Mendakwahkan Kebenaran dengan Cara Paksa
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya kamu tidak memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih tahu orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Qashash [28]: 56).
Dari makna redaksikal, ayat ini dalam rangka menghibur Nabi Muhammad SAW yang sangat mengharapkan orang-orang beriman pada kebenaran agama Allah. Ayat serupa juga dapat dijumpai di surah Yusuf [12]: 103, “Dan kebanyakan manusia itu, betapapun engkau sangat menginginkan, tidak beriman.” Yakni, wahai Nabi, betapapun besarnya keinginanmu agar mereka mendapatkan hidayah, tetap saja kebanyakan mereka itu tidak beriman. Karena itu, dalam ayat ini mengingatkan Nabi SAW bahwa berimannya seseorang bukan di tangan Nabi. Di ayat lain dinyatakan, “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah Dialah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki” (QS. Al-baqarah [2]: 272).
Lantas, apa peran nabi dan mengubah dan membangun pribadi dan masyarakat beriman?
Seorang nabi, apalagi orang-orang di bawah kualitas nabi, tidak akan mampu dengan cara apa pun membuat seseorang menjadi beriman. Nabi bisa saja membuat orang beriman dengan pemaksaan dan kekerasan, tetapi cara-cara itu, selain tidak bijaksana, tidak akan berpengaruh apa-apa, karena iman itu terkait dengan hal-hal yang gaib/batin (QS. Al-Baqarah [2]: 3) dan terletak di batin hati (QS. Al-Maidah [5]: 41; QS. Al-Hujurat [49]: 14).
Hati seseorang tidak bisa dijangkau oleh siapapun selain orang itu sendiri dan, tentunya Sang Pencipta manusia. Maka, hati tidak bisa dipaksa-paksa. Keputusan hati hanya akan jatuh bilamana hati dalam keadaan nyaman dan yakin. Kalaupun cara-cara paksa dan kasar itu dilakukan, dampaknya hanya di luar hati, yakni orang hanya menjadi beriman secara lahiriah atau pura-pura.
Cara bijak dalam menyerukan dan meyakinkan kebenaran Islam ialah, pertama, tidak ada pemaksaan, “Tidak ada pemaksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas kebenaran dari kesesatan” (QS. Al-Baqarah [2]: 256).
Untuk memastikan tidak ada pemaksaan dan kekerasan, Allah menunjukkan tiga cara damai dan berperikemanusiaan: cara kebijaksanaan (hikmah), nasihat dan persuasi yang baik (mauidhah hasanah), dan debat terbaik (jidal ahsan). Disebutkan, “Berserulah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan, nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang itulah terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Nahl [16]: 125).
Nabi hanyalah menjelaskan mana yang benar mana yang salah. Peran dan kewajiban yang harus ditunaikan nabi dalam meyampaikan agama Allah ialah menjelaskan dan menunjukkan jalan. Itu saja. Adapun berada di atas jalan dan mencapai tujuan di ujung jalan adalah ketentuan mahabijak Allah SWT.
Selanjutnya, muncul pertanyaan:
1. Apa berimannya seseorang itu sepenuhnya ditentukan oleh takdir Allah?
2. Apa peran manusia dalam menjadi beriman atau tidak beriman?
Takdir Allah SWT yaitu tindakan-Nya dalam menentukan terjadinya segala sesuatu, termasuk terjadinya perbuatan manusia, baik yang didasari kehendak bebas ataupun di luar kehendak bebasnya. Ketentuan dan takdir Allah merupakan perwujudan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas.
Jika orang beriman atau menjadi kafir itu karena takdir Allah SWT, maka dia tidak tidak bisa dipertanggungjawabkan karena kekafirannya juga tidak bisa diganjar mulia karena keimanannya. Ini tentu tidak sesuai dengan kebijaksanaan Allah itu sendiri yang juga terdapat dalam takdir-Nya. Maka, takdir Allah Yang Maha Bijaksana pasti mengakui peran kehendak manusia dalam kenyataan dirinya menjadi beriman atau menjadi kafir.
Maka, menjadi muslim adalah ketetapan dan kehendak Allah SWT, yakni takdir Allah, pada seseorang. Lalu, bagaimana Tuhan dan manusia sama-sama menentukan suatu kejadian seperti perubahan seseorang menjadi muslim dan beriman? Apakah kehendak manusia menggeser atau membatasi kehendak Tuhan?
Singkat saja, dua kehendak ini, Tuhan dan manusia, tidak sejajar, tidak berada sebagai dua kekuatan kehendak yang saling bersaing dan berhadapan. Dua kehendak ini berada sejulur; yang satu di atas yang lain. Dalam kejadian apa pun, pasti ada kehendak atau takdir Tuhan. Namun, kehendak Tuhan Yang Maha Bijaksana tidak sama berlaku pada setiap kejadian. Seperti kita, manusia, memperlakukan tidak sama segala sesuatu. Sebagai manusia bijaksana, kita akan memperlakukan segala sesuatu sesuai kapasitasnya masing-masing. Pada kasus kecil, misalnya, cara kita jadi berbeda dalam mengubah posisi batu sebagai benda mati dan posisi anak remaja sebagai makhluk hidup dan akil baligh.
Demikian pula dalam memberlakukan takdir dan kehendak-Nya pada segala sesuatu, Allah tidak melakukan dengan cara yang sama. Kehendak Allah agar terjadinya peristiwa alami suatu benda yang mati akan berbeda dengan kehendak-Nya agar terjadinya peristiwa, yakni perbuatan, yang berasal dari makhluk hidup yang berkehendak bebas. Maka, takdir Allah dalam peristiwa (perbuatan bebas) ini yaitu Dia menghendaki terjadinya perbuatan bebas itu dengan kehendak bebas pelakunya (manusia). Dan beriman atau mengubah iman (dari luar Islam ke Islam atau sebaliknya) adalah perbuatan bebas seseorang yang bergantung sepenuhnya pada kehendak dan takdir Allah bahwa perbuatan bebas (beriman dan mengubah iman) itu hanya akan terjadi bila melibatkan kehendak pelakunya. Maka, menjadi muslim atau menjadi kafir adalah pilihan dan ketetapan dari kehendak bebas manusia, dan demikian inilah takdir dan kehendak Allah dalam cara seseorang menjadi muslim dan menentukan imannya.
Karena itu, ayat di atas pada dasarnya bukan hanya tidak mendukung kesimpulan itu, tetapi justru menegaskan bahwa menjadi muslim merupakan kehendak dan takdir Allah bahwa perbuatan bebas itu (menjadi muslim) hanya terjadi beserta kehendak orang yang ingin menjadi muslim. Selama hati orang itu tidak menginginkan menjadi menjadi muslim, maka dia tidak akan menjadi muslim.[af]