Musibah, Sebuah Alarm bagi Umat Manusia
Dunia merupakan majemuk dari kebahagiaan dan kesedihan, kesulitan, dan kemudahan, kegagalan dan keberhasilan. Hal ini akan terus menerus mengalami perubahan yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun.
Tentunya keadaan masing-masing manusia berbeda dan bergantung pada kondisi kehidupan, psikologi, dan tingkat spiritual.
Ada yang suatu saat mengalami tingkat kesulitan yang begitu parah sehingga seakan tidak mampu lagi berkutik, namun di saat lain ternyata dia mendapatkan kebahagiaan yang membuncah. Yang jelas, tidak ada satupun manusia yang akan tetap berada dalam satu kondisi dalam sepanjang kehidupannya.
Namun kenapa biasanya yang menjadi pusat perhatian hanya saat mendapatkan musibah dan kesulitan saja sementara kita melupakan segala kemudahan dan kebahagiaan yang kita peroleh selama ini?
Dalam kondisi saat ini dimana pandemi corona menjagat raya, manusia seakan tersentak dan tersadar betapa selama ini kita telah melupakan apa yang tak henti-hentinya dianugerahkan oleh Allah.
Kemaren kita masih bisa menikmati udara dengan begitu bebas, kebersamaan dengan sanak saudara dan teman bisa kita lakukan kapanpun ada kesempatan, segala makanan dan bebuahan bisa kita santap tanpa kekhawatiran apapun, ringkasnya nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?
Namun kini untuk keluar dari halaman rumah pun kita telah dihantui ketakutan akan keberadaan virus yang tampak demikian menakutkan ini, kita juga mulai mencurigai orang-orang di sekitar kita, jangan sampai mereka merupakan salah satu pembawa virus
Musibahkah ini? Benar namun jika kita hanya memandangnya dari perspektif materi saja, memang kita akan bisa menemukan dalil bagi masing-masing musibah, misalnya ketika kita sakit, hal tersebut terjadi karena kurangnya perhatian terhadap kebersihan dan kesehatan, atau ketika ada bencana banjir, maka pemicunya adalah tanggul yang jebol, atau terjadinya kekeringan itu disebabkan oleh kurangnya curah hujan, dan sebagainya. Tapi cukupkah solusinya hanya dengan mengenali sebab materinya saja? Sehingga begitu kita bisa mengatasi permasalahan, maka semuanya akan berakhir?!
Tidak dalam pandangan Islam, setiap kesulitan dan musibah yang dihadapi oleh manusia itu memiliki dua dimensi, yaitu dimensi materi dan non materi.
Hikmah-hikmah di Balik Musibah
Al-Quran, sunnah Nabi dan para Aimmah as mengisyarahan berbagai sebab yang bisa menjadi pemicu munculnya musibah, dimana dalil materi hanyalah merupakan salah satu di antara sekian faktor yang ada, sementara pada dimensi non materi banyak terdapat faktor-faktor lain diantaranya adalah sebagai:
- Ujian dan cobaan bagi manusia.
“Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”[1]
Ujian Ilahi yang bersifat umum dan global ini ada untuk memisahkan dan untuk lebih mengenal golongan yang benar dari yang hanya mengklaim benar,“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang dusta.”[2]
- Jalan untuk Menyempurna
Ada tingkatan-tingkatan dan manzilat spiritual yang tidak bisa digapai oleh manusia kecuali melalui kesulitan dan bala.
Sebagaimana sabda Imam Ja’far Shadiq as, “Apabila sebuah derajat tidak bisa diraih oleh seorang hamba dengan amal dan perbuatannya, maka Allah akan menurunkan bala dan musibah ke tubuhnya atau hartanya atau anak-anaknya, lalu Allah akan memberikan derajat tersebut jika ia sabar dan istiqamah dalam menghadapinya.”
- Menjaga dan Memperkuat Iman
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.”[3]
Dari sinilah akan terlihat tingkat keikhlasan dan kepasrahan seorang manusia akan ketentuan yang diberikan oleh Allah swt. Akan mampukah keimanan kita menerima sesuatu yang terlihat buruk dengan berasumsi barangkali ada kebaikan di dalamnya?
- Peringatan
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (kiamat).”[4]
Korban-korban yang berjatuhan karena wabah yang mengglobal ini mengingatkan kita tentang apa yang akan terjadi kelak di hari kiamat, kendati ini hanyalah setetes kecil dari lautan kengerian hari itu.
- Pengganti Kesalahan dan Dosa Masa Lalu
Rasulullah saw dalam salah satu hadisnya mengisyarahkan tentang sebagian dari dosa yang tidak akan tergantikan kecuali melalui bala dan musibah, bersabda, “Ketika dosa seorang mukmin bertambah dan ia tidak memiliki amal kebaikan yang bisa menjadi kafarahnya, maka Allah akan menurunkan ketakutan dan kesedihan sebagai penebus dosa-dosanya.”[5]
Ringkasan
Dari musibah ini kita diajarkan banyak hal, disadarkan betapa manusia itu lemah dan tak berdaya, yang dengan sedikit sentilan dari-Nya telah mampu membuat kita kalang kabut.
Dari kesendirian ini kita menjadi sadar betapa tak berartinya manusia dan betapa penuh dengan keluh kesah. Namun di sisi lain kita juga tersadar untuk tidak cepat mengeluh, tidak cepat menyerah, karena masih ada orang-orang yang membutuhkan perhatian dan simpati kita, bagaimanapun masih begitu banyak saudara-saudara kita di luar sana yang tetap harus mengais sesuap nasi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Mari kita menyempurna, secara duniawi dan ukhrawi dengan saling membantu dan bekerja sama sesuai kapasitas masing-masing, dengan tak lupa berlindung hanya kepada-Nya, banyak berkhalwat dan memohon ampunan atas dosa dan kesalahan yang lalu, dan berjanji untuk melakukan yang terbaik di masa mendatang.
Musibah adalah sebuah lonceng dan alarm bagi umat manusia untuk sadar akan keberadaannya sebagai seorang hamba dari Sang Penguasa alam semesta, sejauh manakah ia taat, ridha, ikhlas, pasrah dan tawakkal dengan segala kehendak-Nya, dan sejauh manakah ia memiliki jiwa dan hati yang dipenuhi dengan kecintaan dan makrifat ketauhidan kepada Allah.
Semoga musibah ini bisa mengangkat derajat kita untuk melesat ke puncak malakuti dan bukan menjadikan kita sebagai manifestasi dari ayat “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhan-nya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudaratan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu.”[6]
[1]. QS. Al-Baqarah: 155.
[2]. QS. Al-Ankabut: 3.
[3]. QS. Al-Baqarah: 126.
[4]. QS. As-Sajdah: 21.
[5]. Bihar al-Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jil. 7, hlm. 157.
[6]. QS. Az-Zumar: 8.