Dialog antara Filsafat dan Peradaban
Filsafat lahir tidak terjadi pada ruang kosong. Ia tumbuh subur dalam lingkungan dan kondisi tertentu. Lahirnya pemikiran terbentuk karena berbagai peristiwa dan kejadian yang menyertainya. Tuntutan orang untuk memecahkan permasalahan hidup lambat laun dituangkan lewat pemikiran yang sistematis dan praktis. Namun sayangnya Filsafat kini hanya hadir pada ruang-ruang publik yang terpisah dari masalah sosial yang tidak memberikan solusi bagi kehidupan real suatu masyarakat.
Permasalahan filsafat yang terjadi dan yang perlu mendapat solusi segera adalah tentang pandangan dunia (world view) yang sangat menggejala di lingkungan akademisi dan perguruan tinggi pada umumnya. Pandangan dunia tersebut adalah spesifikasi ilmu yang sangat tajam yang menyebabkan kebenaran ilmu terdikotomi sedemikian rupa. Sehingga menimbulkan kesenjangan dan ketidak efisienan dalam membangun tatanan hidup yang lebih manusiawi.
Terjadinya hal tersebut diduga oleh hegemoni pandangan dunia Descartes, Bacon dan kawan-kawan yang menjadi inspirasi perkembangan dan kemajuan industri dan teknologi di Barat pasca renesaince dan pasca revolusi industri di Inggris dan Perancis. Descartes dan kawan-kawan mengatakan bahwa dunia ini ibarat jam yang diatur secara mekanis dan tidak memiliki tujuan serta terdiri dari bagian-bagian yang terpisah satu sama lain. Pandangan ini memiliki akar dari filsafat sebelumnya yaitu Plato.
Lahirnya teori Plato tentang terpisahnya antara idea dengan materi yang kemudian dikritik oleh muridnya Aristoteles dengan teorinya hylemorphism yang mengatakan bahwa segala sesuatu terdiri dari materi dan forma. Forma diartikan sebagai jiwa yang imanen dalam materi dan tidak terpisah. Pandangan yang bersifat dualisme ini telah menimbulkan terjadinya spesifikasi ilmu sedemikian rupa. Ilmu pengetahuan yang telah terspesifikasi sedemikian rupa hanya berhubungan dengan induk ilmunya dan tidak berhubungan dengan ilmu lain.
Dalam dunia akademik penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitaif merupakan asal dari pandangan teori dualisme ini. Subyek dan obyek terpisah sedemikian rupa. Bagi mereka segala sesuatunya harus dapat dikuantifisir dan diukur secara matematis. Fragmentasi antara satu obyek dengan obyek lain menyebabkan gagal fahamnya manusia tentang dirinya.
Manusia sebagai mahluk multi dimensi tidak hanya dapat didekati dengan satu cabang ilmu saja. Ia adalah mahluk universal. Perguruan tinggi yang biasa kita sebut sebagai universitas memiliki makna untuk mencetak manusia universal, yang berpandangan holistik dan komprehensif. Filasafat Islam dapat berperan membangun pandangan dunia yang lebih manusiawi dan humanis.
Salah satu filosof yang terkenal dengan pandangan holistik dan integratif adalah Mulla Shadra (1572-1641). Shadra atau Shadrudin Al Shirazi memiliki pandangan bahwa ada tiga tema pokok filsafat Islam yaitu asholatul Wujud (eksistensi), Tasykikul Wujud (gradasi Wujud), dan Harkatul Jauhariah. Dalam pandangannya wujud memiliki gradasi dan hubungan satu sama lain. Tidak ada satupun di alam semesta ini yang berdiri sendiri dan tidak terikat satu sama lain. Hal ini bukan wilayah penulis bukan bidangnya namun yang penulis inginkan adalah tentang urgentnya kajian filsafat yang holistik dalam perkembagan ilmu dan teknologi agar lebih manusiawi.
Filsafat dan Islam
Filsafat berlandaskan pada kekuatan akal. Dalam sebagian pandangan seringkali akal dan wahyu dipertentangkan satu sama lain. Padahal wahyu atau al Qur’an dapat dipahami lewat akal. Bahkan dalam fiqih biasa kita dengar bahwa “tidak ada hukum bagi orang yang tidak berakal”.
Pandangan yang mempertentangkan antara akal dan wahyu dalam Islam tentu tidak sesuai dan bertentangan. Dialog akan terjadi jika akal dan wahyu dapat bersesuaian atau saling memperkuat. Tapi jika akal diyakini sesuatu yang dapat bertentangan dengan Al Qur’an maka kemungkinan terjadi benturan dan dapat menyebabkan pendapat bahwa akal musuh wahyu.
Filsafat Islam khususnya aliran Hikmah Muta’aliyah dapat menjadi solusi dalam membuat pandangan dunia yang lebih humanis dan sekaligus Islami. Dialog Filsafat Islam dengan peradaban dapat terjadi manakala kondisi memungkinkan untuk berkembangnya kebebasan berpendapat (berfikir), menjaga etika atau akhlaq dalam mengungkapkan pikiran, dan bersifat logis serta dapat dipertanggungjawabkan.