(Eksklusif) Bedah Ilmiah Bercita Rasa Takfiri di Bandung
Pagi itu, hawa Bandung terasa dingin, diliputi cuaca mendung. Sejak pukul 8 pagi, orang-orang sudah berdatangan ke dalam Masjid At-Taqwa di KPAD Bandung. Mereka berniat menghadiri acara bertajuk ‘Bedah Ilmiah Syiah dan Liberal’. Tepat pukul 08:30 acara pun dimulai, sekitar 70 orang memenuhi masjid. Hadirin pria dan peserta wanita dipisah dengan sekat kayu. Peserta pria di sebelah kanan, dan peserta wanita di sebelah kiri. Terlihat, jumlah peserta seminar didominasi oleh peserta pria.
Tidak seperti bedah buku anti-Syiah yang telah terselenggara di Bogor maupun Banjarmasin, atau di kota-kota lain yang gratis dan berhadiah buku panduan ‘terbitan’ MUI, seminar kali ini berbayar. Peserta diharuskan membayar infak pendaftaran Rp 50.000, dengan fasilitas snack, makalah, kupon makan siang, plus sertifikat.
Awalnya, acara ini akan diselenggarakan di Daarut Tauhid, pesantren yang biasanya memberi keteduhan hati bagi kaum muslimin, dengan khutbah-khutbah Aa Gym dan Teh Ninih yang menyejukkan hati dan mendorong umat untuk terus membersihkan hati dari berbagai kotoran. Entah dengan alasan apa, acara dipindahkan ke Masjid Taqwa.
Hadir sebagai narasumber adalah Dr. Wendi Zarman M.Si, Dr. Wendi Zarman M.Si., dan empat asatidz muda dari PKU Gontor. Acara utama sebenarnya adalah peluncuran buku berjudul ‘Mencari Titik Temu Sunni-Syiah’ karya Ustadz Saiful Mubarak. Menurut panitia (dari organisasi bernama MAQDIS dan PIMPIN), acara ini bertujuan untuk memberikan informasi ilmiah tentang apa itu Syiah dan liberalisme sehingga masyarakat dapat mengerti cara untuk menghadapinya.
Awalnya, acara seminar memang terasa ilmiah ketika Dr. Wendi Zarman M.Si. (Pimpin, Bandung) dan Dr. Dinar Dewi Kania (Aktivis Muslimah CGS Jakarta) memaparkan presentasi mereka. Kedua narasumber ini membahas tentang liberalisme dan feminisme yang didukung oleh data ilmiah yang lengkap juga berimbang, serta telah teruji keabsahannya. Namun berikutnya, aroma sektarian mulai tercium ketika tampil tampil empat orang asatidz muda dari PKU Gontor. Satu orang berperan sebagai moderator dan yang lainnya sebagai narasumber. Sama sekali tidak ada narasumber pembanding dari pihak Syiah yang dihadirkan. Ibarat jurnal, tidak ada peer-review yang dilakukan, diskusi berjalan satu arah.
Hadi Faturrizka membahas makalah berjudul “Kritik Konsep Ahlul Bait Dalam Pandangan Syiah Imamiyah.” Pembicara terlihat tidak mendalam menguasai materi dan hanya tahu sisi buruk Syiah saja.Hadi berkutat membahas Kitab Biharul Anwar. Menurutnya, kitab tersebut menjelek-jelekkan keluarga Ali ra.
Sementara dua pembicara lainnya, Lukman Hakim dan Sahidi Mustofa masing-masing membahas tentang feminisme dan pluralisme, namun pembahasannya terasa sangat kurang garam, bila dibandingkan dengan pemaparan yang bagus dan cerdas dari Dr. Wendi Zarman M.Si. dan Dr. Dinar Dewi Kania.
Lalu tibalah pada acara puncak, yaitu bedah buku ‘Mencari Titik Temu Syi’ah dan Sunni’ yang dibawakan langsung oleh penulisnya, KH. Dr. Saiful Islam Mubarak M.Ag., dimoderatori oleh Ustadz Roni dari Daarut Tauhid. Pembicara menyuguhi data-data yang didapat dari Google dan Youtube, misalnya, ada video yang menunjukan bahwa Ahmadinejad sedang berdikusi dengan Rabbi Yahudi dan bertukar cenderamata. Seperti biasanya, video ini ditampilkan untuk menyampaikan frasa yang sering diulang-ulang di jejaring sosial: inilah buktinya Israel bersekutu dengan Iran. Agaknya pembicara perlu menelaah lagi, bahwa ada beda antara Yahudi, dan Zionis. Bahwa ada kumpulan Rabi Yahudi yang anti Zionis, mereka membentuk organisasi bernama Neturei Karta. Mereka inilah yang diundang bertemu dengan Presiden Ahmadinejad.
Ustadz Saiful menekankan bahwa Syiah adalah mazhab yang menyimpang, sesuai data dari (lagi-lagi) Biharul Anwar dan menyebut kelakuan Yassir Habib yang disebut sebagai ulama Syiah. Habib memang ‘tenar’ di internet dengan pernyataannya yang mencaci istri Nabi Muhammad. Tak heran bila Ustadz Roni kemudian menyimpulkan bahwa mencari titik temu antar Sunni dan Syiah sangatlah sulit.
Dr. Muhammad Anis, pakar Politik Islam dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang diwawancarai Liputan Islam dalam rangka tabayun, menyatakan sebaliknya. Menurutnya, mencari titik temu antara Syiah dan Sunni justru sangat mudah. Apalagi di Indonesia yang mayoritasnya NU.
“Seperti kita ketahui, NU adalah representasi mazhab Syafi’i di Indonesia, dan tradisi Syafi’i adalah yang paling dekat dengan tradisi Syiah, seperti: maulid, haul, ziarah kubur, tawasul, dan sebagainya. Yang sulit itu adalah mencari titik temu antara Syiah dengan kaum takfiri. Bahkan bukan hanya Syiah, Sunni pun sulit bertemu dengan takfiri, karena kaum takfiri selalu menganggap diri merekalah yang benar dan selain mereka adalah sesat,” ujar Anis.
Mengenai Yassir Habib, Anis memberikan informasi, bahwa kedok Yasir Habib sudah cukup lama terungkap. Dia adalah orang bayaran Inggris dalam rangka memecah-belah Muslimin. Inggris telah memberikan suaka kepadanya sesaat setelah ia bebas dari penjara Kuwait (berkat campur tangan Inggris). Saat ini ia hidup nyaman di London dan memimpin beberapa lembaga dan media.
“Sudah banyak ulama Syiah yang mengecam ulah Yasir Habib yang merusak citra Syiah itu, seperti Syaikh Amri, Syaikh Husain Ma’tuq, Syaikh Hasan Shaffar, Syaikh Ali Alumuhsin, Syaikh Abduljalil Samin, Syaikh Namir, Sayid Hasyim Salman, dan sebagainya. Bahkan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, segera berfatwa, “Pelecehan terhadap simbol-simbol saudara kita Ahlusunnah, termasuk terhadap istri Nabi saw, adalah haram,” jelas Anis.
Ada hal menarik yang perlu digarisbawahi dari pemaparan penulis buku ini, yaitu dorongan untuk menjauhi sejarah. Menurut Ustadz Saiful, sejarah terbukti penuh dongeng, jadi kita tidak tahu siapa yang sebenarnya membunuh Al Hussain. “Pandangan hidup kita akhirnya terpengaruh oleh dongeng khurafat dan minim manfaat itu,” ujarnya. Dia berulang-ulang menekankan agar umat Islam jangan membaca sejarah, karena sejarah tersebut adalah buatan manusia. “Jangan pernah beriman pada sejarah, cukup Al Quran saja yang menjadi petunjuk,” katanya.
Menanggapi hal ini Dr. Anis menjawab panjang lebar, “Memang benar bahwa Al-Qur’an adalah rujukan utama bagi umat Islam. Namun demikian, Al-Qur’an tidak bisa berbicara sendiri, melainkan manusialah yang berbicara melalui Al-Qur’an. Artinya, perlu penafsiran dan penjelasan mengenai apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Untuk itulah, Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw sebagai penjelas pesan-Nya. Dengan kata lain, Nabi Muhammad saw merupakan representasi Al-Qur’an.”
Anis melanjutkan, “Karena kita tidak hidup di masa Nabi saw, maka peran hadis amat diperlukan di sini. Demikian halnya dengan tarikh (sejarah), yang di dalamnya juga mengandung riwayat-riwayat. Bahkan di dalam hadis pun banyak kita jumpai laporan-laporan sejarah, termasuk di dalam Hadis Bukhari-Muslim. Dengan demikian, ketika kita menolak tarikh, maka konsekuensinya kita mesti menolak banyak sekali hadis, termasuk hadis Bukhari-Muslim.”
Terkait pembunuhan Sayidina Husain dan siapa pelakunya, Anis mengatakan, “Banyak sekali sumber-sumber tarikh dan hadis yang meriwayatkannya dari jalur Ahlusunnah mu’tabar. Bahkan Asyura pun telah menjadi tradisi abadi di Nusantara sejak ratusan tahun yang lalu.”
Anis menutup penjelasannya, “Sekali lagi, memahami Al-Qur’an tentu memerlukan penafsiran. Fakta juga membuktikan bahwa banyak sekali ragam penafsiran sejak dulu hingga kini. Dengan kata lain, tidak ada homogenitas dalam penafsiran. Masing-masing juga mengklain bahwa mereka mendapat petunjuk melalui penafsiran mereka. Oleh sebab itu, sikap toleran dan tidak memaksakan satu penafsiran sangat diperlukan. Namun sayangnya, sikap ini tidak pernah dikenal oleh kaum takfiri.”
Dalam sesi tanya jawab, ada yang menarik karena peserta bertanya tentang sikap Kerajaan Arab Saudi kepada Syiah karena selama ini juga beredar informasi banyaknya mazhab Syiah yang berhaji ke Mekkah. Narasumber menjawab bahwa siapapun yang mengucapkan syahadat maka dia adalah muslim maka tidak mungkin KSA mengusirnya.
Lalu, ada yang menanyakan, “Apa kaitan Syiah dengan liberalisme?” Narasumber menjawab, “Yang berpaham liberal itu dari Syiah banyak, dan dari Sunni juga banyak.”
Di akhir acara, Ustadz Saiful meminta agar kaum muslimin berbaik hati dan bersikap lemah lembut kepada Syiah. “Sikap kita kepada saudara Syiah adalah seperti sikap kita kepada anak kecil yang hendak menyeberang jalan. Bila masih di pinggir, kita ingatkan pelan-pelan dan kita bimbing bersama menyeberang. Tapi bila sudah di tengah dan hampir ketabrak mobil, kita langsung tarik agar dia selamat,” katanya.
Diskusi ditutup dengan do’a bersama dengan memohonkan hidayah untuk para pemeluk Syiah. Ustadz Saiful terdengar terisak menangis. Namun tak ada air mata yang menetes di pipinya. ( sumber ini diambil dari http://liputanislam.com/liputan/eksklusif-bedah-ilmiah-bercita-rasa-takfiri-di-bandung/ )