Pemaknaan’Irfân’ dan ‘Arif Dalam Perspektif Allamah Murtadha Muthahari (Bagian Kedua)
Patut dicatat bahwa Muthahari tidak setuju bila seorang ‘ârif atau sufi itu dianggap identik dengan pemakaian pakaian yang sederhana, seperti terbuat dari bulu domba. Dengan kata lain, Muthahari menolak formalitas dan simbolisasi ‘irfân. Bahkan dengan tegas dia menyatakan bahwa tidak jarang ada orang-orang yang tidak memiliki penampilan sufi namun di saat yang sama mereka justru menjalankan praktik ‘irfân secara mendalam. Dalam hal ini, Muthahari menyatakan, “Dan di antara kaum Syiah terdapat ‘urâfâyang tidak menunjukkan tanda-tanda lahiriah ini (dari sisi pakaian dan penampilan terkesan biasa saja), namun pada waktu yang sama mereka benar-benar terlibat dalam praktik sayr wa sulûk ‘irfân. Merekalah ‘urâfâ hakiki.”[1]
Muthahari mencoba memberikan gambaran dan defenisi yang komprehensif tentang hakikat seorang ârif,
“Ărif tidak bekerja dengan akal dan pemahaman, namun ia ingin mencapai esensi dan hakikat wujud, yaitu Allah dan terhubungan dengan-Nya serta menyaksikan-Nya. Menurut sudut pandang ‘ârif, kesempurnaan manusia bukan hanya ia memiliki gambar/citra dari wujud dalam otaknya, namun hendaklah ia kembali tempat asalnya dengan melakukan sayr wa sulûkdan menghilangkan jarak dan ketertinggalannya dari Zat Allah serta merasakan kefanaan dalam kedekatan-Nya dan kemudian kebakaan bersama-Nya.”[2]
Defenisi yang dikemukakan Muthahari di atas menjamah aspek ‘irfân pada dataran teoritis (epistemologis) dan sekaligus praktis. Muthahari ingin membedakan dan membandingkan antara kinerja ‘ârif dan filosof. Bila pemahaman dan eksplorasi akal itu begitu penting bagi filosof maka penyaksikan dan eksplorasi batin (hati) menjadi cirri khas ‘ârif. Dan pembeda lainnya adalah ‘ârif berusaha merasakan apa yang dipahaminya dan bertujuan untuk menggapai keintiman dan emanasi dengan Allah Swt. Dan sayr dan suluk merupakan satu-satunya cara bagi seorang ‘ârif untuk merealisasikan tujuan ‘irfâni ini.
Sementara itu, Bayazid Basthami mendeskripsikan ‘ârif seperti ini: “Kesempurnaan ‘ârif ketika ia “terbakar”di jalan al-Haqq…’ârif melihat ma’rûf dan ia tidak mendengar alam.”[3]
Lebih jauh beliau mengatakan, “Salah satu sifat yang terendah dari seorang ‘ârif adalah sifat-sifat al-Haqq itu memanifestasi dalam dirinya, dan jenis ‘ubudiyyah itu mengalir dalam dirinya.”[4]
Penjelasan ini sebagaimana tampak, lebih banyak merujuk pada aspek praktis, tetapi dalam kata-kata yang lain dari ‘ârif yang terkenal ini, begitu juga karya-karya ‘urâfâ Islam yang lain, biasanya itu lebih mengukuhkan makna ‘ârif pada aspek epistemologis.
Kemudian Junaid Baghdadi (wafat tahun 297) ketika ditanya tentang siapa itu ‘ârif dan ma’rifat, beliau menjawab, “Ma’rifat adalah hendaklah engkau mengenali apa yang menjadi milikmu dan apa yang menjadi miliki Tuhan.”[5] Dengan kata lain, pada hakikatnya, hendaklah engkau mengenal al-Haqq dan khalq dan hukum masing-masing itu letakkanlah di tempatnya.
Saat menjelaskan kata ‘ârif dalam kitab Isyârat, Ibnu Sina (wafat tahun 426) hijriah, meletakkannya di samping kata zâhid dan ‘abid. Beliau mengatakan,
Orang yang zâhid adalah orang yang menjauhi dunia untuk mendapatkan sesuatu yang dicarinya, sedangkan orang ‘âbid adalah dengan bertawasul dan ibadah, dia sedang mencari tujuannya. Sedangkan orang yang berkonsentrasi dengan pemikirannya kepada kesucian al Jabarût dan selalu terkoneksi dengan pencerahan-pencerahan cahaya al-Haqq dalam rahasianya itu secara khusus disebut dengan ‘ârif.[6]
Ahmad Muthahar
[1] Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy, hal. 76. Dan teks bahasa Persinya adalah
و البته همواره- خصوصاً در ميان شيعه- عرفايى بوده و هستند كه هيچ امتياز ظاهرى با ديگران ندارند و در عين حال عميقاً اهل سير و سلوك عرفانى مىباشند، و در حقيقت عرفاى حقيقى اين طبقهاند.
[2] Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy, hal. 81. Dan teks bahasa Persinya adalah
عارف به عقل و فهم كارى ندارد. عارف مىخواهد به كُنه و حقيقت هستى كه خداست برسد و متصل گردد و آن را شهود نمايد.از نظر عارف كمال انسان به اين نيست كه صرفاً در ذهن خود تصويرى از هستى داشته باشد، بلكه به اين است كه با قدم سير و سلوك به اصلى كه از آنجا آمده است باز گردد و دورى و فاصله را با ذات حق از بين ببرد و در بساط قرب از خود فانى و به او باقى گردد.
[3] Dr. Sayid Ishaq Husaini Kohasari, Mabâni Tafsĭr ‘Irfâni, hal. 61. Dan teks bahasa Persinya adalah
کمال عارف سوختن او باشد در راه حق…عارف معروف را بیند وعالم نشنید
[4] Ali Amini Nejad, Osynoi Bo Majmu’eh ‘Irfân Islamiy, (terbitan Muassasah Omuzesy wa Pozuhesy Imam Khomaini, Qom 1432 H), hal. 44.
[5] Ali Amini Nejad, Osynoi Bo Majmu’eh ‘Irfân Islamiy, hal. 44.
[6] Ali Amini Nejad, Osynoi Bo Majmu’eh ‘Irfân Islamiy, hal. 44-45.