Syiar Majelis Takziyah Imam Husain Menurut Imam Baqir
Syiar resmi takziyah kepada sesama pada hari-hari duka Abu Abdillah a.s. sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam Baqir a.s. adalah sebagai berikut:
عَظَّمَ اللَّهُ اجورَنا بِمُصابِنا بِالحُسَینِ علیه السلام، وجَعَلَنا وإیّاکُم مِنَ الطّالِبینَ بِثَأرِهِ مَعَ وَلِیِّهِ الإِمامِ المَهدِیِّ مِن آلِ مُحَمَّدٍ صلى الله علیه و آله
“Semoga Allah mengagungkan pahala kita atas musibah yang menimpa Al-Husain dan menjadikan kita dan kalian sebagai penuntut balas darah Al-Husain bersama Imam Mahdi dari keluarga Muhammad saw.”[1]
Dari syiar ini kita diperintahkan untuk selalu menghidupkan kebangkitan Asyura dan menggelar majelis-majelis mengenang Imam Husain a.s.
Syiar resmi dari Imam Baqir a.s. ini dapat disimpulkan dalam dua bagian:
1- Harapan supaya acara-acara takziyah yang diselenggarakan dan harus diselenggarakan ini diterima oleh Allah swt., karena acara-acara itu mengandung sisi ibadah.
2- Dimensi perjuangan atau jihad, artinya semoga Allah swt memberikan taufik-Nya kepada kita untuk menuntut balas darah Imam Husain a.s. yang tertumpah.
Bagian pertama artinya jelas bahwa penyelenggaraan takziyah Imam Husain a.s. mengandung sisi ibadah. Oleh karena itu, harus berasal dari harta yang halal, berniat qurbatan ilallah, memohon supaya dapat diselenggarakan dan diterima di sisi Allah swt.
Adapun bagian kedua, apa maksudnya kita memohon taufik dari Allah swt untuk menuntut balas darah Imam Husain a.s.?
Pasca peristiwa Karbala, beberapa kelompok orang yang menyebut diri sebagai kelompok Tawwabin melakukan kebangkitan. Kebangkitan Mukhtar dan selainnya telah membinasakan sebagian dari para pembunuh keluarga suci pada hari Asyura atau orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sebagian juga telah mati tertimpa azab Ilahi. Saat ini mereka tidak tersisa lagi di atas muka bumi.
Lantas apa maksudnya? Dan apa hubungannya dengan kita? Terkait orang yang terbunuh, bukankah pihak keluarga yang akan menuntut dan membalaskan darahnya?[2]
Inilah dua pertanyaan yang terdapat dalam syiar tersebut.
Berkenaan dengan pembahasan pertama dapat dikatakan bahwa peristiwa yang terjadi pada Husain bin Ali kembali kepada legal personality (personalitas hukum), bukan real personality (kepribadian hakiki) dari beliau a.s. sebagai person hakiki putera Ali bin Abi Thalib seperti putera-putera lainnya juga. Imam Husain a.s. sebagai person hakiki adalah manusia biasa yang juga tercakup dalam ayat “کُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَهُ الْمَوْتِ”, yaitu akan merasakan kematian seperti manusia lainnya.[3]
Sisi legal personality Husain adalah imamah (kepemimpinan) beliau a.s. Mereka tidak memerangi Husain sebagai pribadi biasa, namun mereka berperang dengan Husain sebagai putera Nabi saw. dan pemilik imamah. Maka dengan demikian, musuh memiliki konflik dengan imamah, bukan dengan person Husain.
Saat masih di Madinah misalnya, sosok suci Abu Abdillah tidak mengucapkan, “Ketika Yazid berkuasa, Islam harus dibacakan Fatihah”, namun Imam Husain a.s. menyatakan bahwa jika umat dipimpin oleh orang seperti Yazid, Fatihah harus dibacakan untuk Islam.
Maka di sini terdapat dua hal yang harus diingat: Pertama, personalitas hukum Al-Husain a.s. kembali kepada masalah imamah. Kedua, Imam Husain a.s. telah menentukan taklif seluruh umat Islam hingga hari kiamat bahwa ketika orang seperti Yazid menjadi pemimpin, tidak boleh tinggal diam.
Maka pembahasan utama bukan terkait dengan sosok Husain dan Yazid, tapi orang yang seperti Yazid, siapa pun orangnya. Dengan kata lain, topik utamanya berkenaan dengan kebenaran dan kebatilan, kejujuran dan kedustaan, kebaikan dan keburukan dan seterusnya.
Yang menjadi pertanyaan, kenapa kita harus menjadi penuntut darah Imam Husain a.s.?
Jawabannya adalah karena kita adalah anak-anak Husain bin Ali a.s. Nabi saw. bersabda, “Aku dan Ali adalah ayah umat ini.”[4] Jika ayah kita dibunuh, kita sebagai anak akan menuntut balas darahnya hingga hari kiamat dan salah satu kewajiban kita di saat berduka memperingati Asyura adalah berbelasungkawa kepada sesama sambil saling mengucapkan syiar tersebut di atas.
Kita punya orang tua yang melahirkan kita dan punya orang tua maknawi atau malakuti. Nabi saw. dan Imam Ali a.s. sebagai ayah dan Fatimah Zahra a.s. sebagai ibu maknawi kita. Ini juga berlaku untuk seluruh imam a.s., termasuk Imam Husain a.s. karena mereka menjadikan pengikut-pengikut setia atau syiah hakiki sebagai anak-anak mereka. Anugerah besar ini perlu disyukuri dan semoga kita menjadi anak-anak saleh bagi mereka.[5]
==============================
[1] Ibnu Qauluwaih, Kamil Az-Ziyarat, halaman 326; Syeikh Thusi, Misbah Al-Mutahajjid, halaman 772.
[2] وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا
“Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya…” (QS. Al-Isra’ [17]: 33)
[3] “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 185)
[4] Muhammad Baqir Majlisi, Bihar An-Anwar, jilid 23, halaman 259.
[5] Ringkasan dari salah satu ceramah Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi.