Fakhruddin Ar-Razi: Teolog, Filsuf dan Ahli Tafsir
Konon pada zaman Fakhruddin ar-Razi, muncul kelompok ekstrim yang ingin menyebarkan faham Tajsim dan mengkafirkan yang menolak faham antropomorfisme Tuhan, tidak hanya mengkafirkan malah menganggap halal darahnya. Fakhruddin Razi adalah lawan sengit mereka yang tidak berhenti untuk menyadarkan bahwa Allah Swt itu tidak ber-jisim. Kaum Mujasimah bahkan bersumpah akan membunuh Fakhrudin ar-Razi, jikalau tidak berhasil membunuh, mereka akan melakukan pembongkaran kuburan dan membakar mayat Fakhruddin Razi. Namun apa yang terjadi justru Fakhrudin ar-Razi berbicara dengan lantang di depan mereka.
Muhammad bin Dhiyau ad-Din Umar bin Husain bin Hasan Fakhruddin, Abu Abdillah, Quraisy at-Taymimi al-Bakri, berasal dari Thabarestan, lahir di Razi di kota Rey, tahun 544 H bertepatan dengan 1149 M. Laqab beliau yang paling terkenal adalah Ibn Al-Khatib Imam, Fakhrudin ar-Razi, Syaikh Islam dan yang lebih terkenal lagi adalah Imam Fakhruddin ar-Razi. Hati-hati dengan dua nama Ar-Razi lain yang berasal dari kota yang sama yaitu Rey.
Ia begitu menghormati dan memuliakan ayahnya. Dari ayahnya beliau belajar bidang ilmu ushul dan sekte-sekte mazhab. Ia memanggil ayah dengan panggilan Syaikh Guru yang Berbahagia (Syaikh Sa’id). Setelah wafat ayahnya, ia berguru pada Simnani dalam bidang ilmu fikih, kemudian kembali ke tempat asalnya dan serius mempelajari filsafat dan kalam dari Majili. Ia juga belajar pada Teolog Syiah Mahmud bin Ali al-Himsha.
Fakhruddin ar-Razi memanfaatkan metode filsafat Islam dengan mengabungkan antara metode Tibyan (metode Aristotels yang memilih argumen dari efek ke agen atau dari perbuatan ke agen yang berbuat) dengan metode Khabar Islam (yang mengasumsikan menerima apa yang disampaikan oleh Rasul dan para Nabi yang dianggap sebagai musalamat yang tidak perlu diperdebatkan lagi).
Ia berusaha memanfaatkan apa yang penting dan signifikan pada zamannya dalam rangka memperkuat fondasi akidah yang bertumpu pada akal dan bertolak dari agen (fa’il) menuju aksi (fi’il). Dan Fakhruddin ar-Razi membuat distingsi yang akurat antara dua jenis burhan inni dan limmi. Argumentasi dari Makhluk ke Khaliq adalah Burhan Inni dan turun dari Khaliq ke Makhluk adalah Burhan Limmi, dan memang wajar jika Burhan Limmi lebih mulia. Namun Fakhrudin ar-Razi lebih memilih argumentasi dari Khaliq ke Makhluk.
Menurutnya, fitrah membantu kita menyaksikan eksistensi Sang Pencipta yang memiliki ikhtiar sebelum memahami melalui dalil-dalil. Eksistensi sang pencipta adalah hal yang axiomatik (badihi) atau makrifat yang awal. Fitrah yang asli menyaksikan dan merasakan kebutuhan alam kepada Pelaku (fa’il). Dan pernyataan bahwa Allah adalah burhan atas segala sesuatu dapat diketahui lewat fitrah secara langsung dan bukan berdasarkan hadis-hadis Nabi bahwa makrifatullah lebih mendahului dari keberadaan para nabi.
Fakhrudin ar-Razi telah memelihara dan merawat mazhab salafus shalih dan dalam waktu yang sama juga mempelajari apa-apa yang bisa diterima (musalamat) dari kalangan para filsuf. Bertumpu pada prinsip-prinsip teologin secara umum dan mazhab Asy’ari secara khusus. Inilah yang membuatnya menjadi istimewa.
Beliau seorang peneliti dan pengkaji yang sempurna, menguasasi berbagai ilmu di dalam kitab Mabahits al-Masyriqiyah. Mendemonstrasikan kejeniusannya dalam memahami, menganalisa dan mengevaluasi filsafat peripatetik. Ia juga orang yang memiliki nalar yang tajam sehingga bisa melihat titik-titik dari filsafat Ibnu Sina yang dapat dikritik. Karena itu ia menulis syarah al-Isyarat wa at-tanbihat yang dianggap bukan sebagai kitab syarah tapi jarh (mengkritik dengan keras).
Kitab yang lain adalah Mafatih al-Gayb sebuah kitab tafsir yang sangat luas dan mendalam. Kitab tafsir Mafatih al-Gayb ini banyak dikutip oleh kitab-kitab tafsir dari berbagai mazhab seperti Syiah, Sunni dan sebagainya. Dijuluki sebagai imam Musyakikin yaitu ahli pengkritik yang tajam dan kritikannya menurut Syahid Muthahhari banyak memberikan manfaat. Dan Mulla Sadra juga terkadang memanfaatkan kejelian Fakhruddin ar-Razi dalam mengkritik Ibnu Sina.
Karya-karya yang luar biasa dari sisi kuantitas dan kualitas yang sayangnya masih belum banyak diapresiasi oleh dunia Islam itu sendiri. Karya-karyanya menorehkan satu metode dan nalar yang luar biasa dalam melahirkan peradaban keilmuan Islam. (SN)