Mirza Syirazi: Poros dan Pengayom Umat
Bernama lengkap Sayyid Syarif Mirza Muhammad Hasan ibn Mirza Mahmud ibn Mirza Ismail Al-Husaini Al-Syirazi. Di zamannya, ia dikenal dengan gelar-gelar besar seperti; imam, pembaharu, bukti Islam. Dari namanya pula kita tahu tempat kelahirannya, kota Syiraz, Iran, tepatnya pada Jumadil Ula 1230 H. Di kota itu ia memulai pendidikan.
Mirza Syirazi tumbuh di sebuah keluarga yang sudah lama dikenal mulia dan terhormat di kota bersejarah itu. Kemudian ia berhijrah ke Isfahan pada masa dua Syarif yang mulia: Sayyid Muhammad Baqir Al-Rasyti dan Sayyid Shadruddin Al-‘Amili. Di sana ia menjumpai banyak ulama besar. Pada mereka, ia belajar pelbagai ilmu. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Najaf pada tahun 1259 H. Ia begitu cepat akrab dengan para ulama di sana, dan tak henti-hentinya menekuni kuliah-kuliah mereka. Demikian itu dijalaninya hingga ia meraih ijazah ijtihad mutlak dari gurunya; pemimpin Syi’ah dan pengarang kitab besar dan induk fiqih, Al-Jawahir.
Di samping itu, Imam Mirza Syirazi memiliki kelas khusus di bawah bimbingan imam para muhaqqiq; Syeikh Murtadha Al-Anshari. Begitu cepat ia melampaui keunggulan segenap kawan-kawannya. Segera ia berguru pada Syeikh Al-Anshari selama bertahun-tahun sampai sang guru menemui ajalnya. Pada saat itulah masyarakat Syi’ah berada dalam kebingungan dalam menentukan pemimpin umum agama pasca Syeikh Al-Anshari, hingga akhirnya Imam Mirza Syirazi dinilai oleh tokoh-tokoh besar dari murid-murid terbaik beliau sebagai ulama yang paling layak memegang kedudukan tertinggi itu.
Pada tahun 1288 H., Sang Pembaharu Imam Mirza Syirazi menunaikan ibadah Haji ke Baitul Haram Mekkah dan mendapatkan kehormatan ziarah ke tanah suci Madinah dan pusara-pusara nun suci di sana. Dan pada tahun 1291 H, ia berhijrah ke Samarra. Bersama sahabat-sahabat dan murid-murid lulusannya, ia tinggal di kota itu dan mengubahnya bak oase di gurun sahara; menjadi tempat tujuan para penuntut ilmu dan persinggahan alim ulama. Sejumlah ulama besar dan tokoh utama agama yang menimba ilmu darinya. Mereka turut menyebarkan ilmunya melalui forum-forum dan kuliah-kuliah ilmiah, serta mencatatnya di dalam karya-karya mereka yang hingga kini masih mudah ditemukan. (Semoga Allah Swt. membalas mereka dan kita semua dengan semulia-mulianya balasan atas kaum muhsinin).
Sejak itu, Imam Mirza Syirazi tampil aktif sebagai pemimpin tinggi masyarakat Syi’ah. Beliau mengelola dan menangani urusan-urusan sosial-politik mereka. Sementara itu, kalangan tokoh masyarakat dan agama membulatkan kesepakatan mereka atas kesucian jiwa, keluasan ilmu, kekuatan tabah dan hikmatnya. Di antara mereka, tidak ada perselisihan untuk mengagungkan dan mendahulukannya di atas selainnya dan membatasi kewajiban taklid hanya pada dirinya.
Pada saat-saat itu, umat seakan mendapatkan ayah yang penyayang. Mereka terpesona akan kelembutan kasihnya, dan tak segan-segan mencurahkan isi hati mereka kepadanya. Sedangkan Islam dan Syi’ah Imamiyah seolah ditopang oleh kepemimpinan yang bijak, yang menggagas pandangannya demi kepentingan agama dan mazhab ini, dan membiarkan hatinya tetap terjaga demi melindungi keduanya.
Imam Mirza Syirazi kaya akan sifat-sifat mulia. Ia seorang ulama yang tanggap, peka intuisi, tajam pandangan, kuat hapalan, disiplin dalam segenap perkara, pengayom kepentingan masyarakat, berperangai agung, lapang dada, penyantun yang bijaksana, serba zuhud dalam urusan dunia, mencintai apa yang diridhai oleh Allah sedalam-dalamnya. Ia adalah pemimpin agung yang disegani oleh penguasa sombong dan berwibawa di hadapan kaisar perkasa. ‘Kasus Tembakau’ adalah referensi yang cukup memadai. Di dalamnya Inggris melakukan kontrak dagang yang mengikat pemerintahan Iran pada masa dinasti Qajar, yaitu Sultan Nashiruddin Syah.
Kasus ini membuat Mirza Syirazi bangkit lantaran kuatir akan ancaman kekuatan luar yang merusak kemerdekaan, independensi dan kedaulatan Iran. Untuk itu, ia mengeluarkan fatwa yang mengharamkan konsumsi tem-bakau dan rokok; sebagai salah satu upaya perlawanan dan cara menunjukkan kemarahannya atas kontrak yang disepa-kati oleh kedua pemerintahan; Iran dan Inggris.
Berkat fatwa tersebut, gelombang perlawanan masif dari pelbagai lapisan rakyat Iran datang menggoncang dan menggetarkan bumi Persia. Secara serentak, bangsa Iran memboikot segala bentuk transaksi dan konsumsi tembakau. Dalam pandangan mereka, segala bentuk kontrak atas barang ini tak ubahnya dengan tawar-menawar minuman keras yang dilakukan oleh para wali Allah. Mereka begitu komit pada fatwa Imam Mirza Syirazi sehingga kedua pemerintah terdesak, dan akhirnya membatalkan kontrak serta kesepakatan tersebut dengan menanggung segenap kerugian material dan politis.
Demikianlah Allah Swt. menjawab kejahatan orang-orang kafir sehingga tidak mendapatkan sedikit pun keuntungan, dan hanya Dia yang membela kaum mukminin dalam pertempuran. Sesungguhnya Allah Swt. Dzat Yang Mahakuasa.
Jasa besar Imam Mirza Syirazi tersebut disambut limpahan rasa syukur yang terukir melalui tinta dalam buku-buku. Melalui kekuatan tangannya, Allah Swt. telah membukakan pintu-pintu rahmat dan kekayaan alam kaum Muslimin dan meledakkan kandungan-kandungan tambang bumi. Namun, jiwanya yang suci tidak menyentuhnya lantaran kebenciaannya terhadap pujian dan kezuhudannya terhadap barang duniawi serta pengorbanannya dalam memenuhi kepentingan umum dan kemaslahatan umat.
Dalam pengelolaan harta kekayaan, Imam Mirza Syirazi mengutamakan dua golongan; pertama, pelajar dan terpelajar agar dapat menyampaikan kebenaran dan melak-sanakan tugas dakwah secara penuh selekas mereka menamatkan pendidikan di sekolah-sekolah agama, dan kedua adalah orang-orang lemah dan terlantar dari kaum Syi’ah yang menjumpainya dari pelbagai pelosok dunia, seperti anak-anak yatim, kaum fakir miskin dan orang-orang yang terlantar dalam perjalanan.
Imam Mirza Asy-Syirazi menerima dengan senang hati utusan-utusan yang datang untuk mencari per-lindungan di bawah kemurahannya dan menanti baktinya. Ia tak segan-segan memberi lebih banyak dan memuaskan harapan mereka sehingga mereka sendiri terdesak untuk senantiasa mengingat budi baiknya dan menyampaikan rasa syukur kepadanya, selaksa syukur bunga pada hujan. Sejatinya, syukur adalah pengikat nikmat yang ada dan pemancing karunia yang hilang.
Demikianlah Allah Swt. memuliakan Imam Mirza Syirazi melalui ulama-ulama Hauzah yang membantunya secara tulus. Mereka adalah orang-orang cerdas dan ber-pandangan cermat, terlebih semangat berbakti yang mengungguli setiap pikiran yang luas dan hati yang sigap. Di antara mereka, Sayyid Hasan Al-Shadr merupakan pusat kecermatan dan referensi pandangan mereka tatkala diuji oleh guru besar mereka.
Sayyid Hasan Ash-Shadr adalah pembantu terdekat Imam Mirza Syirazi. Ia menuluskan jiwanya dengan kecintaan kepadanya. Oleh sang guru, ia dipandang secara khusus dan ditempatkan menjadi bagian hatinya dan tempat pengaduan rahasianya sebelum dikemukakan di meja musyawarah. Imam Mirza Syirazi begitu percaya pada ketulusan itikad dan ketajaman pandangannya, kemudian ia menawarkan keputusannya kepada musyawarah sebagai majelis kebijakan dalam menangani kepentingan umum dan tugas sosial.
Akhirnya, Imam Mirza Syirazi wafat di Samarra pada malam Rabu, 24 Sya’ban 1312 H. Iringan jenazahnya berjalan dari Samarra sampai ke Najaf. Setiap warga kota-kota dan desa-desa di sepanjang iringan menyambut jenazah Sang Guru Pembaharu secara bersambung silih berganti dan bergerak seolah limpahan deras dari lautan manusia yang tak ada taranya. Setiap orang berebut celah untuk dapat menyentuh dan mendapatkan kehormatan dan berkah dari jenazah yang mulia. Secara serempak, semua mengumandangkan “Al-Wafa’, Al-Wafa’”, seakan teriakan kawanan besar gembala yang kehausan. Dari empat penjuru jenazahnya, mereka mengukuhkan ikrar kesetiaan kepada para pemilik pusara-pusara suci.
Di empat haram Imam-imam maksum a.s., mereka senantiasa memanjatkan shalawat dan salam untuknya. Pemandangan ini tampak khidmat dan mengharukan tatkala warga di Baghdad, kota-kota suci Imam-imam maksum a.s. dan sekitarnya, khususnya warga kota Najaf menyambut kedatangan jenazah. Jajaran terdepan dari jenazah adalah para ulama-ulama terkemuka, tokoh-tokoh masyarakat, lalu sesepuh-sesepuh suku dan kepala-kepala kabilah, kemudian masyarakat umum. (AFH)