Sayidah Fathimah as, Sang Pengantin Langit
Sayidah Fathimah as sebagai manusia sempurna, sifat-sifatnya merupakan manifestasi sifat jalaliyah (keagungan) dan jamalyah (keindahan) Allah Swt. Segala kesempurnaan itu terwujud dalam dirinya. Semua gelar-gelar yang telah dijelaskan dalam berbagai riwayat telah menggambarkan semua kesempurnaanya. Dalam kapasitas kesempurnaan pun, jika ayahandanya, Rasulullah saww dalam al-Quran disebut sebagai penjelmaan rahmatan lil ‘alamiin (rahmat dan kasing sayang bagi seluruh alam, maka Sayidah Fathimah as, sebagai sayidatul ‘alamii (penghulu wanita seluruh alam).
Sayidah Fathimah as, sebagai manusia sempurna juga perempuan sempurna. Sebagai perempuan pada usia remaja, beliau adalah gadis yang memiliki segenap kecantikan lahir dan bathin yang bersinar bagaikan sinar mentari. Beliau memiliki kematangan jiwa dan kedewasaan berpikir melebihi gadis-gadis seusianya. Disebutkan bahwa beliau berjalan dengan penuh kewibawaan seperti ayahandanya, Rasulullah saww.[1] Karena kesempurnaan lahir dan batin yang dimiliki oleh beliau tersebut maka banyak lelaki dari kalangan biasa, juga para pembesar yang datang untuk melamarnya.
Suatu hari, Abdurrahman bin Auf datang menghadap Rasulullah saww untuk melamar Sayidah Fathimah as dengan membawa mahar yang sangat banyak. Rasulullah saww bukan saja beliau tidak bahagia karena melihat jumlah mahar yang dibawakan untuk melamar putrinya, namun wajah beliau tampak marah. Kemudian beliau meletakkan tangannya di atas kerikil, kemudian mengambil kerikil dengan tanggannya, seketika kerikil tersebut berubah menjadi tasbih. Setelah itu, tasbih tersebut beliau lempar ke gamisnya dan seketika berubah menjadi intan dan Mutiara.
“Inilah jawaban untukmu…!” tandas Rasulullah saww kepada Abdurrahman bin Auf.[2]
Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Khattab pun pergi menghadap Rasulullah saww untuk melamar Sayidah Fathimah as, lamaran mereka semua ditolak. Bahkan, beberapa pembesar Quraisy lainnya pun mengalami nasib yang sama, lamarannya ditolak.
Kenapa Rasulullah saww menolak lamaran para pembesar tersebut? Dalam jawabannya kepada Abu Bakar beliau bersabda,
لم ينزل القضاء بعد
“Hingga kini belum turun keputusan dari langit.”[3]
Ini jawaban yang telah diberikan Rasulullah saww kepada mereka yang melamar putrinya. Dari jawaban beliau tersebut sangat jelas bahwa pernikahan putrinya berdasarkan perintah Allah Swt, pasangan hidup putri tercintanya sudah ditentukan dan dipilih oleh Allah Swt. Beliau menyerahkan urusan pernikahan dan jodoh untuk putri tercintanya kepada Allah Swt, beliau tidak melangkah dalam hal ini tanpa perintah Allah Swt. Inilah hal yang sangat luar biasa, semua ini menggambarkan tentang keagungan dan ketinggian derajat Sayidah Fathimah as di sisi Allah Swt.
Siapakah yang pasangan yang sesuai untuk perempuan sempurna dan suci seperti Sayidah Fathimah as?
Rasulullah saww sebagai seorang sebagai ayah yang juga seorang nabi dan rasul, maka setiap kata dan sikapnya akan menjadi contoh dan menggambarkan tentang ajaran Islam yang dibawanya. Sebagai seorang Rasul, dalam kedudukannya sebagai seorang ayah yang merupakan wali bagi pernikahan anak perempuannya, beliau telah merubah budaya Jahiliyah saat itu yang tidak memberikan hak apa pun kepada anak perempuannya, terutama hak dalam memilih calon suami. Saat itu, anak perempuan tidak diberikan hak memilih atau pun hak suara berkaitan dengan calon suaminya, semua keputusan ada di tangan ayahnya. Namun, Rasulullah saww berusaha merubah tradisi salah Jahiliyah tersebut. Setiap ada yang datang untuk melamar putrinya, beliau tidak langsung memutuskan sendiri, namun langsung menanyakan pendapat putri tercintanya dan memberikan jawaban lamaran sesuai kehendak putrinya.
Sejak kedatangan para pelamar, mulai dari Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar, Umar dan yang lainnya, Sayidah Fathimah as memberikan isyarat kepada ayahanda tercintanya, bahwa lamaran mereka tidak diterima. Namun, saat Imam Ali as datang melamarnya, Rasulullah saww berkata kepadanya, “Ali telah datang untuk melamarmu.”
Sayidah Fathimah as diam tidak berkata apa-apa, juga tidak memalingkan wajahnya. Rasulullah saww tidak melihat tanda ketidakrelaan putrinya atas lamaran Imam Ali as. Menyaksikan hal tersebut, beliau sambil berkata, “Allahu akbar,” juga menyatakan bahwa diam putrinya tanda keridhoannya.[4] Kemudian beliau bangkit dan menyampaikan kepada Imam Ali as bahwa lamarannya telah diterima oleh putrinya.[5]
Rasulullah saww mengetahui bahwa Allah Swt telah menetapkan Ali as sebagai jodoh putrinya di langit, namun di bumi hal tersebut harus melalui proses tersebut yang kemudian akan menjadi syariat bagi umatnya.
Rasulullah saww berkali-kali mengatakan,
“Bukanlah aku yang menikahkannya, akan tetapi Allah yang telah menikahkannya.”
“Sesungguhnya Allah Swt telah memerintahkan aku untuk menikahkan Fathimah dengan Ali.”[6]
Bahkan untuk menunjukkan keagungan pasangan tersebut kepada mereka sendiri, Rasulullah saww berkata kepada Ali as, “Selamat atasmu wahai Ali, sesungguhnya Allah telah menikahkanmu dengan Fathimah, penghulu wanita seluruh alam dan dia belahan jiwaku…”[7]
Begitu juga sebaliknya, saat beliau akan mempertemukan Imam Ali as dengan Sayidah Fathimah as, beliau berkata kepada putrinya, “Bukan aku yang menjodohkanmu dengan Ali, ini merupakan perintah Allah Swt.”[8]
Keagungan pernikahan Sayidah Fathimah as dan Imam Ali as, dan karena keagungan pasangan suci ini, bukan hanya dirayakan dibumi namun juga di langit. Allah Swt memerintahkan kepada Jibril as agar turun ke langit keempat untuk merayakan pernikahan pasangan suci tersebut yang dihadiri oleh 4000 malaikat.[9] Subhanallah… Mahasuci Allah, tiada kata yang bisa dituliskan lagi yang akan menggambarkan keagungan pernikahan pasangan suci tersebut, keagungan derajatnya, dan keagungan sosoknya. Sayidah Fathimah as, adalah sosok pengantin di langit dan dibumi yang pernikahan dan jodohnya telah ditentukan oleh Allah Swt. Allah Swt telah memilihkan untuknya sosoknya yang agung, serupa dan sama derajatnya. Imam Shadiq as berkata, “Jika Allah Swt tidak menciptakan Ali as, maka tidak aka nada pasangan yang kufu’ (setara) dengan Fathimah as.”[10]
[1] Muhibbudin ath-Thabari, Dzahairul-Uqbah, hal 39.
[2] Manaqib, jil 3, hal 345.
[3] Muhibbudin ath-Thabari, Dzahairul-Uqbah, hal 29.
[4] Muhamad bin Sa’ad, ath-Thabaqatul-Kubra, jil8, hal 20.
[5] Majlisi, Biharul-Anwar, jil 43, hal 93
[6] Kanzul Ummal, jil 13, hal 683; Yanabi’ul Mawaddah, jil 1, hal 72, ash-Shawaiqul Muharriqah, hal 142.
[7] Al-Khishal, jil 2, hal 573
[8] Al-Qanduzi, Yanabi’ul Mawaddah, jil 2, hal 20.
[9] Ibid, hal 21
[10] Ushul-Kafi, jil 1, hal 383.