Mengapa Hadis Ghadir Tidak Terdapat Dalam Nahjul Balaghah?
Berdasarkan kajian penulis kitab Al-Ghadir, minimal 110 sahabat, termasuk tiga khalifah pertama dan 84 tabiin menukil hadis Ghadir.[1] Setelah tabiin, ulama Syiah dan Ahlu Sunnah secara turun menurun dari generasi ke generasi menukil hadis tersebut. Oleh karena itu, hadis Ghadir mencapai kemutawatiran hingga Ustadz Muhammad Taqi Syariati mengatakan, “Tiada satu pun hadis mutawatir yang seperti hadis Ghadir.[2]
Meski demikian, terkadang terdengar pertanyaan, mengapa dalam Nahjul Balaghah, hadis Ghadir tidak dijadikan argumentasi dan hujjah? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan beberapa jawaban berikut:
1. Mula-mula harus kita ketahui bahwa kita Nahjul Balaghah tidak ditulis oleh Imam Ali a.s. sehingga dapat ditanyakan kenapa beliau tidak menulis pembahasan tersebut.
Nahjul Balaghah adalah kumpulan khutbah, surat, dan hikmah pendek Imam Ali yang dikumpulkan oleh Sayid Radhi, bukan koleksi kitab hadis. Mayoritas kontennya bersisi sastra, hikmah dan akhlak. Oleh karena itu, koleksi ini disebut Nahjul Balaghah. Dengan demikian, harus kita ketahui bahwa masih terdapat banyak ucapan atau riwayat atau mustanad Imam Ali a.s. yang tidak terdapat dalam Nahjul Balaghah.
2. Sayid Radhi sendiri berkata, “… Selain berbagai keutamaan, aku juga ingin menjelaskan keagungan dan kepribadian Imam Ali a.s. dari sisi ketinggian balaghah dan fashahah beliau. Oleh karena itu, dari sekian banyak khutbah, surat, dan hikmah pendek, mula-mula aku memilih khutbah-khutbah terindah, kemudian surat-surat yang menarik dan hikmah pendek penuh arti dari beliau a.s.”
Selanjutnya Sayid Radhi menyebutkan, “Tidak pernah aku mengklaim bahwa aku telah memperoleh seluruh sisi dari ucapan Imam Ali a.s. atau ucapan-ucapan beliau tidak ada yang luput dari jangkauanku; bahkan bukan mustahil bahwa apa yang belum aku temukan lebih banyak dari apa yang aku temukan atau yang aku dapatkan lebih sedikit dari apa yang belum aku dapatkan.”[3]
Singkatnya, Nahjul Balaghah tidak mencakup seluruh ucapan Imam Ali a.s.
3. Adapun terkait peristiwa Ghadir atau penegasannya terhadap imamah dan wilayah, terdapat beberap pembahasan berikut yang harus diperhatikan dengan seksama:
* Apakah peristiwa besar Ghadir Khum terdapat perselisihan di kalangan kaum Muslimin dari Syiah dan Ahlu Sunnah sehingga harus dibahas? Sebagian tokoh Ahlu Sunnah seperti Muhammad bin Jarir Thabari, Ibnu Uqdah, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Dzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Jazari Demesyqi tidak hanya bersandar kepada peristiwa dan hadis-hadis Ghadir, bahkan mereka menulis beberapa kitab tersendiri dalam pembahasan ini.
* Ulama Syiah dan Ahlu Sunnah menegaskan bahwa setelah peristiwa baiat khalifah di masjid, Abu Bakar mendatangi Imam Ali a.s. untuk menghibur. Imam Ali a.s. mempertahankan hak beliau dengan berbagai dalil, di antaranya peristiwa Ghadir. Riwayat historis ini disebutkan dalam kitab-kitab Syiah seperti Al-Khishal Shaduq,[4] Al-Ihtijaj Thabarsi,[5] dan kitab-kitab Ahlu Sunnah seperti Tarikh Thabari.[6]
* Imam Ali a.s. banyak memberikan penjelasan terkait peristiwa Ghadir, di antaranya surat beliau kepada Muawiyah yang beliau gunakan untuk berhujjah atas peristiwa Ghadir.
Dalam sebuah penjelasan, beliau mengungkapkan demikian:
“Pada hari Ghadir, Allah swt menurunkan apa yang menjadi pilihan-Nya kepada Nabi-Nya. Dia memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk menyampaikan wilayah dan washayah tanpa rasa takut terhadap kaum kafir dan munafik serta musuh lainnya.
Hari Ghadir menunjukkan berbagai manzilah dan keutamaan. Pada hari itu, rahmat Ilahi diturunkan, hujjah-Nya disempurnakan. Hari itu adalah hari penerangan dan kejelasan, hari penyempurnaan agama dan kesetiaan janji.
Ghadir hari Rasul dan sebagai bukti bagiku, hari kehinaan bagi setan, hari pembuktian argumentasi, hari terpisahnya barisan orang-orang yang mendustakan wilayah dan imamah. Hari ini adalah hari terbesar yang sebagian kalian menyangkalnya, hari petunjuk dan ujian bagi hamba-hamba Tuhan, hari penampakan kedengkian yang tersembunyi di hati dan jiwa, hari pemaparan nash-nash kepada kaum mukmin yang peduli…”[7]
* Imam Baqir a.s. berkata, “7 hari setelah Nabi saw. wafat dan setelah menyelesaikan pengumpulan Alquran, Imam Ali a.s. keluar ke tengah-tengah umat dan membaca khutbah. Setelah memuji Allah swt, bershalawat kepada Nabi saw. dan menjelaskan jalan keselamatan, Imam Ali a.s. menekankan kedudukan dan manzilah beliau sebagai pengganti Nabi saw. dengan bersandar kepada peristiwa Ghadir.”[8]
* Setelah khutbah yang disampaikan di masjid untuk mengenalkan Islam dan wilayah, Fatimah Zahra a.s. keluar dari masjid dan bertemu dengan Rafi’ bin Rufa’ah. Rafi’ berkata sebagai permohonan maaf, “Wahai penghulu para wanita! Sekiranya Abul Hasan (Imam Ali a.s.) menyampaikan hal ini dan mengingatkan umat sebelum terjadinya baiat (kepada Abu Bakar), kami tidak akan menggantikan beliau dengan yang lainnya.”
Fatimah Zahra a.s. menjawab, “… Allah swt tidak menjadikan hujjah atau alasan lagi setelah peristiwa Ghadir.”[9]
* Dengan demikian, terdapat berbagai kata, ucapan, hadis, argumentasi, dokumen historis dan…, namun banyak orang menafsirkannya jauh dari realita.
Kesimpulan
Meskipun hadis Ghadir tidak termuat dalam Nahjul Balaghah, namun bukan berarti Imam Ali a.s. tidak berargumentasi dengannya. Oleh karena itu, tidak adanya hadis ini dalam Nahjul Balaghah tidak berpengaruh kepada kemutawatiran dan kepastian periwayatannya. Tidak hanya sumber-sumber Syiah, bahkan sumber-sumber hadis, rijal dan sejarah Ahlu Sunnah menukil hadis ini. Hanya saja terdapat perbedaan pandangan dalam penafsiran kata “مولي” sehingga hasil yang diperoleh juga berbeda.
=====================
[1] Untuk mengetahui rincian dan nama-nama sahabat dan tabiin yang menukil hadis Ghadir, silahkan merujuk ke kitab Al-Ghadir, Amini, 1/14 – 72.
[2] Khelafat va Welayat az Nazar-e Qoran va Sunnat (Khilafah dan Wilayah Menurut Alquran dan Sunnah), Syariati, halaman 94.
[3] Mukadimah Nahjul Balaghah.
[4] Jilid 2, halaman 549 – 551.
[5] Jilid 1, halaman 307.
[6] Jilid 2, halaman 236.
[7] Iqbal Al-A’mal, Sayid Ibnu Thawus, halaman 461 – 464.
[8] Al-Kafi, jilid 8.
[9] Dalail Al-Imamah, halaman 37 – 38; Al-Khishal, jilid 1, halaman 173.