Gerak Cinta untuk Kembali Pada Sang Aku
Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku cinta untuk dikenal, maka Aku mencipta makhluk agar Aku dikenal.
Bagaimana cinta bermula? Tiada lain dari Sang Aku yang tersembunyi, di sini Sang Aku adalah satu-satunya realitas. Untuk itu tidak ada dualitas antara aku sebagai subyek dan realitas obyek sebagaimana hubungan kita dengan realitas di dunia ini.
Ketersembunyian Sang Aku juga tak bermaksud ketertutupanNya dari yang lain, karena tiada yang lain kecuali sang Aku. KetersembunyianNya adalah bahwa kemustahilan bagi ketersingkapan atas Sang Aku. Sang Aku dengan mutlak menyadari bahwa yang ada hanyalah diriNya. Dan jika pun harus ada yang lain yang hendak mengetahui diriNya, keberadaan tersebut harus mendapat cahaya ilmu dari Sang Aku. Bahkan keberadaannya dari eksistensi tersebut adalah limpahan itu sendiri.
Dan bagaimana bisa ilmu dan keberadaan yang hanya dilimpahkan sebagaiannya saja dapat memahami kebesaran wujud yang melimpahkannya?
Artinya, ada atau tiadanya yang lain, Sang Aku akan tetap sebagai Sang Aku yang riil, tak tersentuh, tak terurai, tak berdimensi, dan segala rupa negativitas yang dapat dipredikatkan padaNya. Sang Aku akan selalu tersembunyi, tak dikenal.
Sang Aku yang tersembunyi untuk selamanya itu adalah maqam ghaibul ghuyub atau maqam zat dimana pada maqam ini tak ada determinasi dalam bentuk apapun.
Namun, kini selainNya ada. Berarti Sang Aku tidak sendiri, karena sudah ada yang lain. Bagaimana yang lain ada? Jelas tidak mungkin dari ketiadaan, pasti adalah ulah Sang Aku. Karena hanya Sang Aku satu-satunya keberadaan yang keberadaanNya adalah diriNya sendiri. KeberadaanNya bukan sifat yang melekat padaNya melainkan diri-dzat-Nya sendiri. ADA itu bernama Aku.
Ibnu Arabi tentang Maqom wujud
Seorang mistikus besar, Ibnu Arabi, menyaksikan dalam kasyafnya bahwa secara gradual tak semata-mata dan tiba-tiba yang lain itu (alam) dengan kejamakannya muncul begitu rupa. Adalah Maqom ghaibul ghuyub yang mulai menampakkan diri dalam level berikutnya pada suatu maqam yang dikenal sebagai maqam ahadiyah atau dikenal juga sebagai ta’ayyun al awwal, dia tetaplah sang Aku dalam maqam yang lebih jelas karena kemungkinannya untuk mendapat predikat segala rupa, yang itu berbeda dari maqam sebelumnya yang tak mungkin dipredikatkan apapun padanya, hingga Dia ‘terpaksa’ dikatakan Gaibnya dari segala rupa kegaiban.
Maqam ahadiyah atau ta’ayyun al awwal, konstitutif pada dirinya segala hakikat yang akan dan mungkin untuk lahir berikutnya. Maka, ia pun disebut haqīqah al-haqāiq, hakikatnya dari segala hakikat. Ia—barangkali—merupakan forma-forma idea yang dimaksud kaum filsuf (terutama Platon) dalam keharusan asas rasionalnya. Karena segala bentuk kejamakan mesti berlatar dari kesatuannya, kejamakan dengan kesamaan esensi mesti lahir satu satu esensi pula, karena justru dari yang satu, kejamakan tersebut bisa memiliki kesamaan. Alam raya dengan kejamakannya ini harus berlatar dari kesatuan, suatu forma yang padanya segala yang jamak berpartisipasi.
Karena ia adalah kesatuan dari segalanya kebermacam-macaman, maka sesungguhnya ia memiliki suatu kualifikasi utama, yaitu cinta.
Cinta itu menyatukan ….
Cinta Sang Aku yang tersembunyi terungkap dalam maqam ini, maka maqam ahadiyah adalah maqom cinta, bahkan mungkin dia adalah eksistensi cinta sang Aku. Sehingga dapat dikatakan segalanya bersumber dari maqam ahadiyah dimana maqom ini adalah eksistensi cinta, segala segala yang ada setelahnya tiada lain adalah gerak cinta.
Muhammad Nur Jabir, pegiat Rumi Institute, menulis dalam blog pribadinya, bahwa Penafsir Ibn Arabi, bernama Yazdān Panāh memberikan pemahaman bahwa gerak akan terlihat dengan jelas pada ta’ayyun tsānī atau wahidiyah, yang berarti pada maqam ketiga. Dikatakan bahwa pada ta’ayyun awwal belum ada keragaman. Hal ini persis lantaran maqam ahadiyah ini adalah satu kesatuan hakikat.
Untuk itu Keragaman terpahami pertama kali pada ta’ayyun tsāni karena ta’ayyun tsānī merupakan perantara antara ta’ayyun awwal dengan alam realitas eksternal. Melalui ta’ayyun tsānī inilah muncul nama-nama Ilahi (asma Ilahi). disini kita saksikan awal mula keragaman yang itu adalah asma Ilahi. Karena itu persoalan gerak bisa dijelaskan pada ta’ayyun tsānī yaitu pada empat hakekat asma yang disebut dengan aimmah al-asma yaitu hayāt, qudrah, iradah, dan ‘ilmu. Keempat asma tersebut berakar pada ta’ayyun awwal.
Para ahli makrifat, lanjut Yazdān Panāh, meyakini bahwa kesempurnaan zat itu sendiri adalah batin dari hayāt dan kesadaran (syu’ur) dari kesempurnaan tersebut adalah batin dari ‘ilmu dan gerak cinta merupakan batin dari iradah dan pada akhirnya tawajjuh jaballī merupakan batin dari qudrah.
Hayat, ilmu dan Qudroh bergerak sesuai IradahNya. Aliran (iluminasi) wujud yang mengalir hingga memasuki realitas terjauh: materi, tentu saja terpenetrasi pada dirinya di setiap gelombang gradasi tersebut keempat fondasi asma di atas. Aliran itu bernama gerak cinta. Maka kemaujudan berarti adalah suatu gerak cinta, yang berarti setiap gerak meniscayakan iluminasi cinta di dalamnya.
Gerak Cinta dan Kesempurnaan
Oleh sebab itu, setiap gerak selalu mengarah pada perwujudan (aktualitas) potensinya, itu berarti setaip potensi terbaik dalam suatu entitas akan menuju aktualitasnya karena sumber wujud selalu hadir dalam gerak cintaNya. Apa yang dicari dalam gerak dengan aktualitasnya adalah kesempurnaan, karena sebelum kesempurnaan tercapai, gerak akan niscaya selalu ada.
Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Maqam Ghoibul Ghuyub), sebagai wujud non predikatif (negatif) dan Aku cinta untuk dikenal (Maqam ahadiyah) cinta sebagai hakikat dzat. Maka—melalui maqam wahidiyah/ta’ayyun tsani—Aku mencipta makhluk (alam semesta), agar Aku dikenal adalah tujuan penciptaan, tujuan gerak cinta; kembali, mengenal dan menyaksikan kesempurnaanNya.
MengenalNya adalah tujuan dan puncak kesempurnaan.
(Fardiana Fikria Qurany)