Masyarakat Sebagai Ruang Aktualiasi Keadilan
Fardiana Fikria Qurany
Tema keadilan merupakan tema yang sentral dalam kehidupan sosial manusia. Di Yunani Kuno, seorang Filsuf besar, Platon, dalam bukunya Republic ia memiliki ulasan panjang soal keadilan yang diletakkannya sebagai pusat keseimbangan kehidupan sosial.
Teori sosial-politik Platon berakar pada filsafat jiwa yang dikembangkannya. Jiwa, ungkap Platon, terbagi ke dalam tiga bagian yang sesuai dengan kapasitas alami yang dimilikinya dan juga yang membedakannya dari segala makhluk hidup lainnya. Yang pertama dari ketiga bagian itu ialah pikiran (reason) atau akal (nous) yang merupakan dimensi rasional (to logistikon), yang kedua ialah semangat (spirit) atau keberanian (thumos) yang merupakan bagian keberanian (to thymoeides), dan yang ketiga ialah selera (appetite), nafsu atau kebutuhan (epithumia) yang merupakan bagian keinginan (to epithymêtikon).
Ketiga dimensi jiwa manusia di atas, oleh Platon dalam aktualitasnya akan menghasilkan empat kebajikan pokok (cardinal virtues) atau juga disebut sebagai moralitas jiwa (soul’s morality) atau keutamaan (excellence). Keempat kebajikan pokok itu ialah, 1) kebijaksanaan atau kearifan (wisdom) yang dihubungkan dengan aktulitas akal, 2) keperkasaan (courage) yang menjadi aktualitas semangat dan keberanian, dan kemudian 3) pengendalian diri (temperance) yang dihubungan dengan nafsu dan selera, 4) keadilan, dimana keadilan merupakan keseimbangan kerja setiap dimensi dan aktualitas jiwa.
Negara menurut Platon, tak ubahnya sebuah jiwa kolektif, yang di dalamnya mesti terdapat 3 dimensi sosial, yang berhubungan (tepatnya menjadi perangkat) bagi munculnya 4 kebajikan. Kebijaksanaan dan kearifan haruslah menjadi kebajikan pokok bagi kelas penguasa yang terdiri dari para cendekiawan atau para filosof itu; keperkasaan haruslah menjadi moralitas jiwa bagi para pembantu yaitu militer; sedangkan pengendalian diri haruslah menjadi keutamaan bagi semua kelas, karena ia merupakan persetujuan umum; dan yang terakhir yang harus menjadi kebajikan pokok, moralitas jiwa atau keutamaan bagi seluruh kelas untuk melaksanakan semua spesialisasi dalam Negara ialah keadilan. Maka, keadilan sebagai juga statemen Rawls, bahwa keadilan adalah tujuan utama bermasyarakat sebagaimana kebenaran adalah tujuan pengetahuan.
Kritik Negara Platon
Sekilas dapat kita terima suatu idealitas negara ala Platon di atas. Namun perlu kita cermati bahwa kelas-kelas sosial yang dibangun dalam negara di atas menyisakan soal, dimana aspek rasionalitas semata terpusat pada kepemimpinan, sebaliknya dimana keberanian dan semangat terpusat pada kelas di bawahnya, terlebih nafsu dan selera juga menjadi corak bagi kelas di bawahnya lagi. Maka yang terjadi adalah, ranah kejiwaan yang universal dimiliki manusia dalam terlembagakan secara parsial-dikotomik di dalam negara.
Sehingga format negara Platonian ini mengandung potensi munculnya rezimentasi (bahkan boleh jadi otoritarianisme) dimana kepemimpinan dengan klaim kebijaksanaannya dan sementara kelas di bahwanya dianggap tak lebih bijaksana darinya, maka kebijaksanaan menjadi dogma kekuasaan, dan yang bertentangan dengannya adalah bertentangan dengan kebenaran.
Maka, keadilan dalam struktur filsafat jiwa Platon, hanya mungkin bila justru negara dihadirkan sebagai lembaga terbuka (demokratis) yang hak-hak kemanusiaan (3 dimensi jiwa manusia) terjaga secara resmi di dalamnya sebagai sebuah dokumen kesepakatan atau konstitusi (nomokrasi). Artinya negara bukanlah kuasa atas sekelompok orang dengan pangkat intelektual tertentu, meskipun negara mesti direkayasa dan dikonstruksi dalam tatanan sistemnya secara rasional.
Negara merupakan kelembagaan sosial tertinggi dalam masyarakat. Sementara masyarakat adalah hubungan-interaksi antar individu-individu. Sehingga dalam interaksi tersebut tersublimasi dimensi-dimensi rasional, semangat, selera masing-masing individu sehingga melahirkan kesepakatan-kesepakatan dan lantas kesepakatan-kesepatakan tersebut dikristalisasi dalam satu tatanan kelembagaan bernama negara. Sehingga negara dalam arti logisnya tiada lain sebagai ruang sosial diskursif yang memenuhi hak-hak manusia baik secara sosial maupun individual.
Sebagaimana rumusan Platon mengenai 3 dimensi jiwa di atas, dalam konteks hubungannya dengan negara, maka negara mesti menjamin dan bahkan menumbuhkan jiwa-jiwa rasional penduduknya dan tidak mengekangkannya dengan alasan ketertiban, keamanan atau bahkan alasan demi terjaganya sebuah ideologi bangsa. Justru sebaliknya ideologi suatu negara akan makin kokoh saat memperoleh kekuatan rasionalitas masyarakat.
Begitupun, jiwa keberanian masyarakat untuk mengekspresikan pikiran dan kehendaknya, selera dan preferensi individualnya merupakan hak-hak yang perlu dijaga oleh negara sebagai ruang aktualisasi keadilan. Maka, keadilan sesungguhnya untuk pertama kalinya adalah terkait dengan kebebasan manusia untuk tumbuh berkembang dengan seluruh potensialitas dirinya (jiwa-raga).
Hukum Islam: Kemaslahatan Sebagai Praksis Keadilan
Islam sebagai ajaran teologis juga menaruk perhatian yang besar dalam kerangka kehidupan sosial dengan prinsip kemaslahatan. Bahkan dikatakan dalam sebuah diktum filsafat hukum fiqh dikatakan“al hukmu manuthun bil maslahah” (bahwa hukum bergantung kepada kemaslahatan).
Kemaslahatan kemanusiaan tersebut lalu dikemukakan lebih tegas lagi 5 bentuk hikmat dari tujuan syariat agama diturunkan, yang lazim dikenal sebagai Hikmatus Tasyri’: 1) hifdzul a’ql: menjaga akal, dimana segala sesuatu dibolehkan dan bahkan diwajibkan sejauh dapat meningkatkan akal budi manusia seperti kewajiban menuntut ilmu. 2) hifdzul nafs: menjaga nyawa, setiap kebijakan sosial maupun hukum keagamaan berfungsi untuk menjaga kelestarian hidup manusia. kalaupun sebuah hukuman mati dimungkinkan maka hukum tersebut mesti dikukuhkan sebagai upaya untuk menjaga kehidupan yang jauh lebih besar lagi bagi kemanusiaan. 3) hifdzun nasab: menjaga keturunan, keberlangsungan keturunan manusia amat penting bagi tumbuhnya regenerasi yang sehat, maka negara mesti terlibat dalam melindungi kehidupan (ketahanan) keluarga, termasuk atensi terhadap kesehatan reproduksi bagi setiap keluarga. 4) hifdzud din: menjaga agama (akidah), sudah barang pasti bahwa hukum keagamaan akan melindungi fundamen dasar keagamaannya.
Soal keagamaan, tidak hanya ekslusif dalam hukum Islam belaka, namun negara merupakan entitas bersama atas seluruh identitas yang melekat pada penduduknya maka negara pun turut bertanggungjawab atas martabat keagamaan dengan melindunginya dari segala hal yang akan menodainya. Meskipun negara tidak berhak ikut campur dalam menentukan corak berpikir dalam agama itu sendiri.