Petunjuk Suluk Bagi Pengembara Spiritual (Bag. 2)

tasawuf bagi pemula
Jika seorang pengembara spiritual pada awal perjalanannya tidak punya kekuatan untuk melakukan semua tuntunan yang disebutkan di atas, maka mulailah sedikit demi sedikit. Tetapi yang paling penting diantara perbuatan ini adalah tafakur, pengendalian diri, kehadiran hati dan perhatian kepada Allah. Tolaklah dengan tegas semua pikiran eksternal dan segenap perhatian mesti diarahkan kepada Allah, dan tentunya ini merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Menolak apa pun selain Allah bisa dicapai secara bertahap dalam empat langkah :
Pertama, ketika mengucapkan zikir, berusahalah sekuat mungkin untuk menyatukan segala pikiran kepada zikir yang dibaca sekaligus mencegah masuknya semua pikiran-pikiran dari luar.
Kedua, bacalah zikir seperti di tahap pertama, tetapi dengan pengecualian bahwa selama membaca perhatian harus diarahkan pada isi dan makna zikir. Dengan jalan ini pikiran akan menjadi sangat waspada. Pada waktu yang sama cegahlah serangan dari segala pikiran dan memori yang datang dari luar. Program ini harus dilatih sampai seorang bisa menangkis serangan dari luar selama membaca zikir dan tetap memperhatikan arti serta isi zikir.
Ketiga, usahakanlah sebisa mungkin untuk mengingat arti zikir dalam hati, dan ketika artinya diterima dan diyakini, perintahkanlah lidah untuk mengucapkannya. Dalam hal ini, lidah mengikuti hati.
Keempat, berusaha untuk meniadakan segala arti, makna, tafsiran, dan bahkan bayangan zikir ini dari hati sehingga hati siap menerima karunia ilahi dan pencerahan-Nya. Arahkan segenap perhatian kepada Allah dengan seluruh eksistensi. Bersihkan hati dari segala eksistensi luar. Bukalah pintu gerbang hati untuk menyerap cahaya surgawi dari Allah SWT. Pada tahap ini sangat mungkin seseorang berhasil menerima perhatian khusus dari Allah, bisa menggunakan karunia dan pancara-Nya serta meningkat dengan tarikan-Nya lebih tinggi dan lebih tinggi lagi menaiki tangga kesempurnaan dalam hijrah spiritual menuju Allah.
Pada maqam perjalanan spiritual ini seorang pengembara spiritual akan terserap sehingga dia tidak dapat melihat sesuatu pun selain Allah. Dia bahkan melupakan diri dan perbuatannya sendiri. Lebih baik bagi saya untuk meninggalkan penjelasan realitas paling mulia ini untuk para wali Allah yang telah melihat akhir perjalanan dan telah merasakan kenikmatan tahapan hasrat (syauq), kasih sayang (uns), dan pertemuan (laqa).
Wahai sahabat suluk, ketahuilah bahwa suluk merupakan jalan terjal dan mendaki alias ‘aqabah. Jalan ini tidak hanya bisa digapai dengan ibadah, shalat, puasa, haji, zakat dan lain sebagainya namun yang perlu Anda perhatikan juga adalah ibadah sosial.Yakni, kesalehan individual Anda harus ditopang dengan kesalehan sosial. Sebab, sebagus apapun ibadah Anda,tapi, misalnya, Anda menyakiti orangtua Anda maka nilai ibadah Anda adalah ibarat debu yang ada di batu yang licin lalu turun hujan yang deras di atasnya sehingga debu itu hilang dan tidak tersisa sedikutpun.
Suluk juga tidak terpisah dari khuluq (budi pekerti yang baik atau akhlak). Orang yang melakukan perjalanan spiritual dan mempraktikkan thariqah tentulah seseorang yang tidak mempunyai masalah moral. Dengan kata lain, sufi sejati adalah sufi yang baik akhlaknya. Sufi tidak mungkin menghinakan wanita.Sufi tidak mungkin mengganggu tetangga. Sufi tidak mungkin mentelatarkan anak-istri. Jadi, semakin tinggi dan meningkat ibadah seseorang, semestinya semakin tinggi dan agung pula akhlaknya. Maka, kalau ada orang yang ahli ibadah, apalagi mengklaim dan diklaim bahwa dia sufi maka parameter kebenaran klaim itu gampang kok. Bagaimana? Perhatikan saja hubungannya dengan orang lain! Kalau hubungan sosialnya baik dan tidak ada kasus sosial yang melilitnya maka dia sufi beneran, kalau tidak maka dia sufi jadi-jadian.
Selain mengamalkan petunjuk spiritual di atas, Anda perlu pahami bahwa belajar tasawuf itu bukan hanya Anda membaca kitab tasawuf tertentu lalu mengamalkannya serta Anda bergaya pakaian seperti layaknya kaum sufi dan bergaya hidup “melas” dan tampak serba kekurangan supaya Anda disebut zahid (orang yang mengamalkan zuhud). Hakikatnya tidak demikian. Sayidina Ali adalah tokoh utama kaum sufi dan ajaran-ajaran sufi yang beradan hari ini banyak yang silsilah spiritualnya kembali kepada beliau. Saat menjelaskan hakikat zuhud, beliau membacakan ayat:
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. al Hadid: 23)
Ya, hakikat zuhud bukan memberi dan berbagi saat ada rezeki dan diam saat tidak memiliki apa-apa. Ini zuhud rendahan. Zuhud yang benar yang dikehendaki dan dijelaskan oleh AmirulMukminin Ali bin Abi Thalib adalah berbagi saat memiliki dan bertahmid (bersyukur karena tidak ada keharusan berbagi dan bersikap kanaah) saat tidak memiliki.
Orang sufi tidak sombong saat bergelimang harta dan tidak terlalu gembira saat dihujani rezeki. Dan sebaliknya, saat kekurangan dan kefakiran serta diambilnya nikmat, ia tidak bersedih dan larut dalam duka. Inilah zahid sejati.