Mujtahidah dan Mufassirah Banu-ye Isfahani; Tingkat Intelektualitas dan Spiritualitas
Oleh: Euis Daryati
Tak dapat dipungkiri, tak banyak ulama perempuan yang dikenal. Padahal, tingkat keilmuan yang dibuktikan dengan berbagai karyanya, dan tingkat spiritualitasnya tidak kalah dibanding ulama laki-laki, seperti Mujtahidah dan Mufassirah Sayyidah Amin dari kota Isfahan, Iran. Beliau juga dikenal dengan Banuye Isfahani.
Hajjah Sayyidah Nushrat Bigum Amin yang terkenal dengan sebutan ‘Banu-ye Isfahani’ lahir pada tahun 1265 HS (kurang lebih 127 tahun yang lalu) di Isfahan, Iran. Ayah beliau bernama Haji Sayyid Muhamad Ali bin Hasan yang dikenal ‘Amin-e Tujjari Isfahani’ adalah orang yang saleh lagi dermawan. Begitu pula ibu beliau adalah seorang wanita mukminah dan mulia. Beliau adalah seorang Syarifah atau Sayyidah, yang urutan nasabnya kembali ke Rasulullah Saww. Dengan tiga puluh urutan nasab beliau sampai kepada imam Ali as, beliau merupakan anak terakhir dari empat bersaudara dan semua kakaknya adalah laki-laki.Saat menginjak umur empat tahun, ibunya mengirim beliau ke Maktab (pusat pendidikan) untuk belajar al-Qur’an dan baca tulis. Padahal, zaman itu, jarang sekali keluarga yang mengirim anak perempuannya ke Maktab untuk belajar. Bahkan, sebagian keluarga tidak memperbolehkan untuk mengajarkan baca tulis kepada anak perempuan karena menganggap hal itu tabu.
Sejak itulah Sayyidah Amin terus melanjutkan pelajarannya, dan beliau belajar bahasa Arab sampai umur sebelas tahun. Dalam menceritakan kenangan masa kecilnya beliau berkata, “Saya masih ingat ketika saya bersama teman-teman sebaya, saya tidak bermain-main dan bersenang-senang seperti mereka. Bahkan saya selalu ingin menyendiri supaya dapat terus berpikir dan bertadabbur, karena saya merasakan adanya sesuatu yang hilang dari jiwa saya. Begitu pula jika berada di tempat umum, saya selalu dalam keadaan berpikir dan merenung…”
Pasca menyelesaikan Pendidikan Mukadimah, lantas beliau melanjutkan pelajaran Fiqih, Ushul Fara’id, Kifayah al-Ushul dan Bahsul-kharij Shalat dan Thaharat dalam bidang fiqih, Syawariqu al-Ilham dalam bidang ilmu kalam (teologi) dan Ilahiyat al-Asfar dalam bidang falsafah. Beliau belajar semua bidang ilmu ini kepada Mir Sayyid Ali Najaf Abodi. Ketika berumur lima belas tahun beliau menikah dengan anak pamannya yang bernama Haji Mirza dan dikenal dengan ‘Mu’in-e Tujjari’, beliau merupakan saudagar terkenal di kota Isfahan. Meskipun beliau telah berkeluarga dan mempunyai anak, namun hal tersebut tidak menghalangi kecintaannya pada terhadap ilmu dan belajar. Dari pernikahannya beliau dikaruniai delapan anak, namun yang tinggal hidup hanyalah seorang. Sementara tujuh anak lainnya telah meninggal dunia dengan cepat, namun beliau menganggap hal itu sebagai ujian Ilahi. Beliau selalu berusaha untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pelajaran, dan tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Oleh karenanya, beliau senantiasa membawa buku ketika bertamu.
Karena amat cintanya kepada ilmu, meskipun hari itu anaknya meninggal beliau tetap hadir untuk belajar. Seorang guru beliau menukil, “Suatu hari anak perempuan Sayyidah Amin telah meninggal dunia. Saya merasa yakin ia tidak akan datang untuk menghadiri pelajarannya, tapi ia datang menghadiri pelajarannya. Kukatakan padanya supaya meliburkan pelajarannya, karena hari ini anaknya telah meninggal dunia.”
Namun ia berujar, “Tidak apa-apa, ia telah pergi ke Rahmat Ilahi, kenapa kita harus meliburkan pelajaran? Allah telah menganugerahkan dua nikmat kepadaku. Lalu Dia mengambil salah satunya dariku, kenapa aku harus kehilangan yang lainnya, yaitu nikmat belajar?”
Dengan kegigihan dan semangat cinta ilmu, beliau meneruskan pelajarannya sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan situasi dan kondisi masyarakat yang masih memandang lain pada pendidikan bagi seorang perempuan, sampai pada akhirnya di usia empat puluh tahun derajat keilmuan dan penguasaan ilmu beliau diakui oleh para ulama besar sehingga beliau pun mencapai derajat ijtihad. Beliau satu-satunya perempuan yang mencapai derajat ijtihad pada zamannya. Prestasi beliau yang luar biasa tersebut menyebabkan banyak berdatangannya para tokoh dan ulama dari berbagai negara Islam untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan beliau. Diantara para ulama besar yang mendatangi beliau adalah; Ayatullah al-Udzma Mar’asyi Najafi, Allamah M Husein at-Thabathaba’i (pemilik tafsir Mizan), Allamah Muhammad Taqi Jakfari (filsuf muslim ternama) dan para dosen dari berbagai universitas.
Sepanjang hidupnya Mujtahidah Amin selalu berusaha untuk mencari sesuatu yang hilang dari dirinya. Suatu hari beliau pernah berkata, “Tiada kesengsaraan yang lebih dalam, sedalam jauhnya seseorang dari kekasih sejatinya (Allah swt).” Mujtahidah Amin dari usia empat puluh sampai akhir hayatnya menghabiskan waktunya untuk menulis kitab, mengajar, menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan dan membimbing kaum perempuan. Pada tahun 1344 HS dengan dana sendiri beliau mendirikan pusat pendidikan bagi perempuan dengan nama ‘Maktab-e Fathimeh as’ dan Sekolah Menengah Atas (SMA) khusus perempuan. Beliau pun aktif mengajar ilmu-ilmu agama dan tafsir, juga menjawab berbagai pertanyaan di sebuah lembaga yang bernama Pusat Dakwah dan Pendidikan Agama di kota Isfahan. Beliau hingga akhir hayatnya selalu berusaha untuk membimbing dan meningkatkan perkembangan intelektual dan spiritual kaum perempuan. Akhirnya, setelah perjuangan dan pelayanan yang beliau haturkan kepada Islam, terkhusus bagi kaum perempuan, pada tanggal 23 Khurdad 1362 HS, dalam usia 97 beliau meninggalkan dunia fana menuju Kekasih abadinya (wafat).
Derajat Keilmuan
1. Beliau telah mencapai derajat ijtihad pada umur empat puluh tahun, dan juga mendapatkan ijazah untuk berijtihad berkaitan dengan hukum syariat dari beberapa ulama besar seperti Ayatullah al-Udzma Abdul Karim Hairi, Ayatullah al-Udzma Muhammad Kadzim Syirazi dan Ayatullah al-Udzma Sayyid Ibrahim Husaini Syirazi Ishthahbanati.
2. Beliau mendapatkan ijazah untuk meriwayatkan hadis dari beberapa ulama besar seperti Ayatullah Syeikh Muhammad Ridzo Najafi Isfahani, Hujjatul Islam wa al-Muslimin Madzahiri Najafi Isfahani, Ayatullah al-Udzma Mar’asyi Najafi dan Hujjatul Islam wa al-Muslimin Zuhair al-Hasuun.
3 . Beliau selain pakar dalam bidang fiqih, lebih dari itu beliau juga menguasai bidang filsafat, irfan (tasawuf) dan tafsir.
Karya-karya Ilmiah
1. Arba’in Hasyimiyah
Ini adalah merupakan karya pertama beliau, yang berisi empat puluh hadis tentang tauhid, sifat-sifat Allah Swt, akhlak dan hukum syari’at, sekaligus mengandung keterangan filsafat, irfan, ushul fiqih dan fiqih. Buku ini dijadikan standar para ulama Najaf (Irak) dan sebagian para marja’(mufti besar) untuk menguji beliau sampai akhirnya beliau dapat mencapai derajat ijtihad dan menjadi seorang mujtahid.
2. Jaami’u asy-Syatat
Kitab ini mencakup berbagai pertanyaan yang telah dilontarkan para guru besar seperti Ayatullah Muhammad Ali Qadzi Thabathaba’i, Syeikh Muhammad Thaha al-Hindawi an-Najafi Zadeh, Sayyid Hasan al-Husaini kepada beliau, dan jawaban- jawabannya yang beliau sampaikan secara tertulis.
3. Ma’ad yo Okharin Sairi Basyar
Dalam kitab ini, dijelaskan bahwa manusia dalam perjalanan menuju kesempurnaannya selain harus melewati alam dunia ini, ia pun harus melewati semua alam lainnya. Sehingga ia sampai kepada yang setelahnya tidak ada alam lagi, yaitu kiamat atau ma’ad. Dalam kitab ini terdapat sembilan makalah, tersusun sebagai berikut:
1- Sair az Alam-e Ula be Alam-e Sufla wa az Sufla be Ula (perjalanan dari alam transenden menuju alam tingkat bawah, dan sebaliknya).
2- Har Dani Qaim be ma Fauq (setiap tingkatan yang berada dibawah bertumpu pada tingkatan yang di atasnya).
3- Insan Majmue-ye Alam-e Wujud (manusia mengandung semua alam wujud).
4- Insan dar Alam-e Barzakh (manusia pada alam barzakh).
5- Insan dar Nasy’at-e Qiamat (manusia pada kebangkitan kiamat).
6- Shirath (jembatan).
7- Mizan (timbangan amal).
8- Hisab (perhitungan amal).
9- Behesyt (surga).
10- Jahanam (neraka).
4. An-Nafahaatu ar-Rahmaniyah fii al-Waaridaati al-Qalbiyah
Kitab ini berisi tentang wirid-wirid dan semua kenangan beliau dalam mendapatkan Faidh (pancaran) Ilahi ketika Sair S uluk (perjalanan menuju Allah).
5. Akhlak (terjemah kitab Ibnu Maskawaih)
Kitab ini disadur dari kitab Thaharatu al-A’raq karya Ibnu Maskawaih, dengan diterjemahkan dan ditambahi penjelasan oleh Mujtahidah Amin. Kitab ini memiliki sisi ilmu, amal dan akhlak. Dan juga mengandung argumen dan poin-poin penting filsafat.
Tafsir ini dicetak menjadi lima belas jilid, setiap jilid kurang lebih memiliki 400 halaman. Tafsir ini mengandung pembahasan irfan (mistik), pesan-pesan akhlak dan pembahasan menarik lainnya tentang al-Qur’an. Penulis kitab ini, setelah menulis mukaddimah beliau menjelaskan tentang keutamaan al-Qur’an, dan mengingatkan tentang faidah tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an. Ketika beliau menulis tafsir ini, karena beliau merasa takut ajalnya tiba sebelum tuntas menyelesaikannya, setelah menyelesaikan dua juz pertama dari al-Qur’an, beliau langsung loncat dengan menulis juz ke-30. Namun akhirnya beliau meneruskannya, sampai akhirnya beliau dapat menyelesaikan semuanya pada saat-saat mendekati akhir hayatnya. Sewaktu menulis tafsir ini, beliau selalu berdoa supaya dipanjangkan umurnya sehingga dapat menyelesaikan penulisan tafsir tersebut sebelum tiba ajalnya. Karya tafsir ini kemudian membawa beliau menjadi satu-satunya mufassir perempuan dalam dunia Islam.
7. Rawesy-e Khusybakhti wa Taushiyeh be Khoharan-e Imoni
Dalam kitab ini beliau berusaha untuk menjelaskan arti kebahagiaan dan cara untuk menggapainya dengan bahasa yang mudah. Serta disampaikan juga di dalamnya pesan-pesan khusus untuk saudari-saudari seiman nya.
8. Makhzanu al-La’ali fii Manaqib Maula al-Mawali (Ali as)
Kitab ini membahas tentang keutamaan imam Ali as yang tersusun dari mukadimah, lima bab pembahasan dan diakhiri dengan penutup.
9. Sair wa Suluk dar Rawesy-e Auliya wa Thariq-e Sair Su’ada
Kitab ini membahas tentang pembahasan irfan (tasawuf) seperti Kasyf (penyingkapan), Syuhud (penyaksian), fana’ (penyatuan), baqa’ (kekekalan) dan Sair ilallah (meniti jalan menuju Allah).
Beberapa Cuplikan Wawancara dengan Maktab-e Islam
Soal : Apakah kebanyakan ilmu Anda didapatkan melalui belajar, atau didapatkan dari ilham? Silahkan jelaskan tentang ilmu dan cahaya (nur) ilmu!
Jawab : Saya tidak memahami sesuatu yang terdapat pada ilmu dan maknawi (spiritual) melalui suatu bentuk tekstual, tapi kebanyakan melalui ilham. Jarang sekali isi tulisan saya mengambil bantuan dari luar. Tapi, bukan berarti bahwa saya mengetahui hal-hal yang gaib atau mengetahui keadaan dan isi batin orang lain. Namun yang jelas, kebanyakan maknawi dan makrifah saya bukan didapatkan dari belajar kepada seorang guru. Dan kebanyakan tulisan saya dihasilkan melalui bimbingan dan pertolongan Allah Swt. Adapun ilmu, sebagaimana yang telah disabdakan Rasul saww, dibagi menjadi tiga bagian;
1. ‘Ayatun Muhkamatun’ (tanda-tanda yang kokoh), para ulama mengartikannya sebagai ilmu mengenal Allah Swt.
2. ‘Faridzatun A’dilatun’ (keharusan yang baik) yang diartikan sebagai ilmu akhlak.
3. ‘Sunnatun Qa’imatun’ (kebiasaan baik yang tegak), yang diartikan sebagai ilmu hukum agama (fiqih). Dan yang dimaksud dengan cahaya (nur) ilmu adalah nur makrifat (cahaya mengenal) Allah Swt, mengenal akhlak baik dan buruk dan mengenal hukum agama (fiqih) itu sendiri.
Soal : Bagaimana cara untuk mendapatkan ‘nur ilmu’ tersebut?
Jawab : Pertama ia harus belajar, karena belajar merupakan pengantar untuk mendapatkan ‘nur makrifat’. Ia harus belajar ilmu akhlak dan mengamalkannya. Ia harus mensucikan diri, berperang melawan hawa nafsu dan semua keinginan hatinya, serta memerangi semua sifat tercela yang ada pada dirinya, seperti hasad dan dengki, takabur dan sombong, tamak dan rakus, cinta dunia dan menjauhkan semua sifat tersebut dari dirinya. Ia harus berusaha untuk mencapai keimanan dengan dalil dan argumen, lantas setelah itu ia harus beramal, menjalankan semua perkara yang telah diwajibkan oleh agama dan menjauhi semua yang telah dilarang oleh agama.
Soal : Kitab terbaik apa yang telah dibaca oleh Tuan?
Jawab : Kitab pelajaran terbaik yang sangat bermanfaat dan dapat digunakan oleh saya adalah kitab ‘Asfar Arba’ah’ (empat perjalanan spiritual) karya Mulla Sadra. Kitab ini sebanyak empat jilid, tapi saya hanya menela’ah dua jilid saja, dimana kandungan kitab tersebut sesuai dengan semangat dan karakter jiwa saya. Kitab tersebut memuat berbagai makrifat (pengetahuan), dimana untuk memahaminya diperlukan menyelesaikan pelajaran filsafat terlebih dahulu. Saya juga menyenangi berbagai kitab hadis dan tafsir, terkhusus beberapa tafsir seperti kitab Majma’ul Bayan karya Allamah Thabarsi.
Soal : Apakah dapat dikatakan bahwa laki-laki lebih baik dari perempuan?
Jawab : Sama sekali tidak dapat dikatakan bahwa semua laki-laki lebih baik dari perempuan. Karena kita telah memiliki para perempuan agung seperti Sayyidah Fathimah Zahra as, Sayyidah Maryam as, Sayyidah Khadijah as dan lainnya, dimana mereka lebih tinggi dan agung kedudukannnya dari kebanyakan laki-laki. Adapun kelebihan yang ditetapkan Allah bagi laki-laki dalam sebagian permasalahan, hanyalah menyangkut dari masalah umum ke hal umum yang lain, bukan dari masalah individual ke individual yang lain, adapun kekurangan perempuan yang telah disebutkan al-Qur’an bahwa perempuan memiliki kesenangan untuk berpamer diri, sehingga, dengan hal itu menyebabkan mereka sering lalai dalam menyibukan diri berkaitan dengan perkara yang berhubungan dengan kesempurnaan jiwanya, tentu kecenderungan semacam itu dianugerahkan oleh Allah Swt kepada perempuan bukan tanpa hikmah, dan hikmah diwajibkannya hijab pun diantaranya karena permasalahan ini. Namun demikian, ini merupakan perkara umum yang biasanya terjadi di antara kaum perempuan dan tidak mencakup semua perempuan. Karena terdapat perempuan yang dapat mengalahkan kecenderungan tersebut dan hanya menggunakannya dalam perkara yang diperbolehkan oleh agama saja. Sebagaimana kita pun dapat menemukan seorang perempuan yang dapat melerai pertikaian dan dapat menghukumi sesuatu.
Soal : Apakah sifat ‘pamer diri’ yang terdapat pada perempuan harus dimusnahkan?
Jawab : Sifat tersebut, akan menjadi baik jika digunakan dalam perkara yang dihalalkan agama. Tetapi berkaitan dengan permasalahan yang lain, perempuan harus terus berusaha untuk memerangi sifat dan kecenderungan tersebut. Karena, jika tetap hanyut dalam sifat pamer diri, maka akan mengakibatkan penyimpangan. Hal itu disebabkan karena sifat pamer diri merupakan salah satu bentuk syahwat. Adapun hikmahnya, Tuhan telah menetapkan sifat pamer diri pada diri perempuan, supaya lelaki tertarik kepadanya dan menikahinya, yang pada akhirnya akan menghasilkan generasi dan keturunan yang baik. Dari sisi lain, perempuan berada di bawah tanggungan laki-laki.
Soal : Pada masa kini, menurut Tuan, jihad apa yang terbaik bagi kaum perempuan?
Jawab : Yang terpenting bagi perempuan pada masa sekarang ini adalah untuk selalu berusaha memerangi keinginan hawa nafsunya, dan berusaha untuk memerangi rasa ingin selalu tampil dengan berbagai model, cara berpakain dan berbagai bentuk perhiasan. Walaupun hal tersebut sangat sukar untuk dilakukan, tetapi ini akan memberikan hasil berupa kesempurnaan maknawi dan spiritualitas dengan cepat. Oleh karenanya, jihad terbaik bagi perempuan adalah menjaga hijab.
Soal : Silahkan sampaikan, jika Tuan memiliki pesan tentang syarat kebahagiaan bagi kaum perempuan!
Jawab : Sebagaimana yang telah saya tulis dalam buku Rawesy-e Khusybakhti (Cara Hidup Bahagia), bahwa kebahagiaan tergantung pada dua sisi sekaligus; jasmani dan ruhani, oleh karenanya diharuskan menjaga kedua sisi tersebut. Berkenaan tentang sisi ruhani, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam buku tersebut, bahwa perempuan harus selalu berusaha untuk menggapai sifat-sifat yang baik dan sisi insaniyah (kemanusiaan) pada dirinya. Salah satu sifat luhur yang paling menonjol pada diri perempuan adalah iffah (menjaga kesucian diri), dari situ akhirnya para ulama akhlak mengatakan, “Pokok dasar kemuliaan wanita adalah al-‘iffah, sementara pokok dasar kemuliaan laki-laki adalah berani (syaja’ah).”
Oleh karenanya, perempuan harus selalu berusaha untuk menjaga diri dari pandangan lelaki-lelaki yang hina dan mata keranjang. Karena kemuliaan perempuan di hadapan semua makhluk yang berakal sehat adalah dilihat dari sisi iffahnya. Saya tidak menentang perempuan untuk belajar, tapi usahakan dilakukan dengan menjaga harga diri dan kemuliaan Islam. Merobek dan melecehkan hijab, sama halnya dengan merobek dan melecehkan al-Qur’an. Karena al-Qur’an telah memberikan hukum khusus tentang hijab. Setiap orang yang menentangnya, sama halnya dengan telah menantang dan melecehkan hukum Allah Swt yang disampaikan melalui lisan suci Nabi saww. Konsekuensi sebagai orang yang mengaku muslim ialah meyakini dan mengamalkan perintah al-Qur’an, karena dengan hal ini kebahagiaan sejati sebagai seorang muslim akan terwujud. Berkenaan tentang kebahagiaan, Phytagoras pernah berkata, “Sedikit sekali orang yang mengenal jalan kebahagiaan. Kebanyakan mereka hanyalah menjadi bahan bulan-bulanan hasrat dan permainan hawa nafsunya, akhirnya ditelan ombak penentangan dan terus berputar-putar di tengah laut yang tak bertepi, bagaikan orang-orang buta di hadapan badai dan topan.”
Hal lain yang harus saya ingatkan, terkhusus bagi kaum perempuan, berperang melawan sifat-sifat tercela seperti suka pamer negatif, tipu daya (makar) dan iri dengki (hasud). Karena kedua sifat ini lebih banyak dan lebih dominan pada perempuan. Usahakan untuk menjauhkan diri kita dari sifat-sifat tercela dan hina tersebut. Terakhir, harus saya katakan, wahai para perempuan! Tiada kebahagiaan yang melebihi dari ketenangan jiwa. Dan ketahuilah, kebahagiaan sejati terjelma pada segala bentuk keutamaan dan kemuliaan. Kapan kita bisa mendapatkan keutamaan dan ketenangan jiwa? Tentu, kebahagiaan itu akan dapat dicapai oleh manusia dalam lautan tak bertepi di kehidupan dunia ini hanya dengan berpegang teguh pada tali tauhid. Hal itu sebagaimana yang telah disebutkan dalam al-Qur’an, “Maka, barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah penolong orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, penolong-penolong mereka adalah Thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya ”.
Kebahagiaan sejati akan dihasilkan melalui keimanan, tauhid dan ketakwaan. Jika kalian semua menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat, maka kalian harus mengikuti al-Qur’an. Langkah demi langkah yang kalian titi akan menghantarkan kalian kepada-Nya. Di saat itulah kalian akan merasakan kebahagiaan sejati.