Cara Sufi Memaksimalkan Bulan Rajab (1): Mukjizat Manajemen Waktu
Arif Zamani—Kalau bulan April, bagi sebagian orang, disambut sebagai bulan romantis hanya karena satu hari, bulan Rajab adalah bulan keintiman romantis dengan Yang Maha Penguasa masa karena sepanjang bulan. Tidak berlebihan bila bulan Rajab adalah bulan cinta; bulan persiapan pecinta sebelum bertemu bulan Sya’ban, bulan Baginda Nabi SAW, sebelum kemudian memasuki bulan umat Islam, bulan suci Ramadhan.
Dalam tradisi intelektual Islam, cinta lebih asosiatif dengan sufi dan tasawuf. Kesan ini saja sudah cukup untuk menonjolkan kedudukan luhur bulan Rajab di kalangan sufi. Maka, salah satu cara menelusuri seluk beluk cinta ialah menyimak pengalaman dan pengamalan cinta sufi di bulan Rajab.
Satu nama yang populer dan terhormat di kalangan sufi ialah Syekh Abdulqadir al-Jailani. Dalam Kitab al-Ghun-yah, ia mencatat sebuah riwayat yang menggambarkan pengalaman guru pertama dan utama seluruh sufi, Imam Ali bin Abi Thalib a.s., dalam menumpahkan cintanya kepada Tuhan sepanjang ibadah kepada-Nya, terutama pada empat malam ini dalam setahun. Apa saja empat malam itu? Berikut ini redaksinya:
“Dahulu, Ali ra. senantiasa mencurahkan dirinya hanya untuk beribadah di empat malam dalam satu tahun, yaitu malam pertama bulan Rajab, malam Idul Fitri, malam Idul Adha, dan malam Nishfu Sya’ban.”
Ada apa dengan empat malam itu? Tentu ada rahasia luar biasa yang menyita konsentrasi penuh sahabat terbaik Nabi SAW itu pada, di antaranya, malam pertama bulan Rajab.
Sudah lazim dikenal dalam tradisi sufi, tasawuf dibagi kepada tasawuf teoretis dan tasawuf praktis. Bukan hanya tasawuf teoritis, tasawuf praktis juga tidak kalah pentingnya, kalau tidak dikatakan justru lebih penting. Perbandingannya seperti orang yang mempelajari ilmu kedokteran dengan seorang dokter yang telah membuka praktik dan menangani orang sakit. Seperti dokter kedua inilah nilai-penting tasawuf praktis. Untuk itu, seorang sufi dan peminat tasawuf memerlukan riyadhah (bina jiwa) dan khalwat (menyendiri untuk tafakur dan ibadah).
Waktu dari sisi matematis, terutama dari sisi jumlah, durasi dan ukurannya, tentu tidak berbeda, tetapi dari sisi pengaruhnya terhadap jiwa manusia pasti berbeda. Jiwa manusia dari sisi kesiapan, kelembutan dan kekerasan memiliki keadaan beragam. Jadi, kualitas jiwa berubah-ubah, seperti juga waktu pun secara kualitatif tidaklah sama.
Orang yang larut hingga terbiasa nyaman dalam dosa yang berkepanjangan misalnya: 20 atau 40 tahun, harus berlari cepat untuk mengejar dan mengganti ketertinggalan serta keterpurukannya dalam di bawah multilapisan beban maksiat dengan, di antaranya, memaksimalkan kualitas waktu seperi: Lailatul Qadar di bulan suci Ramadhan.
Maksimalisasi itu dikenal juga dengan istilah pemanfaatan rahim zaman, rahim tempat dan rahim guru atau syekh atau imam. Keunikan rahim adalah menerima makhluk yang kurang alias tidak sempurna, lalu menghidupkan pelbagai potensinya kemudian, dalam waktu singkat, ia lahir kedua kalinya (wiladah tsaniyah) untuk memasuki hingga melewati tahapan-tahapan kehidupan berikutnya.
Itulah kehebatan rahim, kehebatan mukjizatnya yang tak tergantikan. Seandainya ada kekurangan dan cacat pada makhluk itu misalnya: kekurangan satu jari saja di tangannya, dunia tidak akan mampu memperbaiki dan menggantikannya.
Relasi antara dunia dan akhirat tak ubahnya dengan hubungan antara rahim ibu dan dunia ini. Kini, kita hidup di dunia yang merupakan rahim kedua kita dan kita harus mempersiapkan diri kita untuk menyambut rahim ketiga yang lebih luas, lebih besar dan lebih indah dari rahim yang sekarang. Namun rahim inipun tidak seberapa bernilai bila dibandingkan dengan rahim berikutnya, yakni alam akhirat, yang jauh lebih luas dan lebih indah; di dalamnya tidak ada kesedihan dan penderitaan apa pun, sama sekali.
Di rahim ibu, janin perlu waktu sembilan bulan kesiapan dan persiapan sebelum hadir dan berada di dunia. Manusia dewasapun memerlukan kesiapan dan bekal yang cukup sebelum memasuki alam keabadian yang, tentu saja, jauh lebih sempurna dan begitu menyenangkan dibandingkan kehidupan duniawi ini.
Durasi lima menit saja dari waktu dunia yang Allah SWT anugerahkan kepada kita bisa saja bernilai ribuan waktu akhirat. Salah satu rahim waktu yang memiliki kelebihan luar biasa dalam percepatan dan kualitas adalah bulan Rajab. Orang yang salah jalan hingga tersesat hidupnya selama 40 tahun bisa meluruskan ketersesatan dan memperbaiki kesalahan dirinya dengan menempuh perjalanan singkat di bulan ini, bulan Rajab.
Jadi, para penikmat dan pelanggan dosa tidak perlu khawatir apalagi putus asa akan dosa yang telah dilakukannya puluhan tahun, karena bulan Rajab ini menawarkan keajaiban dan keutamaan yang luar biasa hingga mampu menghapus pelbagai dosa dan catatan buruk dari lembaran hidupnya.
Jiwa manusia di bulan ini lebih memiliki kesiapan untuk menginsafi kebenaran, menerima perubahan dan membangun gairah. Di bulan ini pula manusia berada dalam curahan hujan rahmat Allah SWT. Dan anugerah terbesar-Nya di bulan ini adalah maghfirah, ampunan Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Yang paling berarti bagi pecinta adalah kekasih membukakan pintu untuknya. Karena itu, Nabi SAW mendefinisikan bulan ini sebagai bulan memohon ampunan (istighfar) umatnya. Sementara itu, Allah al-Habib (Mahacinta) memanggil-manggil hamba-Nya melalui para malaikat di langit ketujuh, “aina rajabiyyun?” (mana manusia-manusia bulan Rajab?, yakni orang-orang yang menghidupkan malam-malam bulan Rajab dengan ibadah).”
Allah SWT berseru, “Kemarilah! Aku ingin memelukmu dan Aku mengumbar senyum-Ku untukmu, betapapun banyaknya dosamu, asal engkau berjanji pada-Ku di bulan Rajab ini, “Tuhanku! Aku siap tinggalkan dosa mulai sekarang!”
Yang perlu diperhatikan oleh salik (pejalan ruhani) adalah, di waktu duniawi ini, ia harus mempersiapkan dirinya untuk masa depan yang abadi. Memang, manusia bukan makhluk azali (qadim), tetapi ia adalah ciptaan Tuhan yang abadi. Semenjak mengada, manusia akan senantiasa ada, tidak mengalami ketiadaan, karena Yang Maha-Ada menghendaki dirinya senantiasa mengada.
Salah satu pola manajemen waktu duniawi untuk ibadah terbaik di bulan Rajab adalah dekat dengan Alquran. Nabi SAW begitu akrab dengan Alquran di bulan ini. Demikian pula kita sebaiknya membaca Alquran dengan pemahaman di bulan mulia ini.
Di malam menjelang tidur, misalnya, kita bisa membaca enam surat yang diawali dengan tasbih (sabbaha, yusabbihu dan sabbih): surat al-Hadid, surat al-Hasyar, surat al-Shaff, surat al-Jumu’ah, surat al-Taghabun dan surat al-A’la. Perlu dicatat bahwa 6 surat ini agar dibaca dengan tadabur, pemahaman serta penghormatan atas Alquran.
Disadur dari: Syekh Abdul Qadir bin Shalih al-Jilani, al-Ghun-yah, Dārul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1997, juz 1, halaman 328-32