Hukum Senjata Pemusnah Massal
Sarana perang terus berkembang seiring pergantian zaman. Dari zaman belati sampai zaman altileri. Dulu dengan berkuda, kini dengan pesawat tempur. Peralatan perang era kini, dengan sekali tekan tombol dari jarak jauh, jemari manusia menewaskan sesamanya dalam jumlah satu kota atau bahkan satu negara dalam waktu singkat.
Salah satu senjata yang dirancang untuk membunuh manusia dalam skala besar, adalah weapons of mass destruction (WMD), atau aslihatu ad-dammâr asy-syâmil, yang artinya, senjata pemusnah massal.
Pemusnah yang dimaksud ada dua macam:
1-Yang memusnahkan semua benda hidup dan mati, seperti senjata nuklir. Bom nuklir yang telah digunakan oleh Amerika yang disebut sebagai satu-satunya negara yang pernah menggunakan senjata nuklirnya. Yaitu, pada perang dunia II terhadap Jepang di Hirosima dan Nagasaki, tahun 1945. Juga seperti senjata termonuklir, yang disebut dengan bom hidrogen (H-bomb), yang pernah diuji coba oleh AS pada tahun 1952.
2-Yang memusnahkan benda hidup saja; manusia, binatang dan tetumbuhan. Ialah senjata atau bom kimia, berupa gas dan bahan-bahan pembakar, yang cair ataupun yang padat. Juga seperti bom biologi berupa virus-virus, bom neutron dan sebagainya.
Lalu terlontar pertanyaan, apakah penggunaan dua jenis senjata pemusnah massal itu dibolehkan syariat Islam dalam perang? Atas prinsip bahwa perang menggugurkan segala penghalang, dan karenanya gugurlah kehormatan jiwa dan nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Ataukah sebaliknya, karena perang memiliki kode etik, berdasarkan dalil-dalil jihad yang memberi persyaratan terkait senjata dan cara penerapannya, dan faktor-faktor lain yang menghalangi.
Pertanyaan di atas ada kaitannya dengan persoalan penting dalam fikih, hukum dan hak asasi, yaitu perkara lingkungan. Yaitu, apakah lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati mendapat perhatian dari Islam, ataukah tidak?
Metode Pembahasan Fikih
Hal yang akan dibicarakan di sini ialah tentang subyek yang menjadi tenpat pertemuan dua perkara; perang dan lingkungan. Pembicaraan soal terhubungnya kefikihan keduanya, memerlukan metode pembahasan fikih. Berangkat dari sini, dikarenakan tidak mudah berurusan dengan nash yang langsung terkait dengan fenomena hasil kemajuan teknologi itu.
Metode pengkajian masalah kekinian semacam ini terkandung di dalam dua prinsip berikut:
1-Kaidah-kaidah fikih terkait banyak aspek untuk menentukan posisi yang legal; adakah kaidah-kaidah umum yang bisa mencampuri urusan subyek tersebut untuk mendukung perannya itu?
2-Kasus-kasus parsial yang berlainan dan berdampingan dengan masalah itu dan membuka ruang baginya, seperti masalah penuangan racun di dalam air, atau pemutusan air, atau penenggelaman dan pembakaran, merupakan perkara terkait dengan pelenyapan fenomena kehidupan. Karena, pemutusan air atau peracunannya menyebabkan kematian manusia, binatang dan tumbuhan.
Misalnya, kaidah jawazu istikhdâmi kulli mâ yurjâ minhu al-fath (boleh menggunakan apapun yang diharap memberi kemenangan), yang diterapkan oleh Almarhum Ayatullah Sayed Khui: Boleh perangi kaum kafir yang memerangi, dengan sarana dan alat apapun dalam perang kapanpun menurut tuntutan zaman. Jihad melawan mereka tak hanya menggunakan alat-alat khusus perang.
Walau benar kaidah ini, tetapi tidak lantas mutlak. Karena, senjata digunakan tidak sampai melanggar hal lain yang wajib atau yang haram. Jadi, ada dua mekanisme ijtihad dalam masalah yang dibahas;
1-Kereferensian kaidah fikih.
2-Pembentukan gambaran umum melalui kasus-kasus parsial yang berlainan, yang mengantarkan pada pembentukan sebuah gambaran untuk menjadi suatu kaidah.
Prinsip Larangan Merugikan Manusia
Pembicaraan tentang masalah senjata pemusnah massal, terutama dalam kaitannya dengan persoalan lingkungan, dalam dua tahap berikut:
1-Kepemilikan senjata pemusnah masal; bolehkah negara Islam memiliki senjata pemusnah massal? Terlepas dari menggunakannya atau tidak. Untuk menjawabnya, dengan sejumlah kaidah fikih antara lain darinya yang terpenting ialah:
Kaidah pertama, prinsip hurmatul idhrâr bil insân” (larangan merugikan manusia); bahwa kepemilikan senjata pemusnah massal bisa tercakup oleh hukum bara`ah syariyah (tak ada dalil yang melarangnya). Namun ada intervensi dari sebuah kaidah yang memberi syarat bagi hal ini, yaitu, tidak dalam rangka merusak lingkungan, termasuk membahayakan manusia atau merugikan apa-apa yang berkaitan dengan dirinya.
Qaid atau syarat yang dimaksud ialah bahwa alam dengan pandangan global- bukanlah milik personal. Tetapi milik manusia, termasuk generasi-generasi datang. Bahaya atau kerugian yang dikatakan, tidak hanya berkaitan dengan siapa yang hidup kini saja. Secara urf berlaku juga pada generasi-generasi datang.
(Bersambung)