Karena Cinta, Kita Saling Mengasihi
Fardiana Fikria Qurany
Cinta itu buta, demikian banyak orang berucap untuk menggambarkan saat seseorang tengah mabuk cinta. Buta bukan karena mata fisik ini tak melihat apa-apa, melainkan cara pandang yang tak lagi sama sebagaimana umumnya orang memandang. Sehingga buta dalam cinta adalah soal cara pandang, dan bukan ketiadaan pandangan.
Maka, cinta dengan begitu ia akan membentuk cara pandang. Sebuah cara pandang yang mungkin akan berseberangan dengan umumnya orang berpandangan. Bukan dalam konteks benar-salah, tapi cinta berkaitan dengan keluasan seseorang menerima sesuatu meskipun sesuatu tersebut berkekurangan.
Cinta tak bisa didefinisikan, demikian banyak orang berkata, tapi bukan saja tak bisa didefinisikan, melainkan tidak perlu didefinisikan. Jika definisi berfungsi menjelaskan suatu hal yang kurang jelas, apakah ada sesuatu yang bisa lebih jelas dari cinta?
Dalam tradisi filsafat Islam dikenal suatu bentuk ilmu sejauh dalam konteks hubungan subyek dengan obyeknya yang menyatu padu tanpa perantara yakni ilmu hudhuri. Satu kondisi dimana jiwa atau akal kita menerima langsung kehadiran realitas obyeknya. Dalam hal ini ilmu adalah wujud. Demikian juga dengan cinta, saat seseorang merasakannya dalam dirinya maka dengan serta merta ia mendapati dirinya yang sedang jatuh cinta.
Mula-mula yang kita kenali soal cinta mestilah cinta akan sesuatu, artinya kita telah terhubung dalam relasi antara kita yang mencintai dan sesuatu yang kita cintai. Apa yang kita sadari adalah bahwa kita sedang mencintai sesuatu. Berikutnya, kemampuan rasional kita mengabstraksi cinta sebagai cinta tanpa keterkaitannya dengan sesuatu yang dicintai. Cinta sebagai cinta ia adalah eksistensi jiwa. Yakni kondisi jiwa yang dengan rela dan tulus menerima kehadiran sesuatu, menginginkannya dan bahkan mencita-citakannya.
Cinta Sebagai Daya Tarik Jiwa
Maka cinta adalah daya tarik jiwa yang menerima, yang berarti dengan cinta jiwa hendak menyatu dengan kenyataan atau sesuatu yang dicintainya. Demikian, maka cinta adalah eksistensi jiwa. Sebaliknya, kebencian, adalah sikap penolakan jiwa atas sesuatu, maka kebencian tidaklah eksis sebagai realitas jiwa, ia hanyalah negasi dari cinta. Sehingga jiwa sebagai eksistensi dan cinta sebagai pola/forma dan karakeristik utamanya, selalu bertendensi menyatu dengan kenyataan.
Cinta membangun ikatan, meleburkan subyek dan obyek. Cinta melihat yang lain sebagaimana ia melihat dirinya. Maka cinta lebih banyak melihat sisi kesamaan daripada perbedaan. Saat seseorang menerima kehadiran orang lain, itu pasti karena ia melihat sisi yang sama dirinya dengan diri orang lain tersebut, yakni sama-sama manusia yang memiliki hati nurani.
Maka, cinta pun berbeda-beda dalam derajat dan kapasitasnya, bergantung pada pencapaian (kesadaran) akan eksistensinya. Jika seseorang masih pada kesadaran akan dirinya yang berkepentingan akan urusan-urusan kenikmatan duniawi, maka kualitas cinta yang dibangunnya pun berkisar soal duniawi, sehingga ikatan sosial yang dibangunya berdasar kepentingan duniawi.
Begitu sebaliknya, saat seseorang sampai pada kesadaran tertinggi akan eksistensinya, yakni kesadaran spiritual, sebuah kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam keseluruhan manifestasiNya di alam, maka visi cinta seseorang tersebut tak akan lagi membatasi diri pada kepentingan duniawi. Baginya membangun ikatan cinta adalah membangun kemanusiaan yang saling tolong-menolong di dalam kebaikan.
Kebaikan Universal Sebagai Aktualitas Cinta
Cinta sebagai eksistensi jiwa hendak menemukan aktualitasnya di realitas. Maka tentu saja aktualitas cinta bergantung pada tingkat kesadaran eksistensial manusia sendiri. Namun cinta sejati adalah cinta yang mengarahkan dirinya pada sumbernya: Tuhan. Sehingga aktualitas cinta sejati adalah suatu manifestasi akan sifat-sifat ilahiah di alam.
Kaum sufi meyakini kebaikan sebagai realitas hakiki, sementara keburukan tak memiliki eksistensi, karena apa yang kita sebut sebagai keburukan, pada faktanya ia adalah kutub terjauh dan terendah dari gradasi kebaikan itu sendiri. Karena keburukan terjadi oleh adanya cinta dalam diri yang hanya berpusak pada kepentingan egosentrisme; kerakusan, kekikiran, hasad, hasud, dengki dan sebagainya.
Maka, agama begitu appresiatif pada amal kebaikan manusia lantaran perbuatannya tersebut didasari oleh kesadarannya sehingga dapat mengungguli bahkan para malaikat, namun di sini lain mengecam perbuatan buruk dan bahkan memposisikan manusia bisa jadi berada di bawah derajat hewan karena dengan kesadaran etisnya masih bisa berbuat buruk.
Dengan kebaikan sebagai hakikat realitas, maka cinta selalu menginginkan kebaikan itu sendiri. Sebagaimana terungkap di atas, level pemahaman akan kebaikan—dari yang masih egoistik-individual dan material, hingga kepada yang spiritual dan sosial—akan menentukan jenis tingkatan kebaikan mana yang hendak diraih oleh cinta.
Makin tinggi kesadaran cinta seseorang, makin kuat tekadnya untuk mempersembahkan kebaikan, dan makin jauh dirinya dari derajat cinta rendahan yang hanya ingin memuaskan selera biologis, kepentingan sesaat dan indikasi duniawi lainnya.
Mencintai Karya Tuhan yang Maha Rahman
Sekian banyak nama-nama Allah, namun yang paling sering dan bahkan sebagai pembuka bacaan surat-surat dalam al Quran adalah Ar Rahman, artinya nama Ar Rahman ini adalah nama yang pengertiannya sangat dengat dengan Allah sebagai Ismu Dzat, karena sifat utama (yang mendominasi) dzat Tuhan adalah cinta atau kasih sayangNya sendiri.
Kata Rahman termasuk derivasinya Rahmat memiliki keluasan yang tiada batas sehingga secara niscaya mengungguli kemarahanNya, rohmati wasi’at min ghodhobi,. Maka cinta (rahmat) Tuhan pasti akan menerima segalanya (ciptaan yang diciptakannya karena RahmatNya) dan memberi segalanya (memberi rahmat kepada seluruh semesta).
Maka dengan falsafah cinta dari keluasan rahmatNya, manusia yang tinggi derajat kemanusiaannya adalah dia yang sanggup menerima segala perbedaan dengan ketulusan cintanya tanpa memandang atribut-atribut identitas bahkan agama sekalipun. Karena dia sadar yang dia cintai adalah karya Tuhan yang Maha Rahman.