Tafsir Ulang “Khilafah”
DR. Muhsin Labib
Kehebohan
Setelah Hizbuttahrir bentukan Abdul Rahman al-Baghadi mengumumkan diri sebagai gerakan yang memperjuangkan secara diskursif penegakan sistem internasional khilafah, kini al-Baghadadi lain bernama Abu Bakar mengumumkan gerakan yang memperjuangkan penegakan khilafah secara militer.
Setelah melakukan serangan ke Irak, kelompok yang semula menamakan diri Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), memproklamirkan dinasti baru yang mereka klaim sebagai khilafah saat Ramadan. Mereka memproklamirkan khalifah baru untuk umat Muslim di seluruh dunia yang wajib ditaati.
Dunia geger. Banyak kelompok yang semula dikenal ekstremis pun menentang deklarasi ini dan menganggapnya tidak sah. Namun ada pula yang menyambutnya.
Dalam sejarah Khilafah adalah sebuah dinasti untuk melegitimasi kekuasaan, baik secara politik maupun agama. Sedangkan khalifah adalah pemimpin dari dinasti tersebut.Khilafah terakhir yang diakui umat Muslim sedunia adalah Khilafah Utsmani. Khilafah itu berakhir sekitar 100 tahun atau seabad lalu. Khalifah baru ini diklaim mewujudkan mimpi umat Islam dan harapan semua jihadis.
Istilah khalifah muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad. Khilafah Islam disebut pernah mengalami zaman keemasan pada Dinasti Umayyah tahun 661-750. Serta khilafah Abbasiyah tahun 750-1517. Sedangkan khilafah terakhir adalah khilafah Ottoman yang runtuh tahun 1924.
Biang Perbedaan
Bagaimana konsep kepemipinan dalam Islam? Bagaimana mendudukkan imamah dan khilafah dalam konteks kepemimpinan dan kekuasaan politik? Benarkah kepemimpinan Imamah ala Syiah dan kepemimpinan ala khilafah bertentangan? Lalu apakah khilafah yang dideklarasikan ISIL sesuai dengan khilafah dalam konsep teologi Sunni?
Khilafah adalah isu kepemimpinan yang diyakini oleh mazhab Sunni. Sedangkan Syiah meyakini konsep kepemimpinan yang dikenal dengan Imamah. Konflik berkepanjangan Sunni dan Syiah bersumber perbedaan menyikapi kepemimpinan pasca wafat Nabi.
Sudah banyak polemik dan perdebatan antara Syiah dan Sunni untuk membuktikan kebenaran kebenaran pendapat. Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengemukakan salah satu pendapat yang mewakili satu mazhab, namun berusaha mencari sebuah konsep yang diharapkan mampu mengharmoniskan dua konsep kepemimpinan tersebut melalui poin-poin sebagai berikut:
Di dalam Al-Qur’an, surah Yunus ayat 19 misalnya, Allah mensifati umat – ummah seakar kata dengan imam dan imamah – sebagai sesuatu yang tunggal. Sedangkan dalam ayat lain, bangsa (sya’b) disebutkan dalam bentuk plural – syu’ub. Hal ini mengindikasikan bahwa ummah bersifat universal, sedangkan syu’ub bersifat lebih spesifik yang tidak mesti dipimpin oleh keimamahan.Adanya kelompok yang ingin mengembalikan kekhilafahan di masa lalu untuk umat Islam menjadi tidak tepat guna, karena khalifah bersifat presidensial dan teritorial.
Sebagian kalangan Syiah menganggap dua frase itu sama dalam makna sehingga menganggap kepemimpinan yang diklaim Sunni sebagai kontra kepemimpinan Ali dan Ahlulbait. Sebagian kalangan Sunni juga menganggap konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah sebagai delegitimasi kepemimpinan Abubakar, Umar dan Utsman.
Kesalahpahaman tanpa Klarifikasi
Sudah banyak polemik dan perdebatan antara Syiah dan Sunni untuk membuktikan kebenaran pendapat masing-masing. Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengemukakan salah satu pendapat yang mewakili satu mazhab, namun berusaha mencari sebuah konsep yang diharapkan mampu mengharmoniskan keduanya.
Bila isu kepemimpinan ini dijelaskan secara komprehensif dengan mengedepankan semangat mencari benang merah diterima oleh kedua belah pihak, maka jalan menuju kesepahaman dan rekonsiliasi terbuka lebar. Salah satu syaratnya adalah membuang jauh-jauh tendensi klaim kebenaran mutlak yang secara logis tidak bisa diterima.
Yang patut disayangkan, adanya orang-orang Syiah yang memberikan pernyataan yang bisa ditafsirkan sebagai penolakan terhadap kepemimpinan struktural itu. Misalnya, dengan memunculkan terma ‘perampasan hak kepemimpinan’, yang terkesan mereduksi Imamah menjadi Khilafah. Padahal, perampasan tidak ada dalam konteks imamah. Imamah tak bisa dirampas dan diberikan oleh siapa pun. Menurut orang Syiah, syarat keterpilihan para khalifah terdahulu masih patut dipertanyakan. Jadi, kritik Syiah atas keterpilihan para khalifah bukan pada soal perampasan imamah, melainkan dalam hal proses pemilihan dan kebijakan mereka selama menjadi khalifah.
Sejarah menunjukkan bahwa Imam Ali tetap mendukung dan membaiat khalifah Abu Bakar, meskipun setelah berlalu enam bulan. Pembaiatan tersebut justru menjadi indikator bahwa syarat akseptabilitas publik telah terpenuhi dan kebijakan khalifah telah diakui. Hal ini bisa menjadi dasar bahwa kekhalifahan tidaklah berada dalam posisi vis a vis dengan imamah. Sebaliknya, ucapan selamat dari Umar atas Imam Ali pada hari Ghadir Khum adalah pengakuannya kepada Ali bin Abi Thalib sebagai wali/Imam (spiritual) dan tidak menghilangkan peluangnya sebagai khalifah (struktural) pada periode selanjutnya. Imam Ali jelas tidak pernah mundur dari posisinya sebagai Imam, karena memang posisi Imam tidak bisa dianulir. Posisi Imam bukan kepemimpinan yang bersifat struktural dan ditentukan berdasarkan banyaknya suara pemilih. Syaiah berkeyakinan bahwa Imam Ali ditunjuk langsung sebagai Imam oleh Nabi.
Jadi, tolok ukur khilafah adalah kapabilitas, akuntabilitas, dan akseptabilitas. Sementara konsep imamah, tak harus diterima oleh publik. Karena memang imamah tidak ada hubungannya dengan pilihan masyarakat. Ia adalah hak prerogatif Tuhan. Persis sebagaimana Muhammad SAW ditunjuk sebagai Nabi. Publik suka atau tidak, setuju atau tidak, Muhammad tetaplah seorang Nabi. Selanjutnya, dalam berbagai ordo tasawuf pun, Imam Ali diyakini sebagai pemimpin para wali. Hubungan ini bersifat kepatuhan spiritual yang didasarkan pada hubungan cinta bukan bersifat kepatuhan administratif. Kepatuhan administratif ini lebih menekankan hubungan tugas kelembagaan, antara atasan dan bawahan.
Kepemimpinan Vertikal dan Horisontal
Di dalam Al-Qur’an, surah Yunus ayat 19 misalnya, Allah mensifati umat – ummah seakar kata dengan imam dan imamah – sebagai sesuatu yang tunggal. Sedangkan dalam ayat lain, bangsa (sya’b) disebutkan dalam bentuk plural – syu’ub. Hal ini mengindikasikan bahwa ummah bersifat universal, sedangkan syu’ub bersifat lebih spesifik yang tidak mesti dipimpin dengan keimamahan. Adanya kelompok yang ingin mengembalikan kekhilafahan di masa lalu untuk umat Islam menjadi tidak tepat guna, karena khalifah bersifat presidensial dan teritorial.
Kepemimpinan vertikal atau imamah semestinya memang dipegang oleh orang-orahg suci dan memiliki spiritualitas tinggi seperti Nabi dan wali. Kepemimpinan horisontal atau khilafah tidak niscaya dipegang oleh manusia suci. Meski tentu, Nabi, sebagai pemimpin umat (imam) diyakini telah terbukti menjadi pemimpin horisontal yang menjalankan fungsi kepemimpinan administratif.
Konflik menjadi makin rumit karena Sunni menganggap konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah sebagai tandingan konsep kepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni, dan Syiah menganggap konsep kepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni sebagai anti konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah. Padahal, bila diperhatikan secara seksama dan bebas dari sentimen sektarianisme, rincian konsep Khilafah dan Imamah berbeda secara substansial dan tidak niscaya saling menafikan.
Syiah meyakini Imamah sebagai kepemimpinan umat. Karenanya ia harus dipegang oleh pribadi yang memenuhi syarat-syarat ketat yang tidak bisa disandang oleh pribadi yang tidak suci. Karena itu, Syiah meyakini Ali sebagai pemimpin umat. Sedangkan Sunni meyakini kepemimpinan yang bersifat struktural dengan batas teritori sebuah state. Karena itu, Sunni tidak menetapkan syarat kesucian bagi pemegangnya.
Ali bin Abi Thalib diyakini sebagai imam sedetik setelah Nabi wafat karena kepemimpinan umat (Imamah) tidak dibangun legitimasinya melalui pemilihan masyarakat. Ali pun memberikan baiatnya kepada Abu Bakar sebagai pemimpin masyarakat (Khalifah), karena tidak menganggapnya sebagai pemimpin umat. Baiat merupakan kontrak sosial politik. Karena itu pula, Syiah tidak mensyaratkan baiat untuk menjadi pengikut Ali (sebagai pemimpin umat). Dalam Syiah, baiat memang bukan syarat. Seorang yang menyatakan diri sebagai Syiah tidak diharuskan berbaiat karena kesyiahan bersifat spiritual, bukan struktural formal
Kritik Syiah terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman harus dipahami sebagai kritik terhadap kebijaksanaannya sebagai pemimpin struktural administratif. Bahkan penolakan Syiah terhadap ketiga khalifah tersebut karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat kepemimpinan administratif, bukan kepemimpinan spiritual. Sayangnya, sebagian orang Syiah juga Sunni menganggap imamah dan khilafah sebagai satu makna. Akibatnya, substansi masalah tereduksi dan dikaburkan oleh sentimen sektarian yang memanas karena kesalahpahaman yang berkepanjangan.
Kepemimpinan Spiritual dan Struktural
Kepemimpinan spiritual berbeda dengan kepemimpinan struktural (politik). Bila seorang khalifah merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin intelektual dan menjadi panutan pemikiran atas dasar Al-Quran dan Sunnah dalam memahami teori tersebut. Dan terbukti bahwa para sahabat tidak mempunyai kemampuan dan tidak memenuhi syarat penting tersebut, lain halnya bila kita melihat Ahlul Bait dengan segala kemampuan mereka dan tergambar dalam nash serta bukti-bukti yang sudah ada.
Karena itu, kepemimpinan spiritual lebih penting dari kepemimpinan sosial politik dan lebih berperan selama beberapa dekade. Dan akhirnya, para penguasa dan khalifah memberikan kepada Imam Ali fungsi pemimpin spiritual karena mempertimbangkan satu dan sebab lainnya. Sampai-sampai Khalifah Kedua seringkali bersumpah dengan memuji kepandaian Ali dalam menyelesaikan masalah-masalah spiritual. la selalu berkata, “Seandainya Ali tiada, maka pasti Umar celaka dan binasa. Allah akan membiarkanku selamanya terbentur dengan kesulitan bila Abul Hasan (Ali) tidak segera menyelesaikannya.”
Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasul wafat dan muslimin luntur secara bertahap dari loyalitas dan rasa hormatnya terhadap Ahlul Bait Rasul dan tidak lagi memfungsikannya sebagai tokoh dan pemimpin dalam bidang spiritual, dan sebaliknya mereka sedikit demi sedikit memandang Ahlul Bait sebagai orang-orang yang tidak lebih dari mereka dan bahkan menganggap mereka sebagai awam.
Pada periode Umawi dan Abbasi, sikap ini telah memproses mereka tidak lagi membutuhkan kepemimpinan spiritual Ahlul Bait dan mengambil pikiran sendiri sebagai gantinya. Sang khalifah tidak hanya sebagai pengganti kepemimpinan spiritual Ahlul Bait secara tunggal, tapi hak kepemimpinan ini mencakup seluruh sahabat. Selanjutnya para sahabat tampil sebagai pemimpin-pemimpin spiritual dan mengeliminasi peran Ahlul Bait yang telah ditunjuk secara sah sebagai pemimpin spiritual. Dengan alasan, para sahabat adalah generasi yang hidup bersama Rasul dan mengikuti setiap langkah dan perkembangan misinya serta menghayati dan mematuhi tuntutan sabda dan Sunnah beliau.
Secara praktis nyata bahwa Ahlul Bait kehilangan fungsi istimewa sebagai pemimpin-pemimpin spiritual dan pudar di tengah-tengah para sahabat. Mereka berstatus tidak lebih sebagai sahabat Rasul yang sama-sama berhak dan berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin spiritual.
Sebagaimana yang telah terbukti dalam sejarah para sahabat, mereka selalu hidup di bawah situasi pertikaian yang terkadang meminta darah dan korban yang tidak sedikit dalam setiap peperangan yang mereka kobarkan sendiri. Masing-masing pasukan menganggap lebih konsekeen terhadap nilai dan kebenaran serta saling tuduh sebagai pengkhianat dan penyeleweng.
Sebagai akibat dari perselisihan dan perang tuduh yang terjadi antara orang-orang yang berfungsi sebagai para pemimpin itulah timbul aneka warna pertentangan ideologi dan pemikiran dalam tubuh masyarakat Islam,
Kepemimpinan Nabi
Nabi sangat sadar bahwa masyarakat sepeninggalnya masih belum bersih dari karakteristik tribal yang amat jauh berjarak dari masyarakat berperadaban yang ideal.
Dalam pandangan ini hanya ada dua asumsi, yakni; Pertama, Nabi tidak memikirkan pentingnya kepemimpinan sepeninggal beliau Saw. Asumsi ini tentu tertolak karena bertentangan dengan sifat kepemimpinan Nabi yang harish, ra’uf dan rahim. Tidak mungkin Nabi membiarkan umat yang akan ditinggalkannya terbengkalai tanpa pemimpin. Kedua, Nabi merencanakan suksesi sepeninggal beliau Saw. Asumsi kedua ini terbagi menjadi dua kemungkinan, yaitu; pertama, bahwa Nabi telah membentuk masyarakat yang matang dan ideal untuk menjalankan prinsip-prinsip syura dalam menentukan pemimpin sosial, dan kedua, Nabi menyiapkan kader handal sebagai pemimpin yang akan mengantar terbentuknya masyarakat beradab.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa kondisi masyarakat sesaat setelah Nabi wafat belum memenuhi syarat masyarakat pada kemungkinan pertama di atas. Hal ini ditunjukkan misalnya, tersisanya karakter tribal jahiliyah dan sentimen primordial di balai Saqifah dengan saling mengunggulkan klan masing-masing. Oleh sebab itu, kemungkinan ini juga tertolak.
Sedangkan kemungkinan kedua pada asumsi kedua di atas, sebagai seorang Nabi yang suci tentu merencanakan sosok kader yang handal untuk membentuk masyarakat ideal. Sebagai seorang Rasul beliau bertugas menghidupkan suatu gambaran dari pemahaman yang cocok dan relevan menjadi jalan keluar yang mewakili Islam dalam menanggulangi problema kehidupan dengan menunjuk figur terbaik dan handal sepeninggal beliau. Selain itu, figur tersebut berfungsi untuk menerjemahkan dan menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran.
Umat Islam memerlukan pemahaman yang jelas dan sempurna tentang Islam dan ingin mengetahui hukum halal dan haram dalam setiap perkara. Mereka niscaya memerlukan adanya kepemimpinan spiritual yang ditetapkan oleh Allah Swt dan disampaikan melalui lisan Rasulullah Saw.
Ambiguitas Mekanisme dan Kebijakan daalam Khilafah
Apakah Nabi Saw. mewariskan sistem atau format tertentu tentang kepemimpinan? Ada dua jawaban’ ya dan tidak. Ya bila yang dimaksud adalah sistem kepemimpinan keagamaan. Tidak, bila yang dimaksud adalah sistem kepempinan sosial kenegaraan. Sejak Abu Bakar sampai Ali tak ada satu konsep baku mengenai mekanisme pernunjukan khalifah. Bahkan seandainya peristiwa di Saqîfah Bani Saidah dianggap sebagai sistem pemilihan pemimpin yang terbaik, niscaya Abu Bakar sendiri akan meniru sistem tersebut. Nyatanya, Abu Bakar lebih memilih untuk menunjuk Umar secara langsung –kemudian diikuti Sahabat lainnya—sebelum beliau wafat. Begitupula ketika Umar terluka, beliau lebih memilih 6 orang pembesar sahabat untuk menjadi kandidat khalifah setelahnya, dan begitu seterusnya.
Tak ada konsep baku dalam pemilihan khalifah. Ia terus mengalami perubahan dari satu sistem ke sistem lainnya. Sebagai bentuk ketegasan bahwa konsep khilafah adalah urusan furu’-ijtihadi, yang suatu saat akan [pasti] mengalami perubahan. Bagi penikmat sejarah, akan tahu bahwa konsep khilafah hanya satu dari sekian sistem yang pernah dipraktekkan dalam peradaban manusia. Sistem khilafah sama dengan sistem lainnya: kesepakatan manusia yang kemudian membentuk konsep, yang barangkali ideal pada masa tertentu. Khilafah, atau apapun namanya, merupakan salah satu temuan yang mencoba mewujudkan kemaslahatan dan keadilan di dunia.
Selain itu, bisa disimpulkan, tak semua kebijakanpara khalifah (Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali) sekalipun bisa ditafsirkan sebagai keputusan keagamaan, karena semata kebijakan politik.
Banyak kalangan mengira bahwa keputusan Abu Bakar memerangi kaum murtaddin (dianggap keluar dari agama Islam karena tak mau bayar zakat) sebagai keputusan keagamaan. Padahal sesungguhnya itu adalah kebijakan politik an sich. Abu Bakar mempertimbangkan gejala tersebut sebagai ‘percikan api’ perpecahan yang akan mengancam kesatuan negara pasca wafatnya Rasul Saw. Sebelum api tersebut membesar, beliau harus segera mengambil tindakan. Memahami kebijakan harburriddah (perang terhadap kaum yang dianggap murtad) sebagai konsekuensi logis agamis tidaklah tepat, sebab Umar. sendiri sempat protes “Bagaimana bisa anda mau memerangi orang yang masih menghadap kiblat (shalat)?”
Alasan lainnya, karena memang zakat termasuk salah satu devisa terbesar negara waktu itu, selain harta rampasan. Kebijakan Abu Bakar kemudian dilanjutkan oleh Umar setelahnya. Namun di masa Ustman, zakat tak lagi diurus oleh negara tapi diserahkan sepenuhnya pada individu kaum muslimin tanpa intervensi negara sedikitpun. Di sini, penamaan harburriddah bisa dipahami sebagai “tendensi politik”, karena muslim yang tidak mengeluarkan zakat secara ijmak bukanlah murtad. Bisa jadi keputusan Bani Tamîm yang tak mau bayar zakat pada negera dilatar belakangi kepentingan politik karena menganggap pengangkatan Abubakar tidak memenuhi quorum.
Khalifah kedua, Umar bin Khattâb, juga demikian. Khalifah yang terkenal pemberani ini selalu mencoba melakukan terobosan kontroversial. Bahkan Umar dalam banyak kasus sering melabrak teks-teks qath’i (hukum pasti), semisal kebijakannya untuk tidak memotong tangan pencuri tatkala masa paceklik, atau kebijakan Umar yang tak mau memberi jatah orang-orang muallaf karena keislaman mereka yang masih opurtunistik.
Tribalisme atas nama Khilafah
Faktor lain yang turut melanggengkan konflik ini adalah upaya Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah memanipulasi isu kepemimpinan ini dengan memberi warna keagamaan atas kepemimpinan formal administratif ini demi memberikan legitimasi atas kekuasaannya yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan spiritual (imamah) dan syarat kepemimpinan formal struktural, seraya mengkampanyekan bahwa kekuasaannya adalah kepanjangan dari kepemimpinan tiga khalifah.
Akibatnya, sebagian orang Sunni terpengaruh dan cenderung menganggap konsep kepemimpinan Syiah sebagai anti kepemimpinan yang diyakini Sunni. Selanjutnya, ditafsirkan secara ekstrem sebagai penghinaan terhadap para khalifah tersebut. Konflik makin sengit manakala melebar ke persoalan-persoalan keagamaan lainnya sehingga terbelahnya tubuh umat yang satu menjadi dua; Sunni dan Syiah.
Kritik terhadap Khalifah
Kritik Syiah terhadap khalifah-khalifah bersifat politis semata. Hal itu karena bagi Syiah, kepemimpinan keumatan (imam) adalah masalah final yang tidak terkait secara langsung dengan kepemimpinan struktural. Artinya, meski menerima dua jenis kepemimpinan; keumatan dan kemasyarakatan, tidak niscaya Syiah tidak mengkritik dan mengajukan keberatan terhadap para khalifah itu terkait elektabilitas, kredibilitas dan kebijakan-kebijakannya selama menjadi pemimpin negara.
Tidak hanya Syiah yang meyakini khalifah bukanlah imam, namun juga Sunni. Dengan meyakini tiga khalifah bukan imam, dengan melakukan penunjukkan secara personal, itu semuanya mengkonfirmasi bahwa Sunni tidak sedang membicarakan kepemimpinan ketuhanan yang menjadi pilar penting mazhab Syiah.
Dengan begitu kita bisa membedakan dua jenis kepemimpinan ini. Kepemimpinan ala Syiah adalah jenis kepemimpinan spiritual yang sifatnya vertikal. Konsep kepemimpinan yang dibangun karena meyakini Nabi sebagai orang yang mendapatkan legitimasi ketuhanan pasti menunjuk orang untuk menggantikannya. Sementara kepemimpinan struktural dibangun atas dasar akseptabilitas publik. Sehingga boleh jadi seorang imam juga bisa sekaligus menjadi pemimpin struktural (khalifah) kalau memang diterima oleh masyarakatnya.
Dalam Syiah sendiri terkenal riwayat Hasan dan Husain adalah dua Imam, baik berkuasa mau pun tidak berkuasa. Artinya baik saat kepemimpinan politik atau administrasi ia pegang atau pun tidak, mereka tetaplah Imam.
Dalam konteks ini muncul dua istilah yang sebetulnya berbeda, tetapi sering disalahpahami sebagai satu hal yang sama, yaitu kepemimpinan dan kekuasaan. Seorang pemimpin dalam pengertian Imam tidaklah harus berkuasa. Karena kekuasaan dibangun dengan media pemilihan atau kekuatan. Ia ambil kekuasaan itu dengan kekuatan (pemaksaan) atau dengan pemilihan (akseptabilitas publik).
Meski berbeda basis, Imamah yang basisnya adalah legitimasi ketuhanan, sedangkan Khilafah yang basisnya adalah pilihan dan akseptabilitas publik, bukan berarti keduanya tidak bisa bertemu dalam satu bentuk dan beririsan antar keduanya. Bisa jadi Khilafah dan Imamah berlaku dalam satu sistem, sebagaimana Imam Ali saat menjabat sebagai Khalifah keempat. Sehingga jika sejak awal Imamah dipahami sebagai kepemimpinan spiritual, maka tidak seperti anggapan sebagian Syiah, Ali bin Abi Thalib tidak gugur sebagai Imam meskipun dia tidak menjabat sebagai khalifah.
Kesimpulan
Ternyata kesalahpahaman yang tidak segera diklarifikasi akan menjadi objek dramatisasi dan bahan bagi pihak ketiga untuk dijadikan sebagai dinding pemisah antar dua kelompok besar umat Islam. Lemahnya posisi umat Islam di dunia merupakan akibat nyata dari dari sektarianisme yang menjangkiti kedua kelompok tersebut dan masuknya isu-isu lain ke dalam isu perbedaan interpretasi tentang kepemimpinan.
Mungkin hipotesa dan analisa diatas tidak direstui oleh para pemegang otoriotas dalam dua kelompok Sunni dan Syiah, namun yang perlu digarisbawahi ialah, reinterpretasi konsep kepemimpinan pasca Nabi diatas tidak mereduksi konsep Khilafah yang umum diyakini oleh kalangan mainstream Sunni dan tidak pula mendistorsi substansi kepemimpinan Imamah yang dipegang teguh oleh kalangan Syiah.
Dengan paparan diatas, kalangan Sunni secara defacto menerima kepemimpinan esoteric Ali dan Ahlulbait, sebagaimana terkonfirmasi melalui ragam riwayat dalam referensi-referensi utamanya, terutama di kalangan sufi, dan kalangan Syiah seara defacto menerima kepemimpinan eksoterik khilafah yang diusung oleh Sunni, yang dimulai dari Abu Bakar.
Tentu penerimaan de facto Sunni terhadap kepemimpinan esoteric (keagamaan) dan penerimaan de facto Syiah terhadap kepemimpinan kenegaraan (sosial) tidak bisa menjadi alasan untuk fusi atau peleburan dua bangunan perabadaban yang telah berdiri menjulang ini. Keduanya adalah realitas natural dan historis yang mesti diapresiasi sebagai kekayaan. Penujukam Nabi membuahkan legitiimasi yang bersifat vertikal dan pemilihan public menghasilkan akseptablitas yang bersifat horizontal.
Menjadi Sunni atau Syiah bukanlah kesalahan. Seorang Muslim yang dibentuk karena asas ketauhidan dan kerasulan Muhammad, sebagaimana terakup dalam dua kalimat syahadat, harus menafsirkan dua konsep kepemimpinan, Khilafah dan Imamah, sebagai konsekuensi dari dua perspektif yang berbeda.
Selanjutnya para pemikir kedua kelompok ini harus mengubah energi gontok-gontokan menjadi energi saling mendukung dan membahu menerdaskan akar rumput dan awamnya serta membuang semua isu elementer yang menjadi biang kebencian mutual. Kalangan Sunni harus rela memposisikan para khalifah dan sahabat sebagai manusia yang tidak sempurna, yang bila tidak diyakini kekhalifahannya tidak berarti keluar dari Islam. Kalangan Syiah perlu makin aktif menegaskan bahwa kepatuhan dan kecintaan kepada imam tidak bersifat primer, karena itu merupakan konsekuensi dari kepatuhan dan kecintaan kepada Nabi SAW dan bahwa orang yang tidak memposisikan mereka sebagai imam tidak menyebabkannya keluar dari Islam.