Pernikahan Sederhana Keluarga Nabi Muhammad Saw
Oleh: Husein Alwi
Masyarakat sosial saat ini dalam menjalankan adab dan metode membangun sebuah keluarga dihadapkan pada masalah yang cukup signifikan. Masalah dari berbagai hal yang membawa gravitasi dan gambaran tidak baik terhadap pikiran masa muda. Keadaan ini dilema sosial yang membutuhkan contoh baik dan struktural, Islam telah menjelaskan proses pembentukan lembaga sakral yaitu keluarga yang samawah sebagaimana mestinya.
Banyak masyarakat membangun keluarga karena dipengaruhi oleh kondisi kekinian seperti mencontoh kehidupan artis hollywood, kehidupan keluarga materialistis dan glamour atau seperti keluarga western yang lebih mengadopsi kebebasan dalam berhubungan seksualnya. Contoh yang diikuti bukan merupakan kehidupan yang baik karena jika tidak mampu mengikuti gaya hidup seperti mereka dapat memungkinkan keluarga tersebut akan berantakan. Tentu setiap pasangan hidup ingin membangun bahtera keluarga yang baik dan terhormat.
Islam mengatur bagaimana seseorang untuk membangun keluarganya dengan rancangan struktural. Dalam Al-Qur’an dijelaskan mengenai prinsip dasar membangun keluarga agar menempuh jalan bahagia dan sejahtera. Nabi Muhammad Saw telah mengamalkan prinsip dasar tersebut dalam membangun keluarganya. Hal itu dilakukan pula saat menikahkan putrinya dengan Sayidina Ali Ibn Abi Tholib.
Membangun Keluarga Sederhana
Hal penting dalam membangun stabilitas keluarga harus memiliki kriteria utama seperti iman, akhlak dan perbuatan baik. Kita tidak dapat melihat atau kadang kita terpengaruh oleh suatu keluarga yang terlihat sukses dan bahagia. Sebenarnya hal itu tidak dapat dijadikan sandaran dalam membangun keluarga, tetapi lihatlah kembali apa yang diandalkan dalam keyakinan mereka. Pada budaya pernikahan kehidupan kekinian kriteria tersebut sudah tidak dipakai. Dan biasanya pada awal pertemuan pertunangan mempertanyakan penghasilan bulanan, pekerjaan dan perlengkapan dan fasilitas kebutuhan hidup calon pengantin. Bahkan sampai membentuk tim dari para pihak pengantin untuk meneliti rumah pribadi, mobil, tempat kerja dan maskawinnya.
Berdasarkan sistem keluarga Sirah Nabawi dan Ahlu-Baitnya, mengajak anak membangun keluarga baru dan berdikari merupakan sebuah kewajiban seorang orangtua. Dan paling sedikitnya, perlengkapan dan fasilitas diberikan kepada anak-anaknya untuk memulai kehidupan baru untuk berdikari. Kita bisa melihat perbandingannya yang terjadi pada era kekinian, terkadang anaknya dijadikan umpan oleh orang tuanya, supaya kedua orang tua mendapatkan nafkah tambahan dari hasil perkawinan tersebut.
Keluarga Nabi Saw memiliki adab yang dapat dicontoh dalam membangun kehidupan berdikari untuk memberikan perlengkapan dan fasilitas kepada anaknya. Imam Ali as dalam hal ini mengatakan; Rasulallah Saw memberikan hadiah anak perempuannya kepadaku, pada waktu malam dan dalam keadaan saya tidak memiliki apa pun kecuali karpet dari kulit domba.[1]
Imam Ali as dan Fatimah Az-Zahra sa memulai kehidupan sederhananya dengan fasilitas minim namun sejahtera dan terhormat tanpa beban. Mereka berdua tidak lagi menunggu mendapatkan fasilitas yang lebih layak untuk membentuk hubungan suci dalam keluarga yang sakinah. Kehidupan sederhana dan mudah seperti ini merupakan saran dari Rasulallah sendiri. Karena menurut Rasul, hal ini akan menuai hikmah dalam kehidupan mereka berdua; pertama, Rasulallah mengetahui betul keadaan ekonomi Imam Ali as. Kedua, banyaknya maskawin dan perlengkapan nikah bukanlah prioritas utama dalam pernikahan, karena pelamar Fatimah as sebelumnya banyak yang membawa maskawin melimpah, namun Rasulallah menolaknya. Imam Jakfar Shadiq dalam hal ini mengatakan; siapa pun yang takut menikah karena alasan tidak mampu menafkahi sama saja ragu terhadap kebesaran Allah Swt.[2]
Berarti masalah materi dalam pernikahan bukan hal utama yang diprioritaskan. Hal ini bukan diartikan mempersiapkan biaya keluarga dan menjamin fasilitas mereka tidak diupayakan. Dalam urusan nafkah bagaimana usaha Nabi dan Ahlu-Baitnya mempersiapkan nafkah bagi istri dan anak-anaknya, akan menjadi pembahasan berikutnya.
Menafkahi Keluarga
Dalam Islam dijelaskan bahwa mempersiapkan keperluan dan kebutuhan keluarga mengenai sandang, pangan dan papan merupakan tanggung jawab seorang suami. Hal ini demi menjaga agar keluarga tetap aman, memberikan kenyamanan, menangani urusan rumah, dan mensejahterakan anak-anak dan istrinya.
Kritikan dan tentangan mengenai pembagian kerja dalam menafkahi kadang menjadi hambatan keharmonisan dalam membangun keluarga, dalam hal ini seseorang mengatakan; mengapa kewajiban berjalan dengan kaki dan melihat dengan mata ditangguhkan? Allah Swt hanya memberikan kemampuan kepada sesuatu atau seseorang yang dapat menjadi kewajibannya untuk dipikul. Ini bukan masalah zalim dan keheterogenan namun merupakan kesetaraan dan keselarasan yang setara. Kritikan dan penentangan pada hakikatnya selalu ada dalam melaksanakan kewajiban, namun kesetaraan dan kemampuan tidak dapat dibantah.
Dalam budaya dan adab Nabi beserta Ahlu-Baitnya, pengabdian mereka kepada keluarga sangat tinggi dan ditempatkan pada posisi yang paling terhormat dan teristimewa. Nabi Saw bersabda kepada Imam Ali as; jadilah seseorang dengan tanpa rasa malu dan aib serta tanpa kekasaran harus melayani keluarganya, oleh Allah Swt namanya akan dicatat ditembok dan bangunan para syuhada di surga dan disetiap siang dan malam pahala ribuan syuhada akan diberikan kepadanya.[3]
Pernikahan Imam Ali as dan Fatimah sa merupakan sebuah karunia yang dapat ditiru oleh setiap pasutri untuk membangun rumah tangga. Orang tua dalam mengawinkan anak-anaknya pun dapat mencontoh bagaimana adab Rasulallah waktu menikahkan putrinya. Dan kehidupan keluarga sederhana yang dibangun mereka dapat diambil hikmahnya oleh pasangan pasutri muda saat ini. Karena kehidupan sederhana mereka membangun keharmonisan rumah tangga tanpa melihat materi sebagai beban, namun semata-mata lebih mencari restu ilahi dalam menjalani hubungan suci bersama.
Sumber:
[1] Ahmad, Rahmani Hamedani, Fatimah Az-Zahra Bahjat Qolb Al-Mustafa, Hal. 477
[2] Ushul Kafi, Jilid 5, Hal. 330
[3] Muhammad Bagir Musawi, Al-Kautsar Fi-Ihwali Fatimah Bint An-Nabi Ath-Har, Jilid 4, Hal. 33