Peran Perempuan dalam Kebangkitan al-Husein as (Bagian Pertama)
Banyak para wanita, baik dari kalangan keluarga Ahlul Bait as, maupun dari para sahabat setia dan pecinta Imam Husein as yang lainnya yang turut berjuang bersama Imam Husein as dalam revolusi besar itu. Namun, dapat dikatakan di antara semua perempuan tersebut, Sayidah Zainab as sebagai tonggaknya, memiliki peranan yang melebihi dari yang lainnya.
Terdapat sebuah ungkapan yang mengisyaratkan akan pentingnya peranan Sayidah Zainab as dalam kebangkitan al-Husein as,
Al-Islam Muhammaddiyatul Huduts wa husainiyatul Baqa’. ‘Asyuro Husainiyatul Huduts wa Zainabiyatul Baqa‘. “Islam ada melalui Nabi Muhammad saw dan kekal melalui Imam Husain as. Asyuro ada melalui Imam Husain as dan kekal melalui Zainab as.”
Ungkapan di atas merupakan salah satu manifestasi dari hadis Rasulullah saww, “Husain dariku dan aku dari Husain, Allah mencintai orang yang mencintai Husain”.[1]
Ungkapan ‘Aku dari Husain’ mengisyaratkan bahwa kelanggengan Islam Muhammadi terwujud melalui peranan Imam Husain as dalam peristiwa Asyuro. Sedangkan kelanggengan Asyuro terwujud melalui peranan Sayidah Zainab al-Kubro as. Oleh karena itu, Zainab as juga memiliki peran penting dalam menjaga kemurnian dan kesucian Islam Muhammadi. Hal ini menunjukkan tiga buah mata rantai yang satu sama lain saling berkaitan erat dan tidak mungkin untuk dapat dipisahkan; Nabi Muhammad saww, Imam Husain as dan Zainab al-Kubro as.
Melalui peristiwa Asyuro, terjadi pelurusan kembali agama Islam yang telah diselewengkan. Kita dapat memahami perihal ini jika kita menelaah kembali apa yang telah terjadi di zaman Imam Husain as. Ketika itu, ajaran-ajaran Islam diselewengkan, kebenaran diperlihatkan sebagai suatu kebatilan dan sebaliknya. Sang penguasa melakukan hal-hal yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam, padahal ia telah memploklamirkan dirinya sebagai khalifah Rasulullah saw dan khalifah kaum muslimin.
Maka tibalah saatnya Imam Husain as bangkit untuk melawan kezaliman dan memurnikan Islam yang telah dikotori oleh tangan-tangan jahil yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad saw. Imam Husain as sendiri telah menjelaskan masalah ini ketika menuliskan wasiat kepada saudaranya Muhammad bin Hanafiah berkaitan dengan sebab-sebab keberangkatannya ke Karbala. Imam mengatakan bahwa keberangkatannya ke Karbala bukan untuk berbuat keonaran dan kerusakan tetapi untuk merevisi kembali kondisi umat kakeknya (Nabi Muhammad saww), menegakkan yang makruf dan mencegah yang munkar serta menghidupkan kembali jalan serta agama kakek dan ayahnya. Imam Husain as datang ke Karbala bukan untuk melakukan gerakan harakiri, akan tetapi demi menyelamatkan Islam Muhammadi. Meskipun proses penyelamatan tersebut dapat merenggut nyawanya.
Bukankah Imam Husain as mengetahui bahwa bencana dan musibah yang akan menimpa beliau di Karbala? Kenapa beliau tetap bertekad untuk membawa para perempuan, padahal beberapa para pembesar seperti Ibnu Zubair, Ibnu Umar, Muhammad bin Hanafiah, Abdullah bin Umar telah melarangnya untuk membawa para perempuan ke Karbala. Dalam menjawab pertanyaan Muhammad bin Hanafiah tentang sebab dibawanya para perempuan ke Karbala, beliau menjawab, “Allah swt telah menghendaki untuk melihat mereka dalam keadaan tertawan.“[2]
Berdasarkan ungkapan Imam Husein as, salah satu alasan membawa mereka ke padang Karbala adalah untuk melaksanakan kewajiban dan perintah Allah Swt. Bagaimanapun juga, keikutsertaan para perempuan telah mampu menyempurnakan misi dan revolusi Imam Husain as pasca pembantaian di padang tandus Karbala. Hal ini dikemukakan oleh Muhammad Husain Kasyiful-Ghitho. Para perempuan itu aktif sebagai juru bicara di hadapan masyarakat, menyampaikan tujuan kebangkitan Imam Husain as dan sebab penting mengapa beliau sampai dibunuh.
Mereka membeberkan berbagai kebusukan musuh-musuh beliau, mensosialisasikan peristiwa Asyuro seluas-luasnya, sebuah usaha yang tidak pernah dilakukan oleh laki-laki manapun sepeninggal mereka. Sosialisasi ini harus dilakukan di tengah masyarakat. Karena jika tidak maka gerakan Imam Husain as akan mudah terlupakan dan segera lenyap begitu saja ditelan waktu. Itu artinya bahwa gerakan Asyuro tidak memberikan dampak yang semestinya di kemudian hari. Oleh karena itu, sesuai dengan hikmah Ilahi, keikutsertaan para perempuan bersama beliau merupakan sebuah keharusan. Ini sangat relevan dengan pernyataan beliau yang menyatakan, “Allah menghendaki melihat mereka dalam keadaan tertawan.”
Penawanan para perempuan menjadi bukti konkrit dalam membuka kedok para musuh-musuh Imam Husain as. Mereka akan menjadi saksi hidup kebejatan Bani Umayah dan para sekutunya dan perlakuan non manusiawi mereka terhadap keluarga Nabi saw serta para sahabat mulia beliau yang turut syahid di Karbala. Andaikan para perempuan itu tidak turut serta pergi ke Karbala, lantas siapa yang akan menyampaikan kepada publik tentang kebejatan, kebiadaban dan perlakuan hewani bani Umayah terhadap para keluarga Nabi saw serta pengikutnya?
Juga, keikutsertaan Zainab al-Kubro as dan perempuan lainnya karena kecintaan kepada Imam Husein as. Saat Ibnu Abbas melarang Imam Husain untuk membawa para perempuan ke Karbala, Zainab al-Kubro as dan Ummu Kultsum as berkata kepadanya,”Wahai Ibnu Abbas, apakah engkau hendak memisahkan kami dari saudara kami? Demi Allah, kami tidak akan pernah berpisah darinya.“
Ini semua disebabkan kecintaan mereka terhadap Imam Husain as yang tidak dapat dibandingkan dengan kecintaan duniawi apapun. Lebih dari itu, mereka memang mengetahui kedudukan luhur Imam Husain as, sebagai seorang imam, pemimpin dan hujjah Allah Swt di tengah-tengah mereka.
[1] Murtadha Husaini Yazdi, Fadhail al-Khamsah, jil 3, hal 321.
[2] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, hal 142