Dunia Islam: Kritik Atas Ide Liberalisme dan Sentimen Anti Komunis (2)
Annisa Eka Nurfitria___Para intelektual Islam termasuk di Indonesia banyak yang sependapat dengan pandangan Kuru, beberapa pendapat mereka akan dilampirkan di tulisan ini sebagai penguat argumentasi.
Ziauddin Sardar, misalnya, ia mungkin bisa dibilang salah satu intelektual yang cukup tenar di dunia Islam, bahkan dianggap sebagai intelektual Muslim anti-komunis. Ia seorang futurolog, yang mendorong kemajuan Islam yang autentik tanpa pengaruh Barat. Sayangnya, Islam autentik yang digagasnya menitik beratkan pada pembatasan konsumsi dan redistribusi sumber daya secara merata, tidak pernah jelas rujukan historis dan konseptualnya. Pertanyaannya, dunia Islam moder mana dan wilayah mana itu mungkin terjadi?
Apologi Sardar dalam ilmu pengetahuan, sistem sosial dan sistem ekonomi Islam yang ia bayangkan enam dekade lalu. Pemikirannya secara perlahan sesungguhnya menaruh penerimaan atas imprealisme. Gelagat itu dapat dibaca dalam bukunya yang diterbitkan akhir tahun 60-an, Sardar menjelaskan tentang pentingnya dunia Islam keluar dari pengaruh Barat.
“Akibat utama dari otoritas barat itu adalah perkembangan sains dan teknologi di negara-negara Islam hanyalah demi kepentingan Barat. Kesempatan ini dimanfaatkan terutama sekali oleh pengusaha-pengusaha Barat dalam beberapa komoditi seperti minyak di Iran dan Arab, karet, timah dan berbagai sumber penting lainnya di Malaysia dan Indonesia. Dalam konteks eksploitasi ini mungkin sekali keuntungan dan sekaligus malapetaka yang paling besar adalah akibat dari penyerangan militer yang besar-besaran terhadap negara-negara muslim merdeka di Asia Tengah dalam tahun-tahun 1920-an dan 1930-an oleh Rusia dan Cina Komunis. Lagipula kedua negara ini jauh lebih imperialistis daripada negara imperialis manapun dengan mencaplok negara-negara yang dikalahkannya.”
Pemikiran Sardar di atas seolah-olah menutupi eksploitasi kolonial dan imprealisme Eropa Barat yang berlangsung sangat lama berabad-abad tak ia sebutkan sebagai sejahatan luar biasa. Sedangkan Soviet di tahun 1920-an sampai 1930-an ia sebut sebagai ‘malapetaka paling besar’. Pemerintahan Stalin itu hanya berlangsung kisaran antara tahun 1927 sampai tahun 1953. Di masa kepemimpinan Stalin memang banyak ditemukan kekerasan, tetapi perlu dicatat, komentar Sardar tersebut bersumber dari seorang birokrat Inggris di India yang menulis Soviet Empire bernama Sir Olaf Caroe.
Caroe pernah menjabat sebagai gubernur di India – waktu itu India masih di bawah jajahan Inggris – namun kepentingannya hancur karena aliansi tridente yaitu Perancis, Inggris dan Rusia pecah akibat Revolusi Oktober yang akhirnya membuat Rusia menarik diri dari perang dan membentuk pemerintahan baru yang dinamai Soviet. Pemerintah Soviet pertama kali didirikan oleh 6 republik sosialis yang berpendudukan mayoritas Muslim. Ini pula yang disebut Sardar 6 republik tersebut awalnya justru diserang oleh Rusia. Bagaimana bisa sebuah negara republik merdeka, dalam satu kesatuan republik sosialis federasi Soviet, menginvasi satu sama lain? Suatu kontradiksi inter minus dan menunjukkan kedangkalan pemahaman Sardar atas Soviet dan bagaimana republik anti-imperialis itu dibentuk.
Kembali pada argumentasi Ziauddin Sardar, sepintas pemikirannya memang tak terlihat spontan berpihak pada kolonialisme dan kapitalisme global, tetapi Sardar seperti menerima dan meminjam istilah Wijaya Herlambang, ‘mewajarkan’ kenyataan imprealisme kapitalis dengan hanya menawarkan paradigm Islam yang mengambang sejak tahun 1980-an.
Sardar menyebut ‘Sains Islam’, yaitu sebuah cara pandang dunia bahwa ada Barat dan Islam, antara kapitalis (yang ia sebut barat) dan komunis (yang juga disebut barat) diantara keduanya terdapat sistem pengetahuan dan pembangunan dunia Islam yang lebih baik. Tetapi utopis, bagaimana itu semua dapat terwujud?, bahkan hingga saat ini tidak pernah bisa dijelaskan secara konkrit apalagi dirujuk.
Jika Sardar ingin sedikit saja lebih membuka mata, dengan kejernihan pikiran dan dengan kejujuran hati, mengamati beberapa Negara Islam yang memiliki etos progresif dan Islamis, yang paling faktual untuk dirujuk saat ini adalah Republik Islam Iran pasca revolusi 1979. Jelas sekali Iran adalah Negara yang memiliki spirit revolusi anti-imprealis, yang spirit perlawananya tidak hanya diwarnai nila-nilai Islam, tetapi juga diperkaya dengan gagasan-gagasan marxis – setidaknya demikian yang dikemukakan Ali Syariati dan pemikir lainnya.
Pemikiran Sardar, sebagaimana dapat kita baca dalam bukunya yang paling baru diterbitkan, menunjukkan dimensi keberpihakannya kepada kapitalisme kolinal atau pewarisnya dalam bentuk kapitalisme global, kemudian berubah mulai menyadari dampak bahaya dan kerusakan yang diakibatkan kapitalisme kolonial dan rezim pelanjutnya tersebut terhadap secara umum bagi dunia dan secara khusus bagi dunia Islam. Namun jejak-jejak naif anti komunis nya masih kontras seperti dalam bukunya; Kembali ke Masa Depan Syariat Sebagai Metode Pemecahan Masalah (2005). Dalam buku itu, Sardar menekankan hanya kekuatan spiritual Islam murni yang dapat mengalahkan kekuatan Super Power, seperti yang dicontohkan para jihadis Afghanistan tahun 1979-1989.
“Kesuksesan kelompok mujahidin di Afghanistan menunjukkan bahwa dorongan religius murni dapat mengalahkan negara super power dunia”, jelasnya. Sebuah penjelasan yang terburu-buru dan tidak hati-hati. Padahal perang ‘mujahidin’ itu jelas adalah ‘proyek jihad’ melawan komunisme di Afganistan yang dibiayai Amerika Serikat dengan gelontoran biaya sangat besar dan pastilah bukan dorongan religius murni. Apa dana Amerika Serikat, Inggris dan Arab Saudi ke kamp-kamp pelatihan para ‘mujahidin’ itu disebut murni dorongan religius?
Sumber:
Ziauddin Sardar, Teknologi dan Pembangunan Dunia Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1989), hal. 3.
Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan Syariat Sebagai Pemecahan Masalah (Yogyakarta: Serambi, 2005), hal. 139.
John Pilger, Sejarah Afganistan yang Ditutupi, September 2021.