Kiat Menemukan Relasi Antara Mengenal Diri dan Mengenal Tuhan
Salah satu pembahasan yang banyak mendapat penekanan dalam teks-teks keagamaan dan sangat terkait dengan pelbagai pengetahuan religius adalah pembahasan ma’rifah nafs dan pengenalan jiwa.
Pembahasan ini juga berhubungan dengan pengenalan eksistensi sumber penciptaan dan tauhid serta tanzih Ilahi dari sekutu. Di sisi lain,juga bertalian dengan pengetahuan tentang sifat-sifat salbi dan tsubuti Zat al-Haqq. Dan melalui ma’rifah nafs dapat dipahami bagaimana hubungan antara Allah dan alam wujud dan bagaimana kemunculan alam dari sisi-Nya. Demikian juga ma’rifah nafs memiliki ikatan fundamental dengan masalah eskatologi. Pengenalan diri juga memiliki peranan penting dalam kajian akhlak dan masalah pembangunan jiwa.
Salah satu kajian penting filsafat yang memiliki peran cukup signifikan dalam kehidupan duniawi dan masalah hari akhir dan kehidupan ukhrawi adalah masalah pengenalan diri dan pengetahuan tentang jiwa. Sejarah pemikiran manusia menunjukkan bahwa masalah ma’rifah nafs mendapat perhatian agama-agama Ilahi dan merupakan salah satu tujuan utama para nabi. Di samping itu, para intelektual dan filosof juga memperhatikan masalah ini sehingga muncullah pelbagai pandangan yang beragam tentang wujud, kekekalan dan kebangkitan nafs(jiwa).
Dalam sumber-sumber teks Islami,baik dalam Alquran al Karim maupun Sunnah muktabar sangat ditekankan tentang urgensi ma’rifah nafs.
Dalam Alquran al Karim pentingnya ma’rifah nafs dijelaskan seperti ini:
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (QS. al Maidah: 105)
Ayat yang mulia ini menegaskan–melalui dalalah muthabiqiyyah[1]–perihal perbaikan diri dan mengarisbawahi–melalui dalalah iltizamiyyah[2]— pentingnya ma’rifah nafs.
Yakni, dalalah muthabiqiyah ayat ini menegaskan perihal pembangunan diri dan perbaikan diri. Dan mengingat bahwa pembanguna diri tidakmungkin terjadi tanpa pengenalan dirimaka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan ayat inipengenalan diriadalah hal yang penting dan suatu keharusan dan memiliki perang pengting dalampembangunan diri.
Pada hakikatnya, ayat ini ingin menegaskan bahwa manusia harus berupaya untuk mengenal dan membangun dirinya, dan tidak boleh kesesatan dan penyimpangan menjadi penghalang pengenalan dan pembangunan dirinya.
Hadis-hadis yang menyinggung masalah urgensi ma’rifah nafs bukan hanya dikategorikan mustafidh (banyak) dan masyhur, bahkan mencapai level tawatur/mutawatir (surplus).Dan di sini kami akan menyebutkan sebagian saja:
Dalam sebagian kelompok riwayat, ma’rifah nafs diperkenalkan sebagai ilmu terbaik, hikmah tertinggi, faktor keagungan suatu urusan,penyebab sampainya seseorang pada puncak setiap ilmu,pemicu pengetahuan tambahan terkait dengan masalah-masalah lain, sebaik-baik pikiran dan pengetahuan,dan sebab keterbebasan seseorang dari ikatan material dan duniawai.
Maka menjadi jelas bahwa ma’rifah nafs dalam pandangan agama Islam memiliki kedudukan yang istimewa dan mendapat perhatian penuh nas-nas religius. Tapi pertanyaannya adalah mengapa ma’rifah nafs begitu penting dan Alquran menegaskan perihal urgensinya?
Dan mengapa riwayat-riwayat Islami memperkenalkan ma’rifah nafs sebagai ilmu dan hikmah terbaik serta penyebab pencapaian hakikat setiap ilmu?
Peran Ma’rifah Nafs dalam Pengenalan Tuhan (Ma’rifatullah)
Ma’rifah nafs mengantarkan seseorang pada pengenalan Sumber Penciptaan, dan hal ini ditegaskan dalam riwayat-riwayat ahlul bait.
Bahkan sebagian riwayat memposisikan ma’rifah nafs sebagai pandamping ma’rifatullah sehingga dinyatakan:
Carilah ilmu meskipun di negeri Cina. Yaitu ilmu ma’rifah nafs karena di dalamnya ada pengetahuan akan Tuhan Yang Maha Mengatur azza wa jalla.
Sebagian riwayat lagi menyamakan ma’rifah nafs dengan ma’rifatullah sebagaimana ditegaskan:
Barangsiapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhan Pengaturnya.
Berdasarkan riwayat ini dapat disusun sistematika cara berpikir logis seperti ini bahwa pengenalan diri akan mengantarkan pada pengenalan Tuhan dan setiappengenalan yang menyebabkan pengetahuan akan Tuhan makaitu merupakan ilmu dan hikmah terbaik serta puncakpengetahuan dan kesempurnaan.
Mukadimah kedua dalil ini adalah sangat jelas dan tidak perlu lagi dibuktikan. Sebab,pengetahuan tentang Tuhan adalah puncak pengetahuan dan titik akhir setiap makrifat dan kesempurnaan, dan segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya pengetahuan seperti ini maka ia pun puncak pengetahuan dan hikmah.
Namun sesuatu yang penting adalah menetapkan mukadimah yang pertama, yaitu bagaimanapengenalan diri menyebabkan pengenalan Tuhan dan apa relasi antaramengenal diri dan mengenalTuhan?
Dengan mencermati dan meneliti kriteria-kriteria jiwa maka akan tampak jelas bahwa terdapat relasi yang kuat dan hubungan langsung antara mengenal diri dan mengenalTuhan. Bahkan dari pelbagai sisi dapat dikatakan bahwa pengenalan diri memiliki konsekuensi pengenalan Tuhan, yakni melalui pengenalan diri prinsip keberadaan Allah pun dapat dipahami. Demikian jugakeesaan Zat-Nya dan hegemoni-Nya atas seluruh alam wujud serta sifat-sifat tsubuti dan salbi-Nya dan sifat-sifat Zat dan perbuatan-Nya pun bisa dimengerti. Dan kami akan menunjukkan contoh yang membuktikan hal ini:
Bila seseorang memperhatikan jiwanya maka dengan mudah ia akan memahami eksistensi Tuhan di alam wujud. Hal ini dapat dijelaskan dengan pelbagai keterangan. Salah satunya dengan penjelasan seperti ini:
Sebagaimana jiwa menjadi pengerak dan pengatur badan, sehingga bila jiwa menghentikan perhatian dan pengaturannya terhadap badan maka badan tyidak akan pernah mampu bergerak sekecil dan sesederhana apapun. Di alam wujud juga demikian, dengan iradah dan ikhtiar-Nya, Allah Swt menciptakan dunia dan bertangggung jawab terhadap pendidikan dan pengaturannya, dan tanpa wujud-Nya maka segala sesuatu tidak akan pernah mampu mewujud dan lestari sebagaimana difirmankan-Nya:
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan Pengatur semesta alam.(QS. al A’raf: 54).
Katakanlah:” Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. (QS. al An’am: 164)
Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS. al An’am: 162).
Muhammad Ishak ‘Arifi
[1] Dalalah muthabiqiyyah dalam logika bermakna indikasi lafal/kata atas seluruh makna yang diletakkan untuknya, seperti indikasi kata rumah atas seluruh bagian-bagiannya.
[2] ِِDalalah iltizamiyyah dalam logika bermakna indikasi lafal/kata atas kelazaiman makna yang menyertainya seperti indikasi kata Hatim atas Hatim ath Tha’i (legenda tokoh dermawan dari kaum Arab).