Maqam Sayidina Husain dalam Pandangan Para Sufi
این حسیــن کیست که عالــم همه دیــوانه اوست
این چه شمعی است که جانها همه پروانه اوست
Siapa gerangan Husain yang alam tergila-gila padanya
Ini lilin/lentera apa yang setiap jiwa siap menjadi capung yang mengelilinginya
Saat datang bulan Muharam, sebagian ahli tarekat melakukan tradisi “mutih”, yakni mereka menghindari mengkonsumsi makanan yang mengandung hewani sehingga mereka lebih khusuk saat menghadiri majelis duka dan haul Imam Husain. Sehingga terkenallah istilah “روضه” (raudah) yang diambil dari kitab ”Raudah Syuhada”, karya Mulla Wa’izh Kasyifi, salah satu sufi dan ‘arif masa Shafawiyyah dan termasuk pembesar tarekat Naqsyabandiyyah, dan juga diambil dari keluarga Jami.
Maulana Jalaludin Rumi menilai bahwa Imam Husain dan para syuhada Karbala adalah orang-orang yang mendiami surga wishal (pertemuan) Haqq Swt. Mereka mencapai maqam ini setelah sebelumnya mereka berhasil menghancurkan sangkar dunia sehingga mereka mampu melakukan penerbangan abadi menuju Sang Kekasih. Imam Husain adalah matahari yang menerangi kafilah yang sampai kepada haribaan Sang Mahacinta. Sebab, akar pohon wujudnya berasal dari Zat suci Ilahi.
Menurut para sufi, surga itu ada dua macam: surga umum dan surga khusus. Surga umum adalah surga yang di dalamnya terjadi praktik makan-minum dan pernikahan, dan surga ini dikhususkan bagi hamba-hamba yang umum. Sedangkan surga khusus adalah adalah maqam liqa (perjumpaan), wishal (perihal sampai), dan musyahadah (menyaksikan) Haqq. Dan ini adalah surga hamba-hamba yang khusus.[1] Dalam pandangan para sufi, Sayyidu Syuhada, Imam Husain senantiasa merasakan dorongan kerinduan Ilahi sehingga beliau selalu menuntut ketinggian/kesempurnaan lalu Allah pun menerima wishal dengannya.
Dalam pandangan ‘urafa, dalam sistem alam wujud, manusia adalah saripati eksistensi dan saripati manusia adalah hati.[2] Hati pada hakikatnya adalah arasy Allah dan demikian juga Husain yang senantiasa melakukan perjalanan spiritual dan mikraj ke sumber yang paling tinggi. Dalam ghazal 230 “Diwan Syams”, Imam Husain diserupakan dengan bandul timbangan/parameter yang hati diletakkan dalam posisi yang tinggi yang seluruh amalan dan keadaan serta maqam wujud manusia tergantung padanya.
Kontras sekali maqam Imam Husain dengan Yazid yang merupakan simbol firaq (keterpisahan) dan kejauhan dengan al-Haqq, Jalla Jalaluh. Bila Husain adalah simbol kesempurnaan jiwa maka Yazid adalah simbol kecacatan/kerusakan jiwa. Bila Husain adalah simbol kecerdasan/ilmu maka Yazid adalah simbol kebodohan/kejahilan. Bila Husain simbol ketaatan (ibadah) maka Yazid adalah simbol kemaksiatan (dosa).Bila Husain simbolkasih sayang/perdamaian maka Yazid adalah simbol kekerasan/peperangan.
Hujwiri dalam kitab “کشف المحجوب” (Kasy al Mahjub) meratapi Imam Husain dengan menulis: Lentera keluarga Muhammad dan penghulu zamannya Abu Abdillah Husain bin Ali bin Abi Thalib—radhiyallahu ‘anhu—termasuk wali terkemuka. Kiblat (teladan) mereka yang tertimpa bencana dan yang terbunuh di padang Karbala. Beliau benar-benar lakon kisah ini dan semua sepakat perihal tragedi yang menimpanya. Kalau kebenaran ditegakkan, pasti beliau akan mengikutinya. Namun karena kebenaran hilang di tengah umat maka beliau memilih untuk mengangkat pedang dan beliau mengorbankan jiwa sucinya dan gugur sebagai syahid fi sabilillah.
Mirza Jawad Malki Tabrizi, seorang ‘arif besar kontemporer dalam kitab “al Muraqabat” mengatakan: “Duduklah kalian di majelis duka Imam Husain saat bulan Muharam. Lakukanlah khalwat bersamanya dan sebutlah namanya dalam kesunyian. Kurangilah makan dan minum. Jangan banyak bicara yang tidak perlu dan bacalah doa ziarah Asyura untuknya.”
Syekh Faridudin ‘Athar Naisyaburi (537-628), seorang ‘arif kesohor dalam dua kasidahnya secara khusus memuji Hasanain (Imam Hasan dan Imam Husain). Sehubungan dengan Imam Husain, ‘Athar berkata: Semoga Allah melaknat orang-orang kafir yang membuat syahid putra dari putri Rasulullah saw. Kemudian ‘Athar berandai-andai: Andaikan aku bisa menjadi gunung yang kokoh bagi Husain saat itu sehingga aku dapat mengorbankan jiwaku untuknya. ‘Athar menilai bahwa siapapun yang menerima Yazid dan tidak mempersoalkannya adalah orang yang kafir dan tidak beragama. Bahkan ‘Athar berharap hadir di zaman itu sehingga ia dapat membela Imam Husain.
Menurut ‘Athar, Husain dan seluruh sahabatnya adalah ahli yakin, sehingga dalam naungan keyakinan ini mereka mendapatkan rida al-Haqq, dan secara zahir dan batin mereka mencapai maqam fana. Dalam pandangan ‘Athar, sangat sedikit ‘asyiq (pencinta) seperti Imam Husain yang bergerak dalam rangka mencari negeri cinta. Sebab, Husain mampu menyandingkan suluk ‘irfani-nya dengan kesyahidan. Dan menurut hemat ‘Athar, sebaik-baik sufi/’arif adalah orang yang mampu melalui jalan Husain dan mengakhiri perjalanan sufistiknya dengan kesyahidan.
Abdurrahman Jami (817-898), seorang fakih dan ‘arif mazhab Hanafi abad kesembilan Hijriah menganggap dirinya sebagai pemuji ahlul bait dan beliau menampakkan kecintaannya kepada keluarga dan sahabat Nabi saw, sehingga ketika tuduhan Rafidhi mengemuka, beliau dengan lantang mengatakan: Bila kecintaan kepada keluarga Nabi saw dianggap sebagai Rafidhi (menolak kebenaran dan yang tersesat) maka saksikan semua bahwa aku Jami adalah Rafidhi karena kecintaanku kepada putra-putra Fatimah.
Jami Memberikan perhatian besar terhadap peristiwa Karbala. Beliau menegaskan bahwa Husain dan para pengikutnya adalah ahli surga, sedangkan Yazid dan para pengikutnya adalah ahli neraka. Oleh karena itu, beliau mengharuskan untuk melaknat Yazid dan menunjukkan kebencian pada Yazid dinilainya sebagai bagian dari tarekat Ilahi. Sebab menurut hemat Abdurrahman Jami, kecintaan kepada Husain adalah tanda keimanan dan kebencian padanya adalah tanda kekufuran.
Jadi, Imam Husain adalah ahli tarekat dan telah sampai pada hakikat. Melalui ketajaman mata batin dan kecemerlangan basirahnya, beliau membaca bahwa perjuangan dan kebangkitannya akan memberikan angin segar perubahan terhadap Islam dan akan mengembalikan kebenaran ke tempat asalnya. Dan gerakan dan revolusi yang dipeloporinya berangkat dari motivasi tauhid karena beliau adalah muwahhid sejati. Semua gerakannya karena Allah Swt dan tidak ada sedikit pun dorongan dunia dan hawa nafsu karena bagi muwahhid sejati yang dilihat dan dituju hanya Allah dan rida-Nya. Dan perjalanan menuju Karbala adalah perjalanan menuju rida Allah.
Muhammad Ghazali
[1] Syekh Shafiyuddin Ardibili, Sofwah ash-Shofa, hal. 437-438.
[2] Syekh Shafiyuddin Ardibili, Sofwah ash Shafa,hal. 443.