‘Irfan dalam Perspektif Murtadha Muthahari (Bagian Kedua dari Dua Tulisan)
Dalam pandangan Muthahari, ‘irfan teoritis memiliki beberapa kriteria penting: pertama, wahdatul wujud. Kedua, penyingkapan dan penyaksian. Ketiga riyadhah (meditasi). Menurut pandangan ustad Muthahari, riyadhah berarti mengatur badan dengan sejumlah program-program yang di dalamnya terlaksana pelbagai kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Ini adalah hal yang utama dan penting. Ketika hal ini telah terwujud maka ruh siap untuk menerima pencerahan-pencerahan cahaya dan makrifat. Keempat, ‘isyq dan mahabbah. Muthahari memandang bahwa cinta kepada Allah dan ‘isyq kepada auliya (para kekasih) Allah dan kepada manusia-manusia sempurna merupakan faktor kesempurnaan wujud dan merupakan pendorong kesempurnaan, pertumbuhan dan kesuksesan insan salik dan merupakan hal yang sangat penting dalam ’irfan praktis.
‘Irfan Islam memiliki akal dan nalar serta menganggap penting hal itu dan antara burhan (argumentasi) dan ‘irfan itu bukanlah dua hal yang kontradiksi. Dan tidak boleh dengan alasan syuhud (penyaksian) dari pemahaman dan dengan alasan ‘irfan kemudian seseorang lari dari burhan. Menurut ungkapan Muthahari, Islam selalu berdasarkan kepada akal dan makrifat rasional, dan dengan sarana akal dan dengan kunci ini maka manusia mampu menggapai makrifat syuhudi dan makrifat qalbi. Alhasil, seorang ‘arif tidak mengingkari pentingnya argumentasi.
Dalam pandangan Muthahari, pada hakikatnya ‘irfan sama sekali tidak bertentangan dengan khidmat kepada masyarakat, bahkan permulaan perjalanan ‘irfan dan pertengahannya dimulai dan dilalui dengan khidmat/pengabdian kepada masyarakat. Khidmat kepada makhluk dalam ‘irfan itu ada dan memang seharusnya ada. Tetapi khidmat kepada makhluk bukan akhir perjalanan mistik Islam, khidmat kepada makhluk merupakan mukadimah dari mukadimah-mukadimahnya.
Berkaitan dengan perbedaan antara ‘irfan praktis dan akhlak, Muthahari menjelaskan seperti ini: Pertama, ‘irfan membahas hubungan-hubungan antara manusia dan dirinya dan alam serta Allah Swt. Dan dasar pandangannya berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah. Tetapi sistem akhlak tidak mesti membahas hubungan manusia dengan Allah, hanya sistem-sistem akhlak mazhab/religius yang memperhatikan masalah ini.
Kedua, sair dan suluk ‘irfani sebagaimana tampak dari dua kata ini yaitu sesuatu yang bergerak dan dinamis. Berbeda dengan akhlak yang cenderung diam atau pasif. Yakni, dalam ‘irfan dibahas tentang titik permulaan, tujuan dan jenjang-jenjang serta manzilah-manzilah yang harus dilalui secara tertib oleh seorang salik, sehingga sampai kepada puncak manzilah. Menurut pandangan seorang ‘arif, bahwa manusia memiliki shirath dan shirath itu harus dilaluinya. Jadi harus melalui jenjang demi jenjang dan manzil demi manzil. Dan sampai pada jenjang berikutnya tanpa melalui jenjang sebelumnya adalah hal yang tidak mungkin.[1]
Oleh karena itu dalam pandangan ‘arif, ruh manusia itu seperti daun atau anak kecil dan kesempurnaannya terletak pada pertumbuhan yang sesuai dengan sistem atau program khusus. Tetapi dalam akhlak hanya dibahas tentang keutamaan-keutamaan perilaku, seperti berkata benar, jujur, keadilan, kemuliaan diri, berbuat baik, dan mendahulukan orang lain. Akhlak menekankan supaya ruh manusia dihiasi dengan sifat-sifat baik tersebut. Dalam pandangan akhlak, ruh manusia itu seperti rumah yang harus dihiasi, namun ia tidak menjelaskan urutan pekerjaan: harus dimulai darimana dan berakhir ke mana. Misalnya, dimulai dari atapnya atau dimulai dari temboknya, dan tembok yang mana dulu? Apakah dimulai dari tembok atas atau tembok yang bawah? Tetapi dalam ‘irfan justru sebaliknya, yaitu unsur-unsur akhlak dibahas di dalamnya namun secara dialektis, yaitu bergerak/dinamis dan berurutan.[2]
Ketiga, unsur-unsur spiritual akhlak itu terbatas dengan pemahaman-pemahaman yang umumnya mereka ketahui. Tetapi dalam sair dan suluk ‘irfani, unsur-unsur spiritual Islam itu lebih luas dan lebih mendalam dan itu berangkat dari kondisi-kondisi dan intuisi hati yang hanya dirasakan oleh salik yang telah melalui jalan spiritual atau mujahadah-mujahadah, sedangkan orang lain sama sekali tidak mengetahui dan merasakan kondisi semacam ini.
Akhlak dari satu sisi sama dengan ‘irfan, hanya saja akhlak berbicara dengan “yang harus” dan “yang tidak harus” dilakukan, sedangkan ‘irfan berbicara tentang “yang ada” dan “yang tidak ada”. Keberadaan itu hanya milik Allah, sedangkan keberadaan selain-Nya adalah keberadaan yang semu dan tidak independen.
Dan akhirnya, tujuan utama seorang ‘arif adalah mencapai tauhid hakiki, dan tauhid ini tercapai saat melihat wujud hakiki hanya identik dan terbatas kepada Allah Swt dan selain-Nya adalah penampakan (tajalli) dari-Nya
[1]مجموعهآثاراستادشهيدمطهرى، ج23، ص: 28
[2] آشنایی با علوم اسلامی، ج 2 ص 85