Pengaruh Kultural-Ilmiah Imam Ridha as
Bila ditelaah, para imam maksum memiliki pengaruh kultural ilmiah sepanjang sejarah. Umat Islam dan khususnya Syiah layak untuk mengkaji pengaruh para imam terhadap lingkup budaya Islam, terutama budaya Syiah sehingga pengaruh-pengaruh tersebut dapat dikenal secara umum. Salah satu contohnya adalah pengaruh Imam Ridha as di Iran dan wilayah Khurasan Raya. Pengaruh ini layak dikaji dalam dimensi historis, sosial dan budaya. Pengaruh ini harus diperhatikan karena para imam adalah sumber karya dan budaya besar.
Pengaruh Imam Ridha as terhadap Budaya
Persia (Iran)
Pembahasan terkait Imam Ridha as dapat dipaparkan dalam beberapa bentuk. Imam Ridha as satu-satunya imam maksum yang haram (komplek pemakaman)nya tidak berada di wilayah Arab, namun berada di Iran dan di wilayah berbahasa Persia. Maksumin yang lain (Ahlul Bait dan para imam lainnya) di Irak atau di Arab Saudi. Poin pentingnya bahwa pengaruh Imam Ridha dalam budaya dan masyarakat sangat besar.
Imam Muhammad Baqir as melihat kesiapan intelektual, kultural dan sosial di Iran untuk intelektualitas Syiah. Oleh karena itu, Imam Baqir mengatakan supaya Bani Asy’ari berhijrah ke Qom. Masuknya mereka ke Qom merupakan langkah pertama untuk melembagakan Syiah di wilayah Iran, sedangkan gerakan penting kedua yang terjadi dalam sejarah adalah hijrahnya Imam Ridha as.
Munculnya Syiah di Iran
Ketika sejarah munculnya Syiah di Iran dikaji, dapat ditemukan dua poin penting dalam perjalanan ini; poin pertama adalah Bani Asy’ari yang berhijrah dari Madinah ke Qom dengan instruksi Imam Baqir as. Ahlul Bait as ingin menemukan suasana yang tenang, jauh dari hiruk pikuk politik selain suasana di wilayah Arab, terutama Kufah yang menjadi basis Syiah di Irak dan senantiasa menjadi tempat konflik politik dan historis. Di tempat suasana yang tenang tersebut Syiah dapat dilembagakan dan tidak ada tempat yang lebih baik dari budaya Iran. Alasannya, karena orang-orang Iran selalu berkarakter muhawwid (penyembah Tuhan Yang Esa) dan merupakan masyarakat beragama. Lembaga-lembaga keagamaan bahkan telah ada di Iran sebelum Islam. Artinya, masyarakat Iran memiliki kesiapan menerima pemikiran keagamaan dan tauhid.
Poin kedua dalam sejarah munculnya Syiah di Iran adalah hijrahnya Imam Ridha as dari Madinah ke Khurasan yang memiliki sisi historis. Meski hijrah tersebut bukan dari keinginan Imam Ridha as, karena Makmun ingin mewujudkan tujuannya sendiri. Namun karena berbagai ancaman dan bahaya yang mengarah ke Imam Ridha as, beliau menerima usulan tersebut.
Perbandingan antara gerakan Imam Ridha as dengan gerakan Imam Husain as, gerakan Imam Husain as dari Madinah ke Irak diikuti oleh perempuan dan anak-anak, namun hijrahnya Imam Ridha as tidak dibarengi oleh perempuan dan anak-anak. Ini menjadi hal yang bermakna dan perlu untuk direnungkan, kenapa Imam Ridha as tidak membawa keluarga beliau?
Yang lebih penting dari semua itu bahwa Imam Ridha as sebelum berangkat, mengumpulkan seluruh keluarga dan mengatakan, menangislah untukku. Imam Ridha as berkali-kali juga menyatakan bahwa ini adalah pertemuan terakhir karena kalian tidak akan melihatku lagi.
Haram Imam Ridha as: Basis Intelektual Syiah
Kehadiran Imam Ridha as di Iran dan wilayah Khurasan Raya yang juga mencakup wilayah-wilayah Turkmenistan dan Utara Afghanistan, lalu adanya haram beliau di Khurasan menjadi titik berkah dan basis Syiah.
Wilayah Tus memiliki pengaruh kultural – ilmiah dalam pemikiran Syiah. Ketika mengkaji peran hauzah-hauzah ilmiah Syiah dalam budaya dan peradaban Islam, Qom disebutkan lebih tua dari Najaf. Tentunya, bila dilihat hauzah-hauzah ilmiah Syiah dan tempat pendidikan para intelektual Syiah di masa awal Islam, maktab Madinah adalah yang paling tua, karena Nabi saw meletakkan batu pertama hauzah di sana. Setelah beliau, giliran Imam Ali as yang mengajarkan sahabat-sahabat di Madinah, setelah itu maktab Kufah terbentuk. Namun di antara hauzah-hauzah ilmiah, Qom lebih tua dari Najaf. Namun pengaruh yang dimiliki oleh Masyhad –wilayah Tus- selalu berkesinambungan dan berlanjut.
Meskipun pada masa-masa awal, Qom lebih tua dari Najaf, namun sebuah kontinum historis harus selalu ada. Pada banyak tradisi ilmiah, kontinuitas historis sangat penting. Keterputusan historis dalam tradisi-tradisi ilmiah tidak baik. Tradisi ilmiah menjadi bermakna ketika berjalan dengan sebuah ritme tertentu dan memiliki kontinuitas. Sejak kedatangan Imam Ridha as ke Iran, Khurasan menjadi sebuah basis besar intelektualitas yang penting dan layak diperhatikan.
Bahwa Imam Ridha as menjelaskan hadis terkenal “Silsilah Adz-Dzahab” di Naisabur dan menurut satu pendapat terdapat 12 ribu ahli hadis dan perawi berkumpul di sisi beliau as saat itu, menunjukkan bahwa kondisi di sana adalah sebuah kondisi kultural. Jika tidak demikian, tiada bermakna jumlah ahli hadis, mufassir, sejarawan, dan penulis pada masa lampau berada di sebuah kota. Oleh karena itu, ketika Imam Ridha as datang ke Khurasan, ucapan pertama yang beliau sampaikan adalah pembahasan imamah (kepemimpinan), karena fokus hadis “Silsilah Adz-Dzahab” adalah imamah.
Ketika Imam Ridha as datang ke Khurasan, Makmun mengatur berbagai pertemuan dan dialog dengan agama-agama lain. Tujuan Makmun adalah memberikan tekanan kepada Imam Ridha secara ilmiah dan intelektualitas, namun ia tidak berhasil.
Para imam sepanjang sejarah memiliki pengaruh kultural besar. Oleh karena itu, ketika orang pergi mengunjungi tempat ziarah salah satu imam secara umum dan Imam Ridha secara khusus, kurang pantas bila hanya datang berziarah. Tentunya, ziarah adalah aspek yang dominan, namun bukan berarti tidak memperhatikan atau bahkan mengabaikan sisi-sisi lainnya.
Mari simak kondisi ilmiah masa Imam Ridha as. Pada masa Imam Baqir dan Imam Jakfar Shadiq as, kondisi Madinah sangat ilmiah. Karena konflik politik yang terjadi antara Bani Marwan dan sisa-sisa Bani Umayah dan Bani Abbasiah, Imam Baqir dan Imam Shadiq as memanfaatkan suasana kegaduhan politik tersebut semaksimal mungkin untuk mendidik murid-murid mereka. Mereka berdua memberikan perhatian penuh terhadap kematangan intelektualitas Syiah.
Namun pada masa Imam Ridha as, meski beliau dikenal sebagai putra mahkota di Marw, akan tetapi gelar ini tidak lebih dari sekedar sebuah jebakan atau perangkap politik. Imam Ridha as lebih cerdas daripada harus terlibat urusan seperti itu.
Saat berada di Khurasan, Imam Ridha as tidak memiliki kesempatan dalam menyampaikan dan membahas ilmu. Beliau dikenal sebagai “Alimnya Keluarga Muhammad”, maka bagaimana pribadi yang dikenal dengan julukan demikian namun tidak dapat menciptakan gerakan ilmiah?
Bukan berarti beliau tidak mampu atau berusaha tidak maksimal, namun tekanan politik yang dialami beliau sedemikian rupa sehingga bila ada orang yang dua kali ketahuan datang dari Imam Ridha, maka kali ketiganya akan diinterogasi. Demikianlah, bila Imam Ridha as tidak dapat menciptakan suasana ilmiah yang besar seperti Imam Baqir dan Imam Shadiq, hal tersebut disebabkan oleh tekanan politik pengauasa masa itu. Beberapa hadis dan riwayat yang sampai kepada kita dari beliau, sementara beliau berada dalam tekanan politik, tampaknya merupakan mukjizat.[iqna.ir]IG