haji, sementara mereka jarang menggeluti pasal pengadilan seperti bab qadha, hudud, diyah dan qisas, maka tidak sedikit dari mereka yang belum memenuhi syarat untuk itu. Apalagi masalah-masalah yang dipaparkan oleh buku-buku terdahulu tentang hukum Islam tidak relevan lagi untuk kondisi masyarakat sekarang. Semua ini memperbesar problem yang dihadapi oleh dewan pengadilan, dan untuk mengatasinya Ayatullah Agung Musawi Ardebili memulai paket kuliah tingkat tinggi tentang hukum dan pengadilan Islam yang melibatkan persoalan-persoalan kontemporer. Bahkan dia juga membuka kajian intensif tentang persoalan-persoalan penting ekonomi Islam, seperti perbankan, uang, transaksi yang sering berlaku di negara, dan lain sebagainya.
Setelah Imam Khomaini ra. wafat, tepatnya pada tahun 1368 HS, dia meninggalkan Ibukota Teheran dan pindah ke Kota Qom. Di sana dia memulai kuliah tingkat tinggi ushul fikih dan fikih pasal hukum Islam perdata dan pidana, sistem perekonomian dan transaksi menurut Islam yang secara berkala telah menghasilkan buku-buku berharga di bidang itu. Dia juga telah mendirikan Universitas Mufid untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang dihadapi Hauzah Ilmiah Qom dan mengajarkan pandangan Islam tentang hal-hal modern, jurusan yang sementara ini telah berjalan adalah hukum, ekonomi, filsafat, politik, dan ulumul Quran.
Itulah sekilas tentang kegiatan dan riwayat hidup Ayatullah Agung Sayid Abdulkarim Musawi Ardebili, semoga Allah SWT memanjangkan umur berkah beliau dan senantiasa melindunginya dalam keadaan sehat walafiat. (AFH)