Mulla Sadra: Guru Kemanusiaan
Yang menarik dari Mulla Sadra adalah karena ia seorang realis (muhaqiq), seorang filsuf adalah seorang yang dapat merealisasikan al-Haq, tidak berbeda dengan obsesi Plato yang menjadikan filsafat sebagai basis mengubah kehidupan, maka Sadra juga demikian. Ia seorang guru kemanusiaan, pakar dalam menyampaikan berbagai dimensi Islam yang sangat luas; teologi, irfan, filsafat, tafsir, hikmah, dsb.
Beliau tidak seperti Ghazali yang mengalami kesangsian dan harus meragukan segala sesuatu, namun mengubah paradigma dan orietasinya melakukan pendalaman (deepening). Karena segera menyadari posisi diri dan apa yang terjadi di sekitarnya. Dalam memoirnya berkata bahwa: “Kalau kebenaran itu satu, mengapa setiap disiplin ilmu saling mengklaim dirinya yang paling benar, jika demikian, maka ada beberapa kebenaran dan sejumlah asumsi yang konsekuensinya membatalkan pandangan yang lain.”
Kita berhutang budi kepada para jenius Yunani yang telah membakar omega otak manusia dengan refleksi-refleksi brilian tentang logos, the one and the many, perubahan dan permanen. Sesuatu yang menjadi nyawa dari segala penampakan, seperti matrix ada tapi tidak ada, ada tapi tidak kelihatan. Itu adalah inisiasi sebuah budaya unggul tentang bagiamana refleksi manusia bisa menembus berbagai misteri.
Di tangan Mulla Sadra, masa lalu dan kitab klasik tidak pernah diam dan mati. Pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Plotinus, dan lainnya selalu menarik untuk dikaji, analisa dan dicermati segala pesonanya dari berbagai sudut pandang.
Mulla Sadra memang bak magnit, menyedot perhatian dan cinta dari para ilmuwan. Ia seorang bintang di abad 20 yang sayangnya masih kurang diapresiasi secara maksimal terutama di kawasan-kawasan muslim, seperti Indonesia, Malaysia apalagi di negara-negara yang para pengikutnya literalis, tidak begitu concern dengan filsafat atau islamic mysticisme.
Terlalu sayang untuk diabaikan karena kelemahan atau kekurang terbukaan sebagian kelompok Islam, sehingga menganggap sepi karya-karya dan pemikiran-pemikirannya. Cara berpikir atau penalaran seperti ini adalah kekeliruan berpikir yang sering menghinggapi benak kaum muslimin, Argumentum ad hominem, yaitu cara berpikir atau penalaran yang menyatakan bahwa jika orang itu saya anggap buruk atau salah, atau karena tidak saya sukai maka apa yang keluar dari pemikiran atau karyanya pasti salah.
Tampaknya polymat penulis prolific seperti Mulla Sadra adalah orang yang sering tidak disukai, dilecehkan dan dianggap ‘Guru Kesesatan’ atau guru-guru yang mengajarkan ajaran ganjil dan tidak sesuai dengan ajaran al-quran dan sunnah atau tradisi para sahabat, maka mereka tidak pantas dipelajari, bahkan mereka perlu dihujat. Benarkah Mulla Sadra tidak memperhatikan al-Quran dan sunnah? Tahukah anda bahwa Sadra menulis 9 jilid kitab Tafsir al-Quran dan menulis dua kitab Syarah Hadis al-Kafi.
Mulla Sadra ketika mengalami kesulitan memecahkan tema-tema hikmahnya, ia mendatangi makam (marqad) Sayidah Ma’shumah (Adik Imam Ridha as). Bagi kita yang ingin membuka mata pengetahuan batin lewat para alim ulama yang Ahli Al-Quran dan pengetahuan-pengetahuan aqli, maka kita secara tradisi tidak hanya mempelajari buku-buku teks atau karya-karya mereka sendiri, namun juga harus berusaha meneladani aktifitasnya. Karya-karya ilmiah Mulla Sadra tidak cukup dikonsumsi oleh akal sahaja, tapi juga harus dihidupkan dalam amal, teori nadzari dan amaliyah harus menyatu, baru seseorang berhasil memahami pengetahuannya secara maksimal.
Syeikh Ahmad Al-Alawi tokoh suci dari Al-Jazair mengatakan, “Seseorang yang tidak mencair di dalam agama, maka di dalam tangannya agama akan mencair dan tertumpah.” Maksudnya bahwa eksistensi manusia yang terpecah-pecah menjadi satu, perlu menjadi lebur dalam kebenaran dengan mencapai kebajikan-kebajikan.” Tidak seperti di Barat, kata Nasr muncul suatu kelompok ‘tradisionalis’ yang menerima ajaran-ajaran tradisionalis secara mental, namun tidak mempraktekan jalannya yang otentik.
Marhalah-Marhalah Kehidupan Intelektual Mulla Sadr
a
Marhalah pertama: “Dulu aku sering sibuk dengan bathsiyah dan mengulang-ulang dan muthola’ah kitab-kitab para ahli hikmah dan nazar, sampai aku menyangka aku telah mencapai sesuatu. Tapi ketika bashirahku terbuka dan aku melihat keadaan diriku (tentu setelah melewati tahap pertama), aku melihat diriku-walaupun aku memperoleh sesuatu tentang hal ihwal mabda dan membersihkan dari sifat-sifat imkan dan kebaharuan, dan sedikit tentang ilmu ma’ad untuk nafs-nafs insan-tapi aku kosong dari ilmu hakikat dan hakikat-hakikat a’yan yang tidak bisa dicerap kecuali dengan dzauq dan mukasyafah.”
Marhalah kedua: “Uzlah dan inqitha dalam ibadah selama 15 tahun di sebagian gunung-gunung yang jauh.” Ada juga yang menyebutkanya di Kahak di desa Qum. Beliau menuliskan pengalaman-pengalamannya dalam mukadimah Asfar dan kitabnya yang lainnya.
Marhalah ketiga: “Marhalah menulis kitab, karena Allah telah mengilhamkan padanya apa yang ia dapati di marhalah kedua.” “Sesungguhnya seorang alim secara hakiki adalah arif sufi yang ikhlas dalam menjalankan agama dan membersihkan diri dari kotoran-kotoran dunia dan syahwatnya. Kalau anda ingin melakukan kajian atas demikian, aku akan menggambarkan padamu perumpamaan sehingga terkuaklah bagi yang mempelajari keutamaan alim, arif dengan sifat-sifatnya dibandingkan alim zahir yang tertipu dengan banyak riwayat. Jika (alim zahir) memasuki sebuah majlis dan ia telah menentukan tempatnya sendiri untuk ia duduk sesuai dengan kepercayaan akan kedudukan dan ilmu, dan tiba-tiba masuknya dari jenisnya dan duduk di atas tempatnya, maka si alim itu seperti merasa mengkerut dan dunia menjadi gelap baginya dan kalau bisa ia membunuhnya.
Ini adalah penyakit dan ia tidak sadar (fathana) bahwa penyebab penyakit ini harus diobati dan ia tidak berusaha mencari akar penyakit ini, kalau ia tahu sumber penyakitnya, pasti ia akan mengobatinya. Sumber dari hal itu karena ia tidak mau mempelajari ilmu hakikat dan tidak tahu tentang dirinya, ahwal dan martabat-martabatnya, karena itu adalah induk keutamaan dan ashlul hikmah. Dan kunci semua makrifat-makrifat. Dan ia jahil bahwa nafsu ini memberontak dan muncul, bangkit karena kejahilannya. Dan menjadi Fir’aun karena ada takabur dan sisa-sisa kekufuran dan ananiyah dan memandang diirnya lebih baik dari yang lain.
Tidak hanya sekedar pandangan-pandang bahtsiyah (diskursif) yang para ahli syak akan bermain-main dengan menakwilkannya. Maka generasi yang selanjutnya (lahiq) akan mencela generasi lama (sabiq). Dan keduanya tidak mau berdamai (tashaluh). Ia juga memuji para ahli hikmah besar (kibaril hukama) dan auliya yang memiliki musyahadah yang bercahaya. Misalnya menyangkut mutsul aflaton (alam idea Plato) :
“Mereka mencukupkan diri dengan musyahadah yang jelas dan terjadi berulang-ulang pada diri mereka. Kemudian mereka menceritakan kepada yang lain, dan yang lain menjadi percaya dengan mereka atas apa mereka sepakati dan atas keyakinaannya atas apa yang mereka lihat dan mereka juga menceritakannya. Dan tidak ada orang yang bisa mendebatnya.”
Meskipun dengan keyakinan yang kuat atas mukasyafah, Mulla Sadra juga merasa bahwa seorang salik tidak hanya cukup dengan satu jalan (musyahadah tersebut). Ia mengatakan Dan itu ia jelaskan berulang-ulang dalam kitab-kitabnya dan ia menegaskan pentingnya menyatukan dua hal tersebut.
Mulla Sadra juga sangat mempertimbangkan pentingnya generasi atau para penerus yang akan menghidupkan kebijakan-kebijakan yang abadi. Lantaran itu di Qom, beliau menyediakan waktu yang khusus selama delapan tahun untuk mendidik dan menyiapkan kader-kader calon filsuf muda seperti Muhsin Fayyd Kashani (d.1090 AH/1680). Yang kedua yang tidak kalah bakatnya yaitu Abd Razzaq Lahiri yang dikenal dengan Fayyad Lahiri (1027/1661) dan kemudian keduanya menjadi menantunya. Dua kader dan dua murid lain yaitu Husayin Tankabuni, (1105/1693) dan Muhammad Riza Aqazani (d.1071/1660). (SN)