Dunia Islam: Kritik Atas Ide Liberalisme dan Sentimen Anti Komunis (1)
Annisa Eka Nurfitria-Begitu banyak apresiasi dari kalangan sarjana Islam atas terbitnya buku Ahmet T. Kuru yang berjudul Islam, Otoritarianisme dan Keterbelakangan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim (2020). Kuru adalah seorang dosen Ilmu Politik di San Diego University, Amerika Serikat. Sejumlah diskusi dan seminar digelar membedah buku Kuru. Hampir semua memujinya sebagai karya yang sangat menarik dan mampu memberi catatan empiris untuk refleksi dunia Islam.
Sayangnya, tak sutu pun menguliknya jauh lebih kritis, padahal argument pokok Kuru jelas mengenyampingkan faktor bahwa runtuhnya dunia Islam diakibatkan oleh pengalaman empiris kolonialisme. Kuru tak percaya itu justru mengeiliminasi keyataan itu. Tak satupun sarjana Islam menaruh keberatan terhadap argument-argumen Kuru yang sejauh ini terkesan liberalis sekuler, menentang Islam politik, dan menkambing haitamkan pengaruh komunis di dunia Islam dengan menyebut “pemerintah otoriter” semata.
Tidak sepenuhnya keliru, tetapi secara simbolik Kuru jelas-jelas, melalui bukunya itu, hanya menyajikan pandangan sebuah pengaruh model liberalisme dan segenap nilai-nilai terkandungnya terhadap dunia Islam, dan dengan itu pula menyingkirkan pandangan alternative lain. Pertanyaan besarnya adalah mengapa setiap pemikiran Islam yang berdasar pada argumen liberalis semcam itu lebih mudah diterima daripada pemikir Islam lainnya seperti Samir Amin yang berhaluan marxis?
Ulasan Samir Amin mengenai Arab Spring, misalnya, yang dilihat sebagai pukulan terakhir atas sosialisme Arab tak pernah digubris oleh dunia Islam, apalagi di Indonesia. Padahal argument-argumen Samir Amin tak kalah kuat dan mendasar. Mereka hanya percaya pada slogan-slogan “demokratisasi” sebagai lawan otoriterianisme, yang dianggap faktor utama dari fenomena apa yang disebut Arab Spring. Kondisi ini menunjukkan bagaimana gagasan liberalisme dan janji-janjinya – yang tak lebih dari pepesan kosong – masih dipercaya oleh dunia Islam. Sebaliknya, komunisme justru sangat dibenci.
Bertautan dengan ini, ada pendapat Edward H. Berman yang cukup singkat menggambarkan kondisi tersebut, “Mereka secara kritis disituasikan untuk memainkan peran-peran penting dalam menentukan pengetahuan apa, gagasan apa, pandangan-pandangan dunia yang bagaimana yang mendapatkan dukungan, dan di mana kemudian dimasukkan ke dalam wacana umum masyarakat.”
Gagasan Ahmet Kuru yang dituangkan dalam bukunya sebetulnya tidak khas dalam studi Islam, kecuali pada argument-argumen yang merujuk sekaligus kombinasi dari hasil-hasil survei kontemporer terhadap kondisi dunia Islam yang dilakukan lembaga-lembaga seperti Freedom House, United Nations Development Programme (UNDP) atau Bank Dunia dan beberapa rujukan lain. Juga tentu saja Kuru mengambil bahan rujukan dari sejarah klasik yang sangat kaya. Selain kedua hal tersebut, sebenarnya Kuru hanya mengulang-ulang narasi para sarjana liberalis yang menganggap dunia Islam akan jauh lebih baik apabila menganut sistem ekonomi kapitalis.
Dunia Islam sejak berakhirnya perang dunia II, acap kali menjadi panggung pertarungan kekuatan dan gagasan antara blok komunis yang dipimpin Uni Soviet dan blok kapitalis yang dipimpin Amerika Serikat (Perang Dingin). Meski panggungnya tak hanya di dunia Islam, tetapi keterlibatan dan dampak terhadap dunia Islam sangat besar.
Pengamatan tentang saling berebut pengaruh baik melalui pertarungan militer maupun adu gagasan di panggung dunia Islam oleh kedua blok di atas, dilakukan oleh Eugene Rogan dan Tamim Ansary dalam karya mereka masing-masing, yaitu Dari Puncak Khilafah: Sejarah Arab Islam Sejak Kejayaan Dinasti Utsmaniyah (2018) dan Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia versi Islam (2015). Dalam dunia Islam sendiri, mereka yang berada mendukung blok komunis disebut progresif. Sedangkan mereka yang berada mendukung blok kapitalis disebut reksioner. Beberapa Negara yang menjadi sekutu Amerika Serikat adalah Arab Saudi, Pakistan, Iran (sebelum revolusi Islam), Negara-negara teluk kaya minyak, Turki dan Afghanistan (di era Taliban awal).
Blok komunis di dunia Islam pada tahun 50-an bisa dibilang jauh lebih luas, mencakup Mesir, Libya di Afrika, Suriah, Irak, Lebanon, dan Afghanistan (sebelum era mujahidin/Taliban), Indonesia, dan tentu saja negara-negara Asia Tengah yang terhimpun dalam lima belas republik yang tergabung dalam Uni Soviet – tentu saja ini belum menyebut negara-negara dunia Isalm yang meraih kemerdekaanya dengan menggunakan perangkat-perangkat marxisme dan komunisme dalam perjuangannya, dengan secara tidak langsung bergabung dalam haluan Komunis Internasional atau partai-partai marxisme dan komunis. Begitu pula pengaruh luas gagasan anti imprealisme yang bergerak masuk ke dalam jantung Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok.
Kedua blok ini terus bertarung sebelum Uni Soviet benar-benar runtuh pada tahun 1991. Bahkan pada tahun 1989, ditengah Soviet mengalami krisis yang sangat parah, masih sanggup membantu perlawanan militer pemerintah komunis Partai Demokratik Rakyat Afghanistan (PDPA) di Afghanistan melawan rezim para ‘mujahid’ Saudi Arabia dan Pakistan yang dibiayai Amerika Serikat. Ironinya, para intelektual liberal dan Islamis saat itu mempercayai jika ‘jihad’ yang dilakukan kombatan Afghanistan adalah murni gerakan spiritual melawan pmerintah komunis. Padahal disitu jelas sekali agen-agen CIA terlibat langsung baik secara teknis militer maupun dukungan pendanaan kepada mereka yang diklaim sebagai ‘mujahidin’. Para ‘mujahid’ bentukan Amerika Serikat ini merekrut dan melatih para milisi Pakistan untuk bergabung ke dalam semua front peperangan yang ada di Afghanistan dengan semangat ‘jihad’ melawan pemerintah komunis atheis, seperti propaganda Amerika Serikat di banyak tempat untuk melawan komunis.
Bersambung….
Sumber:
Samir Amin, The Reawakening of The Arab World Challenge and Change in the Aftermath of The Arab Spring (New York: Monthly Review Press, 2012), hal. 6.
Eugene Rogan, Dari Puncak Khilafah: Sejarah Arab-Islam Sejak Kejayaan khilafah Utsmaniah (Jakarta: Serambi, 2017).
Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam (Jakarta: Serambi, 2018).
John Pilger, Sejarah Afganistan yang Ditutupi (September 2021). Dalam operasi yang disebutnya “tindakan rahasia”, Amerikat Serikat dengan menggelontorkan uang senilai 500 juta USD. Operasi ini ditujukan untuk membantu membentuk mujahidin di Afganistan. “Gary”, seorang agen CIA, membawa uang kontan 100.000 USD dan memberikan 10juta USD pada kesempatan berikutnya. (http://ic-mes.org/politics/john-pilger-sejarah-afganistan-yang-ditutupi/)
Nino Oktorino, Afganistan 1979-1989 Tentara Komunis Soviet VS Mujahiddin (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2020), hal. 1-7.