Dimensi Keteladanan Fathimah Az-Zahra; Manifestasi Kelembutan Seorang Ibu, Spirit Hijab & Bersahaja
Manifestasi Kelembutan dan Kasih Sayang Seorang Ibu Pendidik
Sayidah Fathimah as bukan saja merupakan manifestasi kelembutan dan kasih sayang seorang istri, namun beliau juga merupakan manifestasi kelembutan dan kasih sayang seorang ibu. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Sayidah Fathimah as seorang yang haniyah, yaitu seorang perempuan yang sangat mengasihi, menyayangi dan lembut terhadap suami dan anak-anaknya.[1]
Banyak riwayat yang menggambarkan tentang kelembutan dan kasih sayang luar biasa Sayidah Fathimah as terhadap putra-putrinya. Cinta, kasih sayang dan perhatian Sayidah Fathimah as terhadap putra-putrinya begitu besarnya sampai-sampai beliau mewasiatkan kepada Imam Ali as untuk menikahi Ummul Banin setelah kepergiannya, karena Ummul Banin sangat dekat dengan putra-putrinya dan sangat menyayangi mereka.[2]
Beliau juga mewasiatkan kepada Imam Ali as agar senantiasa lembut dan baik terhadap putra-putrinya.[3] Bernazar demi kesembuhan putra-putranya. Bermain, membacakan kisah-kisah dan syair-syair untuk putra-putrinya. Mengadakan perlombaan dan mengajari cara penilaian yang terbaik.
Suatu hari, Rasulullah saw menyuruh Hasan as dan Husein as untuk lomba menulis. Barangsiapa yang tulisannya bagus maka dialah yang menang. Kemudian Hasan as dan Husein as pun menulis. Setelah selesai mereka menyerahkan tulisannya untuk dinilai oleh sang kakek. Namun Rasulullah saw tidak memberikan penilaian, tapi mengirim Hasan as dan Husein as ke ibunda mereka untuk memberikan penilaian. Sayidah Fathimah as tidak ingin mengecewakan salah satu dari putra tercintanya. Akhirnya terbesit sebuah ide baik dan beliau berkata, “Wahai putra-putraku sayang, ibu akan melepaskan butiran-butiran kalung ibu, barangsiapa yang lebih banyak mengumpulkan butiran-butiran tersebut maka tulisan dia yang paling bagus.” Dan ternyata Imam Hasan as dan Imam Husein as keduanya telah mengumpulkan butiran kalung dengan jumlah yang sama. Beliau berdua sangat bahagia karena keduanya menang.[4]
Kasih sayang Sayidah Fathimah as juga terwujud dalam hal-hal spiritual dan ruhani anak-anak. Melatih mereka dengan penanaman nilai agama sejak dini. Ini yang harus kita teladani. Disebutkan bahwa Sayidah Fathimah as melarang putra-putrinya tidur menjelang Magrib. Jika mereka tidur maka beliau akan membangunkan mereka,[5] karena menjelang Magrib merupakan waktu dikabulkannya doa. Beliau mendidik mereka untuk belajar berdoa pada waktu yang tepat.
Begitupula, pada malam-malam Lailatul Qadar, beliau akan memberikan makanan yang ringan kepada putra-putrinya akan dapat terbangun di malam yang penuh berkah ini.[6]
Semua yang telah dilakukan Sayidah Fathimah as terhadap putra-putri tercintanya adalah teladan bagi kita semua sebagai ibu, pendidik dan madrasah pertama bagi anak-anak. Sejarah kehidupan Sayidah Fathimah as kita ketahui bukan sekedar untuk nostalgia sejarah, yang terpenting ialah kita mempelajarinya dan menjadikan pedoman dalam kehidupan kita sekarang ini.
Dengan berlomba dan bermain bagaimana Sayidah Fathimah as mengajarkan kepada kita tentang parenting dan pola asuh yang benar. Pola asuh yang didasari atas cinta dan kelembutan hati seorang ibu.
Hijab dan Spirit ‘Penjagaan Diri [Iffah]’
Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi, keluarga-keluarga mulai hidup terasing satu sama lain. Di rumah, banyak anggota keluarga yang lebih sibuk chatting atau SMS-an daripada saling mengobrol dan mempererat kasih sayang di antara sesama anggota keluarga. Dengan mudah laki-laki dan perempuan non-muhrim saling berkomunikasi dan lama-lama menjalin hubungan khusus. Kata ‘selingkuh’ sudah sedemikian menjadi bagian dari kosa kata kita. Tiap hari televisi menyiarkan berita tentang figur-figur yang berselingkuh, hamil sebelum nikah, atau bercerai. Menurut beberapa survei, komunikasi di Facebook pun menjadi salah satu sebab terjadinya perselingkuhan dan perceraian.
Mengapa kita tidak mengingat apa yang diwasiatkan oleh Fathimah az-Zahra as? Beliau pernah berkata, “Sebaik-baik perempuan ialah mereka yang tidak melihat laki-laki asing dan tidak dilihat oleh laki-laki asing.”[7] Tentunya, perkataan ini bukan berarti bahwa beliau melarang perempuan secara mutlak berinteraksi dengan lelaki non-muhrim. Sebab, dalam sejarah disebutkan bahwa beliau sendiri pernah berinteraksi dengan Salman al-Farisi, Bilal Al-Habsyi dan lainnya. Juga, berpidato di hadapan kaum Muhajirin dan Anshor, mendatangi rumah Muhajirin dan Anshor satu-persatu untuk mengingatkan pelantikan Imam Ali as di Gadhir Khum, dan lainnya.
Spirit dari perkataan Fathimah az-Zahra as adalah ‘penjagaan diri’. Menjaga diri di era teknologi ini tidak lagi sekedar dalam bentuk fisik. Sangat mungkin lelaki dan perempuan tidak saling bertemu fisik, namun saling mengikat hati melalui internet. Ini juga yang pernah disampaikan Fathimah az-Zahra as. Suatu hari, seorang buta minta ijin masuk ke rumah Imam Ali as. Saat itu Rasulullah saw melihat Fathimah az-Zahra as langsung mengenakan hijab.
“Wahai putriku, dia buta tidak melihatmu,” sabda Rasulullah saw.
“Dia tidak melihatku, tapi aku melihatnya. Dan dia dapat mencium aromaku,”[8] jawab Fathimah az-Zahra as. Laki-laki dan perempuan non muhrim sekalipun tidak bertemu fisik, namun mungkin saja terjalin ikatan hubungan terlarang secara syariat jika keduanya tidak menjaga sikap dalam komunikasi di dunia nyata maupun dunia maya. Membatasi komunikasi di dunia maya atau pun dunia nyata jika komunikasi sudah tidak sehat dan tidak wajar, itulah pesan utama dan spirit hijab yang telah disampaikan oleh Sayidah Fathimah as.
Zuhud dan Hidup Bersahaja
Fathimah az-Zahra telah mengajarkan kepada kita untuk zuhud dan hidup sederhana. Zuhud bukanlah meninggalkan dunia, zuhud tidak mengatakan dunia buruk. Akan tetapi, zuhud adalah terbebas dari segala keterikatan pada dunia. Fathimah az-Zahra hidup sederhana bukan karena miskin. Letak kesempurnaan seseorang pada penentuan pilihan terbaik. Bisa saja Fathimah az-Zahra as ‘memilih hidup bergelimang harta’ karena tanah Fadak ada pada kekuasaannya. Tanah Fadak ialah tanah yang subur yang dapat memenuhi kebutuhan gandum kota Madinah. Penghasilan tanah Fadak pertahun antara 70.000 hingga 120.000 mata uang emas.[9] Namun, beliau lebih memilih hidup sederhana dan menggunakan kekayaannya untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
Imam Ali as bukanlah miskin sehingga tidak dapat memenuhi semua kebutuhan Fathimah az-Zahra sebagaimana yang telah disinggung Nabi Muhamad saw, “Putriku, ayah dan suamimu bukanlah orang miskin. Allah SWT telah menyediakan tumpukan emas dan perak untuk kami, namun kami lebih memilih sesuatu yang kekal di sisi-Nya.”[10]
Suatu hari Salman al-Farisi melihat Fathimah az-Zahra menghadap ayahnya dengan mengenakan pakaian yang sangat sederhana dan penuh dengan tambalan. Salman sangat heran dan sedih hingga menangis saat menyaksikan hal itu, “Betapa sedihnya kami, para putri raja Persia dan Romawi duduk di singgasana emas, mereka mengenakan gaun yang terbuat dari emas dan sutra, sedangkan putri Muhamad ini hanya mengenakan gaun yang sangat sederhana yang dipenuhi dua belas tambalan.”[11]
Pandangan dunia (world view) yang banyak merasuki generasi kita adalah ‘pandangan dunia materialistis’ di mana kesempurnaan seseorang hanya diukur pada kesempurnaan lahiriah saja. Keluarga-keluarga sibuk mengejar harta, gaya hidup konsumtif, glamour yang banyak melanda keluarga sekarang ini.
Mengapa kita tidak mengingat kembali bagaimana kehidupan sederhana keluarga Fathimah az-Zahra? Fathimah az-Zahra bukanlah orang miskin, ingatlah bahwa dia adalah putri dari seorang Nabi Muhammad dan pemimpin kaum muslimin. Namun, Fathimah az-Zahra sendiri yang memilih untuk hidup sederhana.
[1] Ibid
[2] Majlisi, Biharul Anwar, jil 43, hal 217
[3] Majlisi, Biharul Anwar, jil 79, hal 27
[4] Majlisi, Biharul Anwar, jil 43, hal 309
[5] Da’aimil Islam, jil 1, hal 282 dinukil dari Cesyme dar Bastar, Pur Sayid Aghai, hal 266
[6] Majlisi, Biharul Anwar, jil 94, hal 10
[7] Al-Hurr al-‘Amili, Wasa’il Syiah, jil 14, hal 43 dan hal 172
[8] Majlisi, Biharul Anwar, jil 43, hal 91
[9] Majlisi, Biharul Anwar, jil 29, hal 118
[10] Majlisi, Biharul Anwar, jil 43, hal 133
[11] Majlisi, Biharul Anwar, jil 43, hal 88