Imam Baqir Pendobrak Pemikiran Batil
Jabir bin Abdillah meriwayatkan: Rasulullah saw bersabda kepadaku, “Kamu akan hidup lama sampai melihat seorang laki keturunanku, yang (di masanya) paling mirip denganku; namanya sama dengan namaku. Bila kamu melihat dia, jangan lupa sampaikan salam dariku untuk dia!” (Bihar al-Anwar, juz 46, hal 294)
Jabir ketika menginjak usia lanjut, khawatir ajal menjemput sebelum bertemu dengan Imam Baqir, ia memanggil-manggil nama cucu Nabi saw ini: “Hai Baqir… Dimanakah engkau?” Hingga kemudian melihatnya, maka Jabir mendekatinya, mencium tangan dan kakinya, seraya berkata: “Demi ayah dan ibuku, sungguh mirip dengan datuknya, Rasulullah saw.. Datuk Anda menyampaikan salam kepada Anda!”. (Tarikh al-Ya’qubi 2/320)
Al-Ya’qubi menerangkan arti “al-Baqir”, gelar masyhur yang disandang oleh Imam kelima bagi Syiah Ahlulbait ini: “Dinamai al-Baqir karena ia membelah ilmu.” (‘Ilal asy-Syarayi’ 1/233). Menurut Jabir bin Yazid al-Ju’fi, maknanya ialah karena ia membongkar ilmu dan menampakkannya.
Muhammad bin Mukarram juga menjelaskan bahwa: Muhammad bin Ali bin Husain dipanggil dengan “al-Baqir” ra, karena ia membelah ilmu, mengetahui akarnya dan menyimpulkan cabangnya.” (Lisan al-‘Arab)
Ketinggian Ilmunya
Keluasan ilmu diakui oleh ulama besar seperti Ibnu Hajar al-Haitsami, Abdullah bin ‘Atha dan lainnya. Ibnu ‘Atha telah mengungkapkan: “Saya melihat Hakam bin ‘Utaibah yang tersohor di berbagai penjuru dalam ilmu dan fikih, di hadapan Muhammad al-Baqir tunduk dengan santun seperti anak kecil terhadap guru besar, terpana oleh ucapan dan kepribadian beliau.”
Di satu acara pertemuan yang mengundang banyak orang, seorang uskup besar yang sudah sepuh mendekati Imam Baqir dan bertanya: “Apakah Anda dari kaum Nasrani, ataukah muslimin?”
“Muslimin”, sahut beliau.
“Apakah Anda ulama mereka, ataukah orang awam (yang bodoh)?”
“Saya bukan orang awam!”
Seakan ingin mengajak dialog dengan beliau, Uskup berkata, “Saya yang memulai bertanya, ataukah Anda?”
“Anda saja yang bertanya jika Anda mau!”, kata beliau.
Maka dia bertanya, “Apa alasan Anda -sebagai bagian dari muslimin- mengklaim bahwa penghuni surga itu makan dan minum, tapi tidak buang air? Adakah mengenai hal ini sebuah pendekatan yang jelas di dunia ini?”
Imam menjawab, “Ada! Contoh yang jelas di dunia ini ialah janin dalam rahim ibu, ia makan tapi tidak buang air”
“Luar biasa”, ucap si uskup. “Tadi Anda bilang, Anda bukan ulama!”
“Saya tidak bilang begitu. Saya bilang bahwa Saya bukan orang awam!”, bantah Imam.
“Pertanyaan lainnya..”, kata dia.
“Silahkan..”
Si uskup bertanya, “Apa dalil atas keyakinan Anda bahwa buah-buahan dan kenikmatan surga takkan berkurang, walau seberapapun banyaknya yang dimakan tetaplah adanya, dalam utuh tanpa berkurang? Mengenai hal ini, bisakah Anda sebutkan contoh yang jelas dari semua yang ada di dunia ini?”
“Tentu”, jawab Imam tegas. “Contoh jelasnya terdapat di alam inderawi api. Bila Anda menyalakan ratusan lentera sekalipun dari satu lentera yang menyala, nyala api lentera yang pertama tetaplah sebagaimana adanya tanpa terkurang sedikitpun darinya!”.
Tiap soal yang dilontarkan si uskup, semuanya dijawab oleh Imam Baqir dengan jawaban yang memuaskan. Namun, karena merasa dirinya terpojok dengan emosi dia berkata: “Hai orang-orang, apakah kalian sengaja menghadirkan seorang sangat alim yang tingkat ilmu keagamaannya lebih tinggi dan luas dari Saya, supayaSaya jatuh dibuatnya dan muslimin tahu bahwa para pemuka mereka lebih baik dari kami? Demi Tuhan, Saya tidak akan berbicara lagi dengan kalian. Andaipun tahun depan Saya masih hidup, kalian tidak akan menjumpai Saya berada di tengah kalian!”. Sang uskup setelah berkata demikian, berdiri dan langsung keluar.
Mematahkan Penyesatan
Di masa imamah al-Baqir, banyak aliran dan kelompok seperti Mu’tazilah, Khawarij dan Murji`ah yang aktif. Peran beliau sebagai penghalau kokoh yang mendobrak kebatilan berbagai pemikiran, melalui dialog dengan para pemuka aliran keagamaan.
Satu misal, dalam dialog dengan Nafi’ bin Arzaq seorang pemuka Khawarij di majlis beliau, di antaranya beliaumengatakan: “Sampaikan kepada Mariqin (kaum Khawarij), mengapa kalian menghalalkan darah Amirul mu`minin Ali, sementara kalian dahulu mengorbankan darah kalian dalam mentaati dia, dan memandang bahwa membela dia mendekatkan diri kepada Allah?
Mereka akan menjawab, “Ia dihukum Allah!”.
Maka katakan kepada mereka, “Allah dalam syariat Rasul-Nya menghukum dua orang terkait dua kasus;
Pertama, terkait perselisihan antara suami dan isteri.. (QS: an-Nisa 35).
Kedua, terkait keputusan Sa’d bin Mu’adz yang diangkat Rasulullah saw sebagai pemutus perkara antara beliau dan kabilah Yahudi (Bani Quraizhah), dan ia memutuskan sesuai hukum Allah.
Tidak tahukah kalian bahwa Amirul mu`minin Ali menerima pemutusan dengan syarat; dua pemutus perkara harus berdasarkan hukum Alquran dan tidak melampaui batasan Alquran, dan jika pendapat keduanya bertentangan dengan Alquran akan tertolak?
Ketika dikatakan kepada Imam Ali, bahwa orang yang telah beliau tunjuk sebagai pemutus perkara, merugikan beliau sendiri, beliau berkata, “Aku tidak menunjuk dia, tetapi aku menunjuk Alquran sebagai pemutus perkara..”
Jadi, bagaimana bisa kaum Khawarij kemudian memandang sesat terhadap pemutusan Alquran dan tertolaknya kontra Alquran, sementara mereka tidak menyesatkan bid’ah yang telahdibuat oleh mereka sendiri?”
Mendengar perkataan tersebut, Nafi’ mengungkapkan: “Demi Allah, belum pernah aku mendengar perkataan semacam itu dan tak pernah terlintas di benakku..”
Referensi:
1-al-Hayat al-Fikriyah li A`immati Ahlilbait (1)/Rasul Ja’fariyan.
2-Sire-e Pisywayan/Mahdi Pisywai.