Berpacaran, Gaya Hidup yang Buruk
Secara kultural, anak-anak Indonesia sudah mengenal istilah “cinta” kepada lawan jenis sejak usia remaja. Itu adalah usia transisi di mana mereka sudah tidak pantas disebut anak-anak, dan juga belum layak disebut sebagai orang dewasa.
Rasa deg-degan, bahagia yang meluap-luap, dan tak logis terhadap lawan jenis mereka namai dengan “cinta”, sebuah emosi sesaat yang akan pudar pada masanya. Itulah yang sering disebut-sebut sebagai “cinta”. Padahal, sebenarnya hanyalah letupan emosi sesaat.
Repotnya, emosi yang muncul itu tidak disertai dengan kesiapan dari segi umur, psikologis, dan konsekuensi berkomitmen. Menjadi lebih mengerikan lagi kalau kemunculan emosi ini merasuk ke dalam kehidupan anak-anak pada di usia TK[1]. Hal ini harus menjadi bahan perhatian para orang, terutama ketika hal ini dinilai sebagai sebuah kewajaran.
Kadang, disadari atau tidak, orang tua sendiri malah mendorong anak-anak mereka untuk belajar lebih dini tentang pacaran. Pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan sederhana dengan maksud menggoda atau sekedar gurauan. “Dek, itu cewek cakep, ya?”, “Cowok kamu siapa di sekolah?”, “Kok belum punya pacar, sih?”. Itu adalah beberapa contoh lontaran pertanyaan dari orang tua yang bisa jadi akan ditangkap oleh anak-anak remaja sebagai dorongan untuk berpacaran.
Cukup banyak orang yang berpacaran, dan dilanjutkan hingga jenjang pernikahan. Tapi, tak sedikit pula orang yang menikah tidak dengan pacarnya, melainkan dengan teman si pacar, saudara si pacar, atau orang lain yang tidak ada hubungannya dengan si pacar.
Berlanjut atau tidaknya hingga ke jenjang pernikahan, tetap saja berpacaran itu memiliki pengaruh negatif yang cukup banyak. Ada banyak kasus di mana pasangan itu berpacaran selama bertahun-tahun, setelah menikah ternyata hanya bertahan dua atau tiga bulan. Ini biasanya terjadi karena kebosanan, atau karena setelah menikah dan hidup serumah, watak asli dan keburukan sifat pasangan menjadi terlihat semuanya.
Jika hubungan berpacaran itu berhenti di pertengahan jalan (dan akhirnya ia menikah dengan orang lain), bayang-bayang mantan akan memengaruhinya sepanjang kehidupan rumah tangga. Membandingkan pasangan dengan mantan adalah hal yang kerap terjadi. Tentu hal ini akan menyakiti suami/istri. Tak pelak, api kecemburuan terhadap mantan pun tak jarang menyulut dan membakar keharmonisan rumah tangga. Akibat yang lebih buruknya adalah terjadinya perceraian.[2]
Menurut psikolog Sri Juwita Kusumawardhani, melupakan mantan bukanlah persoalan yang mudah. Interaksi yang sangat intens selama masa pacaran pastilah menciptakan banyak memori. Banyak hal yang mengingatkan kita akan dirinya. Kebersamaan dengan mantan sudah menjadi habit atau kebiasaan di dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja, mengubah sebuah kebiasaan adalah hal yang sulit.
Hal lain yang menjadikan seseorang sulit melupakan mantan ialah terlalu banyaknya ‘investasi’ yang ditanam saat menjalin hubungan tersebut, mulai dari waktu, energi, emosi, uang, dan lain-lain. Semakin banyak investasi yang diberikan, semakin sulit ia melupakan mantan.[3]
Banyaknya kenangan berdua dengan mantan akan melekat dalam jangka sangat panjang dalam benak seseorang. Membuang atau membakar foto, video, hadiah, dan semua yang diberikan mantan sama sekali bukan solusi.
Berpacaran adalah kegiatan yang dilakukan secara suka rela serta berlangsung berulang-ulang dan bahkan menjadi rutinitas sehari-hari. Dari bangun tidur, ketika berada di sekolah, atau di tempat kerja, relasi dengan pacar terus dijalin. Teknologi telah membuat ruang dan waktu menjadi tak berarti. Semua model hubungan bisa dilakukan di manapun. Anda bisa chating, melakukan percakapan, berkirim foto, bahkan melakukan video call. Semua aktivitas ini biasanya menciptakan kesenangan dan kepuasan.
Sayangnya, aktivitas berpacaran itu tidak dilindungi dengan norma dan hukum apapun. Dua anak remaja bisa berpacaran tanpa syarat hukum apapun. Syaratnya hanya suka sama suka. Tidak ada akad dan syarat. Demikian juga kalau mau putus. Jika ada masalah ketidakcocokan atau pengkhianatan, keduanya atau salah satunya, bisa langsung menyatakan selesai. Tak akan ada kewajiban mengucapkan kata talak/putus. Tak ada kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala hal yang pernah terjadi selama masa berpacaran.
Di sinilah masalah muncul. Berpacaran sangat rentan dengan ancaman putus. Di sisi lain, berpacaran juga telah menciptakan memori yang indah. Ketika ternyata harus putus, tentu sangat tidak mudah untuk move on. Kesenangan yang sebelumnya sudah didapatkan, dengan sangat cepatnya berganti dengan kemarahan, kesedihan, dan kebencian. Dalam kasus-kasus tertentu, emosi negatif yang muncul pasca putus dengan pacar efeknya bukan hanya menciptakan kebencian kepada sosok mantan, melainkan malah menciptakan kebencian kepada lawan jenis. Muncul ungkapan “semua lelaki itu sama!” atau, “semua perempuan sama”. Akibatnya, mereka membenci lawan jenis, dan akhirnya cenderung ke sesama jenis.
Dalam kasus lain, sedemikian buruknya emosi negatif yang muncul dari peristiwa putus dengan pacar membuat seseorang bisa membenci kehidupan. Akibatnya, ia mengambil keputusan untuk bunuh diri.
Pendeknya, berpacaran adalah pilihan yang buruk bagi seorang remaja. Allah SWT berfirman:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنى إِنَّهُ كانَ فاحِشَةً وَ ساءَ سَبيلاً
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan (pilihan) hidup yang buruk. [4]
Di sini, zina (serta perilaku mendekati zina) disebut sebagai perbuatan keji serta sebuah jalan, pilihan, dan gaya hidup yang buruk.
Larangan Allah SWT agar manusia tidak mendekati zina termasuk berpacaran, tentu bukan tanpa alasan. Ada banyak hikmah mendalam darinya, untuk kebaikan manusia itu sendiri. Maka dari itu, jauhkanlah anak-anak remaja dari gaya hidup berpacaran tersebut.
[Asri]
[1] http://www.ayahbunda.co.id/balita-psikologi/balita-sudah-kenal-pacaran-
[2] http://bangka.tribunnews.com/2017/04/17/suami-nggak-nyangka-istrinya-minta-cerai-usai-reunian-ternyata-selingkuh-dengan-mantan, https://metro.tempo.co/read/1159805/5-ribu-pasutri-bercerai-setiap-tahun-di-jaksel-alasannya
[3] https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4363370/kata-psikolog-soal-sulitnya-melupakan-mantand
[4] QS Al-Isra: 32